Lanskap Senja
seputih cahaya, kian samar
mengintip malu, di balik kabut awan
seakan membaca keresahan kita
di pertemuan musim,
sajak-sajak kita terpenggal
seakan bermunajat menjelma luka
dengan sekuncup doa, yang ‘kau sebut puisi
ada kudapan gelisah
menyusup, tajam menusuk
di bingkai kata yang menggegas rindu
sempurnakan frasa semesta cinta
tetapi ingatan kita mendengus di kubangan waktu
bukankah senja telah tenggelam
di balik bukit, mengintip kedangkalan mata kita
masih saja kita mengulang cerita yang sama
Malang, 2024
Kredo Kematian
punggungmu tunggang-langgang
berlari tinggalkan pentas
semua sudut kota bagai fragmen kesedihan
dan aku hanyalah mata
menghimpun aksara, menuntaskan pergulatan gelisah
di antara deras sungai, yang
mengalir kian samar
aku tergagap-gagap ketika membaca
batas surga dan neraka
sementara Arthur Rimbaud menelisik kredo
di selembar daun dan melukis
“semusim di neraka”
kita semua terhenyak
bukan dari penggalan mimpi
yang mengingkari diamnya tidur
sebab esok, mungkin menjadi fana
apakah musim terlalu cepat bergegas
memaknai cinta dengan definisi rumit
ataukah sajak-sajak kita tak pernah membasuh diri
dari perhelatan pesta hedonisme
tatkala rindu datang dari rahim zaman klasik
bukankah kita harus berkemas diri
untuk mengeja lantunan zikir
yang merapal aksara-aksara filsuf
dari kenaifannya membaca kebenaran
atau mungkin lebih baik,
kita bersahaja dalam tembok-tembok digital
tinggalkan tradisi yang terpenjara dalam kesufiannya
sebab fragmen hidup seluas semesta cinta
tidak pernah mengerti, apa itu bersujud
zaman berlari secepat angin
dan sajak-sajak kita hanya mampu berkata
– entah dan entah –
seakan tidak ada bedanya
hujan dan kemarau, sama-sama
menyampul luka dari keterasingan mimpi kita
sudut-sudut jalan menunduk diam
seakan menanti pembacaan vonis
tidak seperti diksi puisi yang dibacakan merdu
vonis yang dipanggul sepasang jagal
sarat, bermuatan penuh kata-kata
: kredo kematian
semua terasa indah, di mata pemuja doa
sementara kita, bersembunyi di selembar tirakat
menyusun seonggok kata
: luka di tubuh antitesis
Malang, 2024
Fragmen Limbus Infantum
memagut senja di rindang kabut
angin berembus serupa gumpalan gelisah
burung-burung pun menukik tajam
seakan para jagal mengejarnya
hilir mudik debu melekat erat
seperti ingin tumpahkan nyanyian duka
ceracau burung kian serak
seakan ingin menyudahi derita
ada apa dengan langit
apakah sajak-sajak lupa menulis doa
ataukah kita selalu saja keliru
menafsirkan garis-garis cahaya
dengan ritmis puisi penuh satire
seperti para pencuci dosa
mengeja parafrasa: limbus infantum
Malang, 2024
Di Kutub Puisi
adakah kata di kepalamu
yang bisa menjelma rindu
menyelusup di tubuh puisiku
sekian lama tarian filsuf
berenang bagai ikan
di kolam-kolam ingatanku
diksiku pun terempas
jatuh dan karam
ini zaman ketidakpastian, katamu
filosofi mulai membusuk
berjalan tertatih di kutub kematian
membeku dan menggumpal serupa peti mati
hingga telatah langit
bagai metamorfosa musim
menelisik dalam samarnya kemarau panjang
tak ada bedanya, kita serupa kudapan batu
di piring-piring puisi
perut-perut kita kelaparan
menggunung di peradaban cahaya
berlari tanpa arah
dan bersorak dalam kegundahan panjang
masih pantaskah aku, disebut penyair?
Malang, 2024
Kupu-kupu Kertas
aku bayangkan engkau seperti kupu-kupu
terbang kesana-kemari dengan sayap indah
anganku terpacu untuk menggapaimu
aku tahu, engkau butuh alam bebas
tetapi keinginanku memaksa untuk meraihmu
mungkin itu yang dinamakan cinta
dan tanganku terus mengejarmu
mengusik sayapmu terbang lebih tinggi
tinggalkan segumpal resah di sudut mataku
seharusnya kupuisikan namamu
meski akhirnya hanya menjadi kupu-kupu kertas
seperti syair lagu yang mewarnai tidurku
Malang, 2024
BIODATA
Vito Prasetyo dilahirkan di Makassar 1964, bergiat di sastra sejak 1983. Tinggal di Malang. Menulis puisi, cerpen, esai dan dimuat di pelbagai media cetak dan elektronik. Termaktub dalam puluhan buku antologi. Beberapa kali masuk nominasi dan juara lomba cipta puisi tingkat nasional. Buku puisi tunggalnya berjudul Rindu, Sunyi dan Kematian (Lentera, 2024).
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.