“DILARANG MENCINTAI BUNGA” begitu tulisan larangan yang terpampang di depan kelas. Banyak yang tidak tahu maksudnya apa. Mahasiswa yang sedari tadi kumpul-kumpul hanya tersenyum sinis, sebagian malah mengaitkannya dengan pengalihan isu kenaikan uang kuliah. Konon tulisan itu adalah bagian dari program rektor yang baru sebulan dilantik. Pak Rektor tidak menyukai bunga. Beliau alergi dengan wanginya terlebih warnanya yang mencolok. Pak Rektor tidak suka. Apa pun yang berkaitan dengan bunga beliau akan sangat agresif, marah dan melarang. Bahkan, mahasiswa dengan nama bunga dan turunannya, seperti mawar, melati, kenanga, anggrek, lili, teratai, dan lain sebagainya akan diminta mengganti nama mereka atau tidak usah berkuliah di kampus ini.
Begitu tidak sukanya Pak Rektor dengan bunga hingga beliau pun berniat mengganti lambang kampus yang sedikit menampilkan bunga teratai di logonya. Pak Rektor tidak suka. Gambar bunga dalam logo harus segera diganti. Maka disusunlah panitia khusus untuk mengganti logo kampus yang sudah ada hampir setengah abad yang lalu itu. Pak Rektor risi dengan gambar bunga di logo kampus. Dia bersikukuh bahwa logo kampus harus diganti. Panitia khusus sudah dibentuk, diberikan arahan, dan mereka sudah mulai bekerja. Setidaknya, bulan depan logo kampus sudah harus berubah, berganti, tidak ada lagi gambar bunga teratai dalam logonya.
Akibat dari larangan itu maka banyak tanaman bunga yang berada di taman kampus, di depan ruang program studi, di pojok-pojok kelas, dan di mana pun sekejap hilang dan dimusnahkan. Semua diganti dengan hiasan dari batu. Pak Rektor menggantinya dengan patung para pahlawan, patung binatang, dan ornamen apa pun yang diukir dan dipahat di batu. Tapi, bukan bunga. Sejak itulah kampus kami tidak mengenal bunga. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, ada dosen senior yang sudah lama mengabdi di kampus, dipecat gara-gara memiliki nama Mawar Mekar, Prof. Dr. Mawar Mekar, M.Kes. beliau adalah mantan rektor sebelumnya, pernah menjadi staf ahli menteri kesehatan juga. Akan tetapi, bagi Pak Rektor, adalah pelanggaran serius ketika membawa unsur bunga di kampus ini, setidaknya selama dia masih menjabat.
Pak Rektor bukan orang sembarangan beliau adalah putra satu-satunya ketua yayasan dan kampus yang kelak tentu saja akan mewarisi semuanya. Pak Rektor adalah alumni dari universitas ternama di luar dan dalam negeri, gelarnya pun teramat mentereng, Prof. G.B.C. Handika, M.Sc., M.A., Ph.D. program masternya didapat dari dua universitas ternama, di Eropa dan Asia Timur, sedangkan gelar doktornya diperoleh dari universitas ternama di Amerika. Sangat elegan, cerdas, visioner, bergaya, dan tentu saja tidak menyukai bunga.
G.B.C. Handika adalah sosok pria yang sangat humble sekaligus tegas, humoris dan juga serius, cerdas plus perlente. Kombinasi yang sangat cocok sebagai pemimpin kampus, sebagai rektor. Pak Rektor yang menjabat memiliki keahlian yang sangat mumpuni, beliau adalah ahli nuklir yang sangat sarat dengan prestasi. Beliau pernah bekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Novovoronezh, Rusia. Mungkin satu-satunya orang Indonesia yang bekerja di sana. Beliau kembali ke Indonesia karena diminta oleh Ayahnya, satu tahun sebelum wafat. Ayahnya meminta G.B.C. Handika untuk membina dan mengembangkan yayasan dan kampus yang sudah sangat lama dirintisnya.
Prof. G.B.C. Handika, M.Sc., M.A., Ph.D. menjadi rektor sebagai bagian dari baktinya kepada orang tua yang sangat dipatuhi dan dihormatinya. Beliau rela meninggalkan jabatan tinggi di Novovoronezh, Rusia. Beliau hanya ingin memenuhi keinginan ayahnya untuk memajukan yayasan dan kampus ini. Akan tetapi, untuk sesuatu yang berkaitan dengan bunga Dia akan sangat reaktif, sebagaimana reaktor nuklir yang siap meledak dan membinasakan semuanya. Pak Rektor sangat tidak suka dengan bunga. Itu saja. “Untuk hal lain bisa kita bicarakan, tetapi untuk bunga tidak ada toleransi. Titik.” begitu ucapnya tegas kepada ratusan staf dan pegawainya.
Pak Rektor sudah ditinggal wafat ibundanya sejak usia beliau 11 tahun. Mungkin itu yang menyebabkan Pak Rektor tidak menyukai bunga. “Bagi Pak Rektor bunga akan mengingatkannya pada sosok ibunda,” ucap Pak Dirsan, dosen senior di kampus. Menurut Pak Dirsan, ibu Pak Rektor sangat romantis, di rumahnya tumbuh beraneka bunga yang sangat indah. Konon, ibu Pak Rektor juga keturunan bangsawan, ningrat. Makanya, bisa membuat yayasan dan kampus yang sangat besar nan megah. Nama G.B.C. Handika pun menurut Pak Dirsan adalah kepanjangan dari Gusti Bambang Cahyono Handika, gelar bangsawan yang termasyhur. Jelas, bahwa penunjukan Pak Rektor sebagai pengganti sang Ayah sudah sangat tepat. Hanya saja dia tidak menyukai bunga.
Gaya Pak Rektor adalah perpaduan kecerdasan timur dan barat. Beliau adalah hasil kecerdasan otak Amerika dan Rusia serta kegeniusan akal orang Jepang dan India. Pak Rektor muda ditempa pendidikan dan pengalaman bertahun-tahun di negara-negara tersebut. Sempat ditawari sebagai Menteri ESDM oleh presiden terpilih beliau menolak karena lebih tertantang untuk menjadi ahli nuklir. Sempat juga diminta untuk menjadi Menteri BUMN pun juga ditolaknya. Pendiriannya kuat. Dia hanya ingin maju dan berkembang sesuai cita dan cintanya. Bukan hanya karena jabatan dan uang. “Apa pula makna jabatan dan uang. Lha wong dari kecil Pak Rektor sudah hidup dalam kemewahan.” ujar Pak Dirsan ketika bercerita tentang Pak Rektor kepada kami.
Umur Pak Rektor kurang lebih 43 tahun, menjadi profesor termuda di Rusia dengan spesifikasi keahlian Teknik Nuklir Komputasional. Jarang sekali orang yang menguasai keahlian ini, bahkan untuk orang Eropa sekalipun. Pak Rektor bisa mencapainya di usia 43 tahun. Luar biasa. Sayangnya, semua pencapaian gemilang ini tidak dibarengi dengan kesuksesannya dalam membina rumah tangga. Pak Rektor belum beristri, masih lajang. Nah, hal ini yang mungkin menjadi sebab Pak Rektor benci dengan bunga. Apakah karena pernah disakiti oleh perempuan? Ataukah pernah gagal dalam membina hubungan dengan kekasihnya? Untuk hal ini, Pak Dirsan pun tidak mengetahuinya