BALI, Balipolitika.com – Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025, tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter memantik kekesalan para pedagang kecil.
Dengan ketus, mereka mencibir kebijakan yang memberatkan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Apa sekalian pabriknya ditutup? bagaimana kalau pedagang di alun-alun (Lapangan Puputan), membawa yang ukurannya 1 liter, pasti sulit kan. Berat mereka,” kata salah satu pedagang di Bali, bernama Mang Arik.
Dia juga mempertanyakan nasib pembeli, yang hanya memiliki cukup uang untuk belanja air dalam kemasan ukuran di bawah 1 liter.
Mang Arik berpendapat, bahwa pemerintah jangan hanya membuat kebijakan tanpa solusi yang nyata di lapangan, apalagi kalau ada upacara adat di Bali.
Warga Bali, Gede Suanda mengatakan bahwa pelarangan produksi dan distribusi itu akan memberatkan masyrakat setiap ada acara adat.
Pria yang sudah terbiasa mengikuti setiap upacara adat di Bali ini melanjutkan, penggunaan gelas kaca atau air kemasan di atas liter akan sangat membebani masyarakat kurang mampu menuyusul besaran biaya yang harus keluar setiap kegiatan adat.
“Jika ada ratusan orang yang datang ke upacara tersebut, jika menggunakan gelas kaca bisa terbayangkan berapa besar biaya yang harus keluar tuan rumah. Iya kalau misalkan orangnya mampu, kalau tidak bagaimana? kasihan jadinya tuan rumahnya,” katanya.
Salah seorang warga di Denpasar, Ketut Ariano juga mengungkapkan kekesalannya. Dia mengaku heran dengan keluarnya SE Gubernur Koster, yang melarang masyarakat Bali untuk menggunakan air minum kemasan di bawah satu liter pada upacara adat.
Selain mahal, menurutnya, AMDK di atas 1 liter juga tidak cocok jika penyajian kepada tamu dalam acara apapun.
“Nggak cocok jika kepada para tamu yang datang, ukurannya terlalu besar dan mubazir jika untuk upacara-upacara adat,” katanya.
Pelarangan produksi dan distribusi dalam SE Guburnur Wayan Koster, ini baginya akan memberikan efek domino terhadap perekonomian Bali, termasuk mematikan industri daur ulang.
Mereka berpendapat bahwa Gubernur Koster tidak sensitif dengan perekonomian masyarakat saat mengeluarkan kebijakan tertentu.
Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) mengungkapkan, bahwa sebenarnya industri minuman ringan telah menjalankan berbagai upaya konkret dalam pengelolaan sampah kemasan plastik.
Larangan tersebut dapat berpotensi membuat merosotnya keuntungan industri tersebut hingga sekitar 5 persen.
“Saya belum tahu (pasti) data angka persentasenya, cuma ya mungkin feeling saya bisa (turun) 5 persen,” kata Ketua ASRIM, Triyono Prijosoesilo.
Dia mengatakan, pada dasarnya ASRIM mendukung tujuan dari kebijakan Bali bersih untuk mengelola sampah kemasan dan non kemasan agar tidak mencemari lingkungan.
Sebabnya, industri minuman ringan telah menjalankan berbagai upaya konkret dalam pengelolaan sampah kemasan plastik.
Dia mengungkapkan, bahwa pelarangan saja tidak cukup untuk mengatasi permasalah sampah di Bali.
Dia melanjutkan, sudah banyak aktivitas yang industri lakukan baik yang bekerja sendiri atau bersama LSM dan pelaku usaha daur ulang, dalam melakukan pengumpulan sampah kemasan, termasuk di Bali.
“Itu sudah terbukti bisa mengumpulkan sampah, terutama yang high value. Ada teknologi yang bisa olah itu jadi bahan bakar, itu bisa kita dorong. Sampah organik itu bisa jadi kompos,” katanya.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, I Nyoman Subanda, menilai bahwa kebijakan pelarangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah satu liter perlu pengkajian lebih mendalam sebelum berlaku secara luas.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SPN KLHK) mencatat bahwa 68,32 persen sampah di Bali merupakan limbah organik (sisa makanan dan ranting kayu).
“Makanya perlu lihat dulu, apakah benar kemasan air minum kecil itu penyumbang sampah paling besar? atau malah ada jenis sampah plastik lain yang lebih dominan seperti kantong kresek atau sachet,” kata Subanda.
Menurutnya, larangan menjadi beban bagi masyarakat adat Bali yang sering menggunakan air kemasan kecil dalam kegiatan keagamaan dan adat. Dia mengatakan, pelarangan ini akan menyulitkan masyarakat saat ingin mengadakan kegiatan adat.
“Air kemasan kecil itu sangat perlu saat kegiatan adat yang melibatkan banyak warga. Artinya, kebijakan belum linier dengan kebutuhan masyarakat desa,” tegasnya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Gede Harja Astawa mengungkapkan kalau mengatasi sampah di Bali tidak perlu dengan melakukan pelarangan produksi dan distribusi yang justru merugikan perekonomian masyarakat secara langsung.
Dia melanjutkan, sampah plastik yang ada di Bali tidak hanya oleh tumpukan limbah air kemasan semata.
Gede Harja mengatakan, keberadaan air kemasan di bawah 1 liter sebenarnya memudahkan publik terlebih saat mengadakan kegiatan adat atau yang melibatkan masyarakat banyak.
Dia meneruskan, menghilangkan air kemasan di bawah 1 liter hanya akan menambah beban masyarakat apalagi ketika melaksanakan acara adat.
Ketua DPD Pemuda Hindu Kabupaten Buleleng ini berpendapat, bahwa pengelolaan sampah berbasis daur ulang seharusnya lebih di depan dari pelarangan produksi dan distribusi air kemasan.
Dia melanjutkan, masyarakat luas juga bisa mendapat keuntungan ganda secara ekonomi dan ekologi. Bahwa penghentian produksi dan distribusi tersebut, akan mematikan hajat hidup orang banyak sehingga menimbulkan masalah sosial baru.
Dia pun meminta Gubernur Koster mengevaluasi keberadaan SE nomor 9 tahun 2025 tersebut. “Sebaiknya revisi dan penyempurnaan. Klausul pelarangan dan distribusi itu hapus dan beri dengan tambahan solusi-solusi pengelolaan sampah,” katanya. (BP/OKA)