KOMENTARI: Jro Gde Sudibya, menyoroti Kasus Ashram Ditutup di Karangasem. (Sumber: SM)
DENPASAR, Balipolitika.com – Jro Gde Sudibya selaku salah seorang Pendiri, Sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya, yang mensosialisasikan pemikiran Mpu Kuturan Raja Kertha ikut menyoroti kasus Penutupan Ashram di Karangasem, Senin, 9 Juni 2025.
Sebelumnya, kasus itu telah menjadi perhatian dari tokoh-tokoh masyarakat, yakni Pengamat Kebijakan Publik Putu Suasta salah satu Pendiri Peradah Indonesia, dan Forum Merah Putih, Akademisi Drs I Ketut Donder, Mag., Ph.D, Ketua Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali Dr. Wayan Sayoga yang juga Pemerhati Sosial dan Akademisi Prof I Gede Sutarya.
Menurut Sudibya, dalam sejarahnya Desa Pakraman di Bali, Desa yang tenang, yang jika merujuk pendirian Desa Pakraman dengan keyakinan Tri Murti dengan Kahyangan Tiga oleh Mpu Kuturan Raja Kertha seizin raja Gunapriya Dharmapatni-Udayana Warmadewa, sekitar 1,020 tahun lalu.
Desa Pakraman dengan Kahyangan Tiga terdiri dari Pura Desa/Pura Bale Agung sebagai pemujaan Tuhan Brahma, Pura Puseh sebagai pemujaan Tuhan Wisnu, Pura Dalem sebagai pemujaan Tuhan Ciwa.
Dengan catatan, di desa-desa dengan peradaban yang sebelumnya telah mapan, bagian dari tradisi Bali Mula, menerima kesepakatan Kahyangan Tiga ini, tanpa meninggalkan tradisi sebelumnya yang sastranya jelas.
Ketenangan Desa Pakraman tidak sebatas mitos, tetapi didukung catatan sejarah dan sastra yang jelas. Sekarang Desa Pakraman menghadapi tantangan, sejalan dengan dinamika zaman itu sendiri.
“Diperlukan kearifan kepemimpinan di Desa Pakraman agar, ketenangan Desa ini ajeg dan lestari,” kata Sudibya di Denpasar, Minggu, 29 Juni 2025.
Tantangan dalam kasus penutupan Ashram di Karangasem, semestinya ditempuh dengan dialog kekeluargaan sesuai dengan semangat “paras-paros sarpanaya-, sesuai dengan spirit tradisi: Desa, Kala, Patra (Manusia dan Lingkungannya).
Di desa-desa Bali Pegunungan yang ajeg melestarikan tradisi Bali Mula, dikenal kepemimpinan kolektif, dengan nama Desa Tegak, Desa Melinggih, Desa Gede, yang menjadi perwakilan krama dalam menjalankan dresta.
Desa Gede ini, jumlahnya bervariasi, ada yang 17, 27, 33, 45 dan jumlah lainnya sesuai dengan tradisi setempat.
Di sebuah desa Pegunungan, jumlahnya terdiri dari 27 krama yang terdiri dari (sesuai tempat duduk waktu sangkepan), yaitu Jro Bayan, Jro Bahu Kiwa-Tengen, Jro Pasek, Jro Pucak, Jro Perbekel, Jro Penyarikan dan krama Desa Gede yang merupakan perwakilan Dadia.
Semua persoalan yang menyangkut, adat, agama dan budaya diselesaikan melalui forum ini.
Jika ada krama menghadapi persoalan adat, agama dan budaya melapor, mesadok dalam forum ini, yang kemudian dimusyawarahkan dan kemudian diambil keputusan.
Bagi Desa yang tidak memiliki tradisi bisa menggunakan forum Kertha Desa yang diatur dalam Perda 4/2019 tentang Desa Adat.
Peparuman yang dilandasi sikap paras-paros, berbagi pengetahuan, pengalaman, Ananta Dana, untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Semestinya persoalan – pekebeh kayun– yang ada bisa diselesaikan di Desa Pakraman, tidak perlu mengundang pihak luar, untuk menunjukkan Desa Pakraman merupakan Desa Mandiri yang mampu menyelesaikan persoalannya. (Bp/tim)