Ikan Paus Lupa Cara Berdiri
sejenak aku menguraikan kata-kata
seperti ikan paus yang mencoba menyelam di pasir,
siripnya mengoyak janji-janji yang sudah basi,
terperangkap dalam tarian angin pidato tanpa arah,
lalu kata-kata itu berubah menjadi kepiting,
berlari terburu-buru di lapangan pemilu—
mementaskan angin opera kehilangan di podium karang,
mengabaikan rakyat yang terhenti
di persimpangan puisi.
tapi rakyat tak benar-benar diam,
berputar di pusaran arus kebijakan,
dibawa amuk badai pajak dan hutang
bersembunyi di mata pemimpin yang dungu,
seperti senja yang berenang pelan ke dasar laut,
menumbuhkan karang janji-janji di palung Mariana,
di mana kapal-kapal tenggelam tanpa berita,
dan suar nelayan terperangkap dalam lumut birokrasi,
seperti sayap pesan yang tak sempat tiba,
terkikis gelombang yang terlalu lelah untuk kembali.
di mana alga-alga percakapan parlemen
menyerap wajah mimpi yang tak sempat pulang,
anak-anak udang bermain di bawahnya,
memanggil nama pemimpin yang kehilangan
cara mendengar,
sementara angin masih menari,
membalikkan kapal-kapal bermata kecil,
membawa abu yang kehilangan kaki,
dan paus itu—
lupa caranya berdiri
2025
Laut Lupa Cara Tenggelam
laut mulai ngiler lihat kulit pantai dikavling,
ombaknya mengecup garis batas
yang tak bisa dilewati,
keripik rumput laut dijual mahal
di minimarket ibukota,
sementara akar-akar di dasar samudra
diam-diam mencatat kehilangan.
gelombang itu membawa permen Antangin—
masuk angin gara-gara terlalu sering
dijanjikan perubahan,
angin timur berbisik lelah,
meninggalkan jejak-jejak usang di pasir
yang tak lagi mendengar suara perahu.
kapal kayu yang katanya berlayar
menuju surga demokrasi,
meleleh pelan-pelan dalam genggaman pemodal,
terkubur dalam pidato tentang investasi biru,
terapung, seperti mimpi-mimpi
yang tak pernah utuh.
lompat ke ujung laut,
tapi angin selalu berubah pikiran,
jatuh lagi ke buih yang bosan
mendengar janji kampanye,
menjadi angin yang gagal berlayar,
karena plang Private Property tumbuh
lebih cepat daripada pohon bakau
namun, angin itu mulai menyerah—
seperti orang yang dulu berontak,
tapi akhirnya duduk di warung kopi,
membawa pulang sedikit sisa subsidi,
lalu ditutupin langit yang malas melihat,
menyelimuti segalanya dengan krim keju
yang tak pernah selesai mengeras,
seperti laut lupa caranya tenggelam,
di dalam opini yang lebih kuat
dari ombak reformasi.
2025
Suara Lupa Punya Tubuh
di kaca kamar mandi,
wajah pecah jadi tetesan air,
berbicara pada sel-sel tubuh,
tapi mereka sudah menjadi hantu
dalam jaringan saraf,
jadi jalan keseringan masuk angin—
selalu takut bayangan yang
tak punya kaki,
menggelinding seperti bola mata
yang lupa punya cicilan.
di bawah pancuran shower
yang memuntahkan udara dingin,
jarak mengendap di antara urat-urat,
menunggu keringat yang sudah mati
digerogoti waktu,
sementara lidah mengigit tubuhnya sendiri,
menelan lampu di langit-langit mulut,
mengunyah kedua rongga mata yang merah,
sampai pipinya bengkak seperti baterai bocor.
kulit dan bulu itu tertidur
di kasur bau debu,
membawa punggung yang
tak pernah bangun,
di mana suara-suara membatu
menjadi tembok warna-warni,
dan waktu berputar seperti lalat lapar,
akhirnya memakan sayapnya sendiri,
menyeret dirinya dalam lingkaran
yang tak putus.
tapi suara-suara di kepala tetap menggema,
menyusup lewat lubang hidung,
mengalir di sela gigi berlubang,
menjadi dengung yang tak bisa diam,
seperti saluran air mampet
yang menolak membuang sia-sia.
