Ilustrasi: M. Kholilullah
SATU BAKUL ubi jalar Habdin hilang dari jompang, lumbungnya. Dipastikan telah dicuri orang, sebab gembok pintu jompang itu rusak.
Sena, isteri Habdin ribut-ribut memecah pagi. Para tetangga berdatangan.
“Siapa berani mengganggu hak milik kami? Maling itu harus ditemukan! Harus segera dibui!” ocehnya berulang.
Rasyid muncul, memberi kesaksian bahwa pada jam dua malam ia pulang dari mengunjungi saudaranya. Tiba di samping rumah Habdin ia melihat Yakub menuruni tangga lumbung dengan memanggul bakul berisi sesuatu. Tak jelas karena gelap. Rasyid hendak berteriak, tapi lidahnya seperti terkunci. Ingin pula menghampiri Yakub, namun kakinya seolah tertambat di tempat. Matanya saja yang terbelalak menyaksikan Yakub dengan tenangnya membawa bakul itu menghilang dalam gulita.
“Yakub memang memiliki ilmu samungkam dan sapantak!” seru Karim yang menyeruak kerumunan warga. Samungkam adalah ilmu yang biasa dimiliki oleh orang-orang jago Sumbawa yang membuat orang tak bisa bicara. Begitu pula sapantak, adalah ilmu untuk membuat orang terpaku, tak bisa bergerak dari tempatnya.
“Sudah jelas siapa malingnya!” sambung lelaki itu. “Kita cari dia ke rumahnya dan beri pelajaran!”
“Tak mungkin ada di rumahnya. Pasti sedang bersembunyi di ladangnya!” sambut Mail.
“Kalau begitu kita buru ke ladangnya!” Karim tak mau kalah.
Habdin mengangguk-angguk setuju. Wajahnya merah memendam amarah.
“Ya, harga ubi jalar tak seberapa, hanya lima puluh ribu rupiah sebakul. Tapi keberanian Yakub mengganggu hak milikku, itu masalah yang teramat besar bagiku, yang menyangkut harga diriku!” ucapnya pelan tapi dilatari getar emosi.
“Zaenal, kau pergi ke polsek. Kau laporkan tentang pencurian ini. Sementara itu kami akan berangkat mencari Yakub. Selesai melapor, segera kau susul kami!” Perintahnya pun turun kepada Zaenal, anaknya.
Isteri Habdin, beberapa perempuan kampung serta warga lain yang terus berdatangan melepas kepergian Habdin dan dua puluh orang yang berjalan cepat menuju kawasan ladang di luar kampung.
***
Aku ada dalam rombongan pemburu Yakub yang mulai memasuki kawasan ladang. Aku menyesal telah ikut nimbrung di antara warga, hingga akibatnya aku pun tak bisa menghindar dari keharusan turut serta.
Di tengah jalan baru kuberpikir tentang apa yang akan kulakukan saat menemukan Yakub. Apakah akan ikut mengepung lelaki itu? Ikut memukulinya? Ikut meringkusnya, menyeretnya ke kantor polisi?
Ya, Allah! Hatiku berbisik. Yakub adalah teman sekelasku waktu SMP. Kami akrab dan tak pernah bermasalah atau bermusuhan. Lagi pula saat sekolah hingga sebelum menikah Yakub adalah orang baik. Tak sekali pun ia menunjukkan kenakalan atau perangai yang buruk, yang anti sosial. Setelah kawin baru kudengar kabar ia sering mencuri. Kudengar-dengar pula bahwa ia melakukan kejahatan karena desakan ekonomi. Ia yang dari keluarga miskin tak punya harta benda yang banyak. Hanya sepetak kecil ladang. Itu pun tak memberinya hasil maksimal, karena ladangnya berbatu, hingga sulit digemburkan dan sukar ditanami apa pun. Sementara anaknya dengan cepat bertambah, sampai lima orang, masih kecil-kecil pula.
“Kasihan Yakub, ia mungkin melakukan kejahatan karena anak-anaknya lapar, karena desakan ekonomi.” Tak bisa kutahan keinginanku mencetuskan isi pikiran pada Mail yang berjalan berdampingan denganku di belakang rombongan.
Bisikanku membuat Mail melotot.
“Lalu karena desakan ekonomi, karena lapar kita bisa membenarkan kejahatan?” serunya tak senang.
Warga di depan kami menoleh ke belakang karena mendengar seruan itu.
Aku merasa tersudut oleh pandangan orang-orang.
“Jangan membesar-besarkan alasan desakan ekonomi dan kelaparan, hingga kita lemah pada penjahat!” Dari depan rombongan Rasyid membentakku.
Aku tersinggung tapi tak punya alasan untuk menyanggah lelaki itu. Ia memang benar.
“Maaf.” Spontan meluncur ucapan itu dari bibirku, berharap semuanya segera mengalihkan pandangan tidak senangnya dariku.
Kami berjalan lagi tanpa seorang pun yang bicara.
Kuyakin terik matahari telah semakin memanaskan hati para warga yang ingin segera menemukan Yakub yang -menurut mereka- jika usai melakukan tindak pencurian selalu bersembunyi di ladangnya atau di tempat-tempat lain di sekitar kawasan ladang.
Telingaku berdenging sebab kepalaku panas pula. Kuatur nafas yang mulai tersengal ketika mendaki bukit. Kucoba mengalihkan perhatian pada pemandangan sekitar yang membentangkan ladang-ladang kering musim kemarau yang tanpa tanaman.
Tapi semakin kualihkan perhatian justeru di kepalaku berpusar-pusar ucapan Habdin, “Ya, harga ubi jalar tak seberapa, hanya lima puluh ribu rupiah sebakul. Tapi keberanian Yakub mengganggu hak milikku, itu masalah yang teramat besar bagiku, yang menyangkut harga diriku!”
Juga ucapan Mail, “Lalu karena desakan ekonomi, karena lapar kita bisa membenarkan kejahatan?”
Bentakan Rasyid pula, “Jangan membesar-besarkan alasan desakan ekonomi dan kelaparan, hingga kita lemah pada penjahat!”
Aku mengangguk-angguk sendiri, merasa harus mengamini kalimat-kalimat itu. Harga ubi jalar tak seberapa, tapi Yakub telah mengganggu hak milik orang, dan itu masalah besarnya. Kita, siapa pun tidak boleh membesar-besarkan alasan lapar, lalu membenarkan tindak kejahatan, lalu kita lemah pula pada penjahat! Aku sepakat dengan semua itu.
Kami mendekati ladang Yakub. Rasyid memberi isyarat pada semuanya agar berhenti dan menyebar, membuat formasi mengepung ladang itu. Maka semuanya berpencar.
Dadaku berdegup kencang. Sekenanya aku ikut mengambil posisi terpisah dari warga.
Apa yang akan aku lakukan saat Yakub muncul? Apakah akan ikut mengepung lelaki itu? Ikut memukulinya? Ikut meringkusnya, menyeretnya ke kantor polisi? Pertanyaan itu kembali berkecamuk di benakku. Sungguh aku tak pernah berada dalam situasi yang mengarah pada kekerasan seperti yang sedang kuhadapi. Aku menjadi takut dan tak tahu apa yang seharusnya kuperbuat!
Para warga memasuki ladang. Ada yang menyelinap lewat celah bambu pagar, ada yang menaikinya dan meloncat. Ada pula yang terang-terangan melalui pintu. Lalu semuanya bergerak ke satu arah, ke sebuah gubuk panggung berdinding papan yang tertutup.
“Yakub! Turun kau!”
Habdin sepertinya sudah tak bisa mengendalikan kemarahannya.
Tak ada sahutan dari atas gubuk.
“Maling! Turun atau kami bakar gubuk ini!”
Rasyid menimpali dengan suara dilatari emosi pula.
Orang-orang semakin merapat, mengepung gubuk itu.
“Serang!” seru Mail seraya menaiki tangga dan mendobrak daun pintu gubuk.
“Tidak ada! Tidak ada Yakub di sini!” teriaknya kemudian dengan kepala menyembul dari dalam gubuk.
Para pengepung yang hendak ikut naik mengurungkan langkahnya. Mereka saling pandang dengan raut wajah kecewa dan semakin marah.
Aku berdiri saja, menatapinya. Kurasakan matahari semakin terik di atas ubun-ubunku saat melihat ekspresi gusar Habdin, Rasyid, Mail, Karim, semuanya.
Bodohnya, gerutuku dalam hati. Mana mungkin Yakub akan sembunyi di tempat yang mudah ditemukan seperti di gubuknya yang berada di tengah ladang yang terbuka ini!
“Kita istirahat dulu, terlalu panas, dan aku haus, lapar pula,” ucap Rasyid sambil mengelus-elus kerongkongan dan perutnya.
Tiba-tiba Mail naik kembali ke atas gubuk. Semua mata menatapi pintu selama lelaki itu berada di dalam. Entah apa yang dikerjakannya.
Ketika muncul di ambang, ia nampak memanggul karung besar yang berisi setengah, lalu turun dengan wajah menggambarkan rasa puas dan kemenangan.
“Makan! Haus-haus dan lapar begini sangat tepat makan mentimun. Kita juga harus mengganti tenaga yang terkuras, apalagi akan kita pakai kembali untuk meneruskan perburuan,” katanya sambil mengeluarkan mentimun dari dalam karung itu.
Semua maju dan dengan nafsu mengambil buah itu dan memakannya dengan lahap.
“Pasti mentimun ini ia curi pula. Lihat, di ladangnya ini ia tak bisa menanam apa pun!” ujar Karim.
Aku pun ikut, dan sudah mengunyah sepotong.
Mendadak hatiku dirayapi sesuatu. Sesuatu yang sepertinya menahan tanganku untuk mengangkat kembali mentimun dan mendekatkannya ke mulut.
Aku pun berhenti makan. Reflek mataku menyasar pula sekitar ladang. Aku mengkhawatirkan sesuatu.
“He, kenapa seperti orang bingung?” tanya Karim sambil melemparku dengan potongan kecil mentimun. “Apa yang sedang kau perhatikan?”
Aku cepat-cepat menggeleng. Tak ingin orang-orang mencecar dan menguak isi hatiku.
“Sudah, kita jalan lagi! Kita coba mencari Yakub ke wilayah tepi hutan. Sepengetahuanku di sana ada ladang temannya yang sesama maling. Lokasinya penuh pohon dan belukar tinggi, jadi agak tertutup. Cukup sempurna untuk bersembunyi.”
Rasyid sudah memberi komando. Habdin telah bangkit pula dari duduknya dan berjalan dengan cepat. Rombongan bergegas mengikuti. Aku, seperti biasa di belakang.
“Tunggu!” Zaenal muncul dengan nafas tersengal karena berlari. Ia berteriak agar warga berhenti.
“Sudah kulaporkan ke polsek. Tapi polisi melarang kita mencari sendiri malingnya. Mereka yang akan mencari Yakub!” imbuhnya.
“Karena itu kita harus lebih dahulu menemukan Yakub daripada para polisi itu!” sanggah Habdin. “Ayo, kita jalan!”
***
Sudah sekitar empat kilometer jauhnya perjalanan dari ladang Yakub. Aku lelah sekali mengekor dua puluh satu orang lelaki yang berjalan begitu cepat karena sangat bernafsu untuk segera menemukan Yakub.
Hatiku pun terus berkecamuk karena sesuatu yang semakin keras berpusar-pusar di dalamnya. Lalu kekhawatiraku juga menjadi bertambah, yang membuat aku tak henti menengok ke belakang, mata menelisik kiri dan kanan lorong pohonan yang kami lintasi. Ada yang mengawasi perjalanan kami, mengikuti kami dari tempat tersembunyi. Itu yang mencuat dalam pikiranku.
“Semua menunduk, tiarap!” ucap Rasyid tiba-tiba dengan suara hampir berbisik. “Sekitar dua puluh meter di depan, di belakang rimbunan pohon dan belukar, itu ladang temannya Yakub!”
Sontak semua menurut. Para pemburu Yakub tak lagi peduli di bawahnya serakan duri atau tumpukan kotoran kerbau. Mereka hanya tak mau kehadirannya diketahui oleh siapa pun di ladang yang berada di depan.
Rasyid merayap diikuti Habdin, Mail, Karim dan Zaenal. Keenam belas pengikut dan aku pula tak ada pilihan lain selain turut merayap, mendekat dengan mode senyap ke sasaran.
“Berpencar, maju!” perintah Rasyid.
Semua segera bangkit, berdiri dan berpencar maju, lalu masuk ke dalam ladang yang telah terlihat, dengan berbagai cara; menyelinap, meloncati pagar, menendang rangkaian bambu penutup pintu masuk.
Sebuah gubuk yang pintunya terbuka berdiri di depan mata.
Habdin hendak teriak menyuruh orang di atasnya turun. Tapi urung. Kiranya lelaki itu segera sadar bahwa gubuk itu pun kosong.
Karim naik dan berdiri di ambang pintu, melihat-lihat keadaan di dalam gubuk. Ketika turun wajahnya nampak kecewa.
“Sial!” serunya. “Di mana maling itu bersembunyi?!”
Habdin menyeka keringat yang meleleh di keningnya. Sekujur tubuhnya juga terlihat basah oleh peluh. Pastinya bukan hanya karena panas siang dan efek berjalan jauh. Melainkan lebih karena bawaan bara api di dalam hatinya.
Yang lain juga demikian. Beberapa orang sudah duduk melepas lelah.
“Sudah jelang sore tapi makin panas saja!” kata Mail dengan nafas yang cepat. “Salah betul tak ada yang bawa air dan makanan. Kita bisa mati kehausan dan kehabisan tenaga!”
“Itu kelapa!” ujar Zaenal seraya menunjuk barisan kelapa hijau berpohon pendek di sepanjang pagar ladang.
“Lema mo tuturan nyer ana! Nyaman lalo, kenang tusangilang ompa tu ampo!” Tak harus dua kali ajakan Karim yang artinya ayo cepatlah kita petik buah kelapa itu! Sedap sekali, untuk menghilangkan lelah pula!
Semua orang -yang memang lihai memanjat kelapa- telah berada di atas pohon dan menjatuhkan atau membawa turun buahnya. Masing-masing setidaknya memetik empat buah.
Aku tak lagi berani mengikuti perbuatan mereka. Kecamuk hatiku tentang sesuatu kian menjadi-jadi. Kekhawatiran tentang ada orang yang mengawasi bertambah-tambah pula. Maka aku duduk saja di depan gubuk.
Kulihat Zaenal berbisik-bisik pada Rasyid, Karim, Mail dan Habdin seraya menatapiku. Aku menjadi tidak enak. Semakin tidak enak saat kelimanya datang menghampiriku.
“Dari omonganmu dan gerak-gerikmu sejak tadi, aku sudah menduga bahwa kau simpati pada Yakub,” ucap Rasyid dengan mata menyorot tajam padaku. “Barusan Zaenal mengingatkan kami pula bahwa kau dulu teman sekolahnya maling itu. Ya… ya… ya, aku jadi semakin yakin dengan dugaanku. Bahkan aku jadi berpikir bahwa bisa jadi sebenarnya kau tahu dimana tempat persembunyian Yakub…”
“Bicara apa Bapak ini?!” Tak bisa kutahan seruanku yang sadar sedang berada di bawah tuduhan serius. Dan itu bisa membawa akibat buruk jika tak segera kusangkal. “Aku tak simpati pada Yakub, tak tahu pula dimana tempat persembunyiannya. Bapak jangan menuduh sembarangan!”
Tiba-tiba tangan Habdin mencengkeram kerah bajuku. Bisa kurasakan tajam hembusan nafas lelaki itu ketika mendengus dengan muka merah marah yang begitu dekat dengan mukaku.
“Jangan main-main, Budin!” bentaknya.
“Kalau benar kau melindungi maling itu, aku tak akan segan-segan memberimu pelajaran!”
“Heee… Yakub sudah ada di kantor polisi!”
Semua tersentak. Aku pun terkejut dengan seruan keras dari balik pagar ladang. Seorang lelaki telah berdiri di sana dan kemudian setengah berlari memasuki ladang. Ternyata Usman.“
Aku disuruh Sena mencari kalian. Aku bertanya sepanjang jalan hingga bisa menyusul ke sini,” terangnya sambil menyeka peluh dan mengatur nafas.
“Yakub sekarang di kantor polisi. Tapi bukan karena ditangkap, melainkan ia datang untuk melaporkan kalian semua sebagai maling!”
Kulihat mata semua lelaki pemburu Yakub melebar. Raut mukanya menunjukkan keterkejutan dan ketidakmengertian.
“Ya, Allah…!” Hanya aku sendiri yang berbisik demikian, yang tak lagi diperhatikan oleh Habdin, Rasyid, Mail, Karim, Zaenal dan semua anggota rombongan. Seperti aku pula yang segera mengabaikan mereka, karena dadaku gemuruh saat meyakini bahwa apa yang kukhawatirkan nampaknya menjadi kenyataan.
Di tengah hiruk pikuk orang-orang itu, yang membahas informasi mengejutkan dari Usman, aku tercenung.
Aku membayangkan bagaimana Yakub ada di sekitar ladangnya ketika kami datang. Ia mengawasi tingkah pola kami.
Mungkin Tuhan memberiku kepekaan agar bisa merasakan hal itu. Awalnya Ia picu sesuatu merayap dalam hatiku, yaitu pertanyaan bahwa tidakkah menjarah mentimun di gubuk Yakub –walaupun harganya tak seberapa- adalah bentuk tindakan mengganggu hak milik orang lain juga? Apakah itu bukan masalah besar? Kami semua haus, lapar dan butuh asupan untuk menambah tenaga, tapi apakah itu bisa menjadi alasan untuk melakukan tindak kejahatan?
Siapa pula yang bisa memastikan bahwa mentimun itu adalah hasil curian Yakub? Kalau pun benar, apakah itu bisa menjadi dalih bahwa kami boleh memakannya tanpa ijin dari Yakub?
Aku telah melihat di belakang gubuk di ladang temannya Yakub ada dua petak lahan yang menunjukkan bekas tanaman mentimun yang baru dipanen. Itu membuat darahku berdesir, menyadari bahwa pasti mentimun yang telah kami jarah di gubuknya Yakub adalah hasil pemberian temannya! Jadi bukan hasil curian seperti yang disangkakan oleh Karim.
Aku membayangkan juga bagaimana Yakub terus mengawasi dan mengikuti kami pula hingga sampai ladang temannya dimana Rasyid dan kedua puluh pemburunya kembali berbuat seenaknya dengan memetik buah kelapa di ladang itu.
Ada dua puluh satu orang, masing-masing memetik empat buah. Berarti setidaknya ada delapan puluh empat buah kelapa yang telah mereka jarah! Jika harga perbuah adalah dua puluh ribu, maka mereka sudah merugikan temannya Yakub sebesar satu juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah! Harga yang sangat jauh dibandingkan harga sebakul ubi jalar milik Habdin. Ini yang lebih parah. Dan fatalnya lagi, apa salahnya teman Yakub hingga harus menjadi korban?
Aku menggeleng-geleng sendiri saat meyakinkan diri bahwa Yakub merekam semua ulah jahat kami. Bahwa kemudian ia bergegas pergi ke kantor polsek dan membeberkan “rekamannya” itu kepada polisi. Dengan itu ia menjerat balik kami para pemburunya! Sebagai maling, Yakub pastilah cerdik untuk menemukan celah membebaskan diri dari masalah.
Kami tiba di kantor polsek. Yakub nampak sedang berada di dalam satu ruangan, berbicara dengan seorang polisi. Tak jelas kudengar. Yang pasti adalah para polisi lain langsung menggiring kami semua masuk ke dalam bui, alih-alih mendengarkan aduan Habdin, Rasyid, Karim dan Mail tentang tindak pencurian yang telah dilakukan oleh Yakub.
Justeru kami dibentak, “Diam! Masih tak mau mendengar polisi, ya? Sok jagoan memburu maling, ternyata kalian sendiri yang maling!”
Aku hanya bisa tersenyum kecut saat Habdin, Rasyid, Karim dan Mail memelototiku. Detik itu kembali terngiang ucapan-ucapan mereka tentang Yakub yang telah membuat masalah besar dengan mengganggu hak milik orang. Tentang siapa pun yang tidak boleh membesar-besarkan alasan lapar, lalu membenarkan tindak kejahatan!
Aku kasihan pada mereka yang masih bingung kenapa dibui. Aku ingin menyadarkan mereka dengan apa yang ada dalam pikiranku.
Tapi itu tak mungkin. Terlebih Sena telah datang pula dan meraung-raung memegangi jeruji bui.
“Pengganggu hak milik kita sudah ditemukan, maling itu sudah ada di sini, tapi kenapa Kak Habdin yang dibui?” ratapnya.
Sumbawa Timur, 22 Juni 2024
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
M. Kholilullah alias Holy, lahir di Denpasar, 9 Juni 1997. Ia belajar melukis secara otodidak. Ia pernah berpameran bersama di Universitas Indonesia (Jakarta, 2023) dan pameran tunggal di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP, 2004). Selain melukis, dia aktif jualan cilok untuk menghidupi dirinya.