Pagi ini, dengan setumpuk berkas revisi laporan audit yang belum aku selesaikan semalam, seperti biasa aku duduk memesan dua porsi soto lamongan di pintu masuk stasiun sambil menunggu gerimis reda.
Pak Muji, nama penjual soto itu, sudah mafhum apabila aku memesan dua porsi soto sekaligus di pagi hari. Ya, tentu saja dua porsi soto itu untuk kumakan sendiri. Agar rasanya menjadi semakin mantap, aku akan menambahkan tiga sendok sambal, perasan jeruk limau dan menumpahkan sedikit kecap agar warnanya lebih gelap. Pedas, asam dan sedikit manis sangat cocok untuk mengobati pikiran yang sedang kacau. Ah, membayangkannya saja sudah membuatku sedikit lebih hangat.
Aku melirik ke sekitar, rupanya gerimis di Senin pagi tidak menghambat rutinitas orang-orang untuk memadati stasiun. Sejenak aku berpikir apakah memang seperti itu kehidupan yang mereka inginkan? Dikejar oleh waktu, bergelut dengan keributan dan ditindas oleh keadaan. Sementara langit saja belum cukup terang dan tanah masih sedikit basah. Dan yang lebih menyebalkannya lagi aku adalah bagian dari orang-orang itu.
“Silakan dinikmati sotonya. Semoga sembap di matamu cepat menghilang, ya!”
Aku menoleh ke arah Pak Muji dan spontan mengusap mata secara gantian. Setiap kali aku memesan dua porsi soto, Pak Muji kerap menyapaku dengan kalimat yang seketika membuat pagiku menjadi tidak enak.
“Bapak sudah sarapan?” aku melempar tanya saat kulihat sudah tidak ada lagi pembeli yang mengantri di samping gerobaknya. Dan maksudku yang lain adalah untuk mengalihkan pembicaraan.
“Sudah. Semangkuk soto cukup buat saya kenyang!” jawabnya sedikit mengejek.
Aku menyengir. Getir.
“Ah, Bapak bisa saja!”
Aku mengatur dua mangkuk soto agar sejajar di atas meja. Kuahnya yang panas mengepulkan aroma kenikmatan yang dengan cepat masuk ke rongga hidung. Tak lama Pak Muji duduk di seberang mejaku sambil membawa kotak tisu.
“Kamu sudah lama jadi pelanggan di sini. Tapi ada satu hal yang tidak saya ketahui, kenapa kamu kerap memesan dua porsi soto saat matamu sembap di pagi hari?”
Seketika aku mendongak. Mencari kesungguhan dalam matanya. Sementara gerimis masih turun dan orang-orang berlalu-lalang menghindarinya.
Aku katakan yang sebenarnya kepada Pak Muji. Dua porsi soto itu adalah caraku merayakan kesedihan. Aku menikah dengan seorang lelaki bernama Pandang dan sudah mencoba untuk bertahan selama satu tahun. Lelaki yang tidak pernah aku cintai dan hanya datang memberiku angin badai. Tapi aku tidak bisa menolak. Bahkan meminta untuk diberi pilihan pun tidak pernah di dengar. Ayah bilang aku akan hidup bahagia. Menjadi tuan putri dalam sebuah keluarga kecil. Memang terdengar sedikit meyakinkan saat aku tahu lelaki itu lahir dari keluarga serba ada. Tapi takdir Tuhan, siapa punya kuasa?
Awal pernikahan semua memang berjalan seperti apa yang ayah harapkan untuk anak semata wayangnya. Aku dibawa ke rumah megah itu dan hidup seperti seorang nyonya. Tapi, tak berapa lama kelurga kami jatuh sejatuh-jatuhnya. Kami terusir dari rumah kami sendiri dan keluar hanya membawa baju yang melekat di tubuh. Tak ada tempat kami berpulang, bahkan ayah enggan memberi kami tumpangan lebih dari 3 bulan. Saat aku mengulik atas perbuatannya kepadaku, ayah hanya bisa tutup telinga.
Akhirnya kami memberanikan diri untuk hidup mandiri. Pandang yang tak memiliki keahlian apa pun hanya sibuk mengurusi dua ekor ikan cupang di rumah kontrakan kami yang kecil. Hidupnya tak lebih menyedihkan dari ikan di dalam akuarium yang sempit dan berlumut. Aku memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik kain dan menjadi staf administrasi. Dengan upah umr yang tidak seberapa, ditambah perjalanan yang harus kutempuh dengan kereta dan transit di Stasiun Tanah Abang membuatku berpikir kapan kematian akan tiba.
Demikianlah pada suatu hari di mana aku sedang sendiri, seperti halnya semalam yang aku lewatkan begitu panjang, aku hanya bisa menangis dan meringis. Air mata itu turun begitu deras saat rasa pusing dan lelah sudah bercampur menjadi satu. Namun, kesedihan itu hanya membuatku merasa bersalah kepada diri sendiri. Andai aku bisa menarik waktu kembali, aku tak ingin terbuai oleh kata-kata. Halnya mencintai, kebahagiaan adalah sebuah ketenangan.
“Jadi, kamu menangisi dirimu sendiri?” ucap Pak Muji di seberang meja.
“Menangisi keadaan!” timpalku sekenanya.
“Kau bukan satu-satunya, Muara!” Pak Muji membalas. “Ratusan orang pernah duduk di sini dan berkeluh tentang kehiduapn mereka yang tidak menyenangkan. Kebanyakan dari mereka meminta agar kehidupan berjalan seperti apa yang mereka inginkan. Tetapi sesungguhnya, apa yang telah Tuhan takdirkan akan membawa kehidupan yang lebih baik. Kita hanya perlu menerima. Karena siapa yang bisa menerima, maka kebahagiaan tak akan pernah sirna.”
Seketika aku terdiam.
“Coba kamu lihat dua orang lelaki yang tergesa-gesa itu. Mereka pernah duduk di sini sambil menyeruput kuah soto. Dari penampilannya sudah jelas mereka dua orang pekerja kantoran yang sibuk. Pekerjaan mereka adalah impian semua orang. Memakai setelan jas, tubuhnya aroma citrus dengan rambut yang klimis di basahi gel. Tapi apa yang aku dengar dari cerita mereka, aku lebih bersyukur menjadi penjual soto. Setidaknya aku bisa menikmati kuah soto dengan tenang ketimbang mereka yang harus terburu-buru setiap hari.”
Sambil mengatakan itu Pak Muji menunjuk, lebih tepatnya menunjuk-nunjuk kedua pria yang sedang berlari di bawah gerimis menuju gerbang stasiun. Setelah itu aku kembali menatap matanya.
“Lalu coba kamu lihat wanita tua itu. Ia juga pernah makan di sini. Dia janda dan punya anak tiga. Suaminya mati tersambar petir saat sedang memperbaiki kabel listrik. Sebelum aku datang, ia sudah lebih dulu tiba di sini, lalu berdiri di depan pintu stasiun sambil mengasongkan mangkuk kosong. Sehari ia bisa dapat lima puluh sampai tujuh puluh ribu, dan tidak jarang juga pulang dengan tangan kosong. Kadang aku memberinya tiga porsi soto untuk dibawa pulang. Dan besoknya ia kembali dengan baju yang sama namun cerita sedih yang berbeda.”
Sekelebat pikiran-pikiran lain silih ganti di dalam kepala. Apa yang Pak Muji ucapkan seperti menjentikkan api dalam pikiran. Seketika itu aku melirik ke arah sekitar. Gerimis belum juga reda. Saat sedang mengamati tiap sudut jalan mataku menangkap sebuah objek yang tidak asing. Seorang lelaki berkulit putih baru saja keluar dari dalam stasiun. Langkahnya sempoyongan. Rambutnya berantakan. Dari jauh aku bisa melihat matanya yang merah dan aku yakin ia kembali mabuk di klub malam. Tanganku sudah bergetar ingin menghajar lelaki itu.
Aku meraba dua mangkuk soto dengan kedua tangan yang ternyata kuahnya sudah menjadi dingin. Aku segera meminta Pak Muji untuk membuatkan satu mangkuk soto lagi dengan kuah yang paling mendidih.
“Yang dua itu saja belum kamu makan!” ujar Pak Muji terlihat keheranan.
“Buatkan saja, Pak. Aku ingin membasuh wajah seseorang dengan kuah soto!” jawabku dengan bibir tersungging.
Biodata
Dede Soepriatna lahir di Bogor. Karyanya tersebar di media cetak dan media online. Bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Ig: @dhegol27