sampai akhirnya,
aku keluar kamar mandi,
lantai dingin menjalar ke tulang,
membangunkan kesadaran
yang masih mengantuk.
di luar, suara lain juga ambil alih,
bukan dari saluran pembuangan,
tapi ke gedung yang lebih sibuk
dari pasar,
pidato lebih sering berkeliaran
daripada nyamuk di musim pengkhianat,
dan formulir antre lebih panjang
dari doa orang-orang yang kelaparan
di meja rapat, mereka mencari cara
agar bisu tetap bisa bersiul,
tapi hanya bisa lulus verifikasi kata,
dan kalau terlalu keras,
bisa kena pasal etika berbicara.
di luar, antrean bantuan mengular
syaratnya bertambah:
1. tiga rangkap foto sedang lapar;
2. satu rangkap surat peryataan bersedia
tidak akan sakit sebelum bantuan tiba.
mencoba bernapas di udara
penuh suara-suara
tanpa tubuh,
perlahan menelan,
seperti gema yang terlalu samar
untuk diingat,
tak cukup mati untuk dilupakan.
2025
Kota Lupa Punya Kaki
di tepi kota, angin mengiris
ingatan yang terbelah
di jalanan yang basah—
jalanan yang dulu berdenyut,
kini tersumbat beton-beton,
dan janji yang diproklamasikan
di baliho
bersama senyum para perencana kota
terperangkap di tulang trotoar
yang tak lagi untuk kaki,
melainkan untuk proyek yang tak
rampung-rampung,
spanduk reklame yang dirampas
investor,
dan ruko-ruko yang menelan warung tua
hingga bau kopi yang tak lagi dikenang
di lantai hujan, tubuh rebah,
berselimut rindu yang basi,
seperti roti busuk yang tak pernah disentuh,
atau kata-kata yang memasang mata dari debu
di sudut-sudut malam yang
tak peduli lagi melihat
kota ini reruntuhan suara,
klakson menggantikan percakapan,
pohon-pohon dipaksa minggat
karena tak mau jadi pajangan kampanye,
jalan yang diaspal ulang
hanya untuk dijilat ban mewah,
sementara yang tak punya rumah
menulis puisi di kardus bekas
di antara bangunan yang lebih kenyang
daripada hati yang telah lama kosong
bayangan mencari tubuhnya sendiri
di kota yang bahkan tak ingat
siapa kita—
hanya angka dalam laporan pertumbuhan,
hanya nama dalam daftar yang digusur
2025
Celaka Wajah Kita Sendiri
celakalah kita mencuri gorengan nasib dari malaikat
digoreng di wajan Tuhan
dengan minyak dosa yang tak pernah kering—
berdesis, meletup,
menyerukan bau khianat ke atap langit
sementara malaikat terdiam,
kita menikmati suapan daging doa ke mulut,
mengunyahnya dengan gigi yang dicetak
dari kitab suci,
sambil menyesap wine dari cawan air mata korban.
kita mendirikan monumen dari tulangnya,
batu nisannya diukir dengan doa-doa palsu,
ziarahi tiap pekan dengan dahi
menyentuh tanah,
menghitung laba dari tiket masuk rumah ibadah.
malaikat merengek meminta pada Tuhan,
tapi kita tak peduli,
kita berselfie di atas altar,
memastikan wajah kita tampak teduh
dan penuh rahmat.
bukan sebab kita kenyang,
melainkan kita takut melihat cermin,
jika kita menatap terlalu lama,
wajah di dalamnya akan mekar
tanpa kelopak,
gigi berterbangan,
rahangnya meledak.
dan dari mulut yang koyak,
membacakan nama kita
satu per satu.
2025
BIODATA
Palito lahir di Lohong, 18 Oktober 2001, dan saat ini berdomisili di Sumatra Barat. Lulusan Sarjana Bimbingan Konseling (BK) di Universitas PGRI Sumatra Barat, ia menulis secara otodidak dan berproses di Kelas Puisi Bekasi (KPB). Baginya, menulis adalah bentuk ekspresi sekaligus ruang perenungan tentang kehidupan dan waktu. Dapat dihubungi melalui email: [email protected] dan Instagram: @paa_litoo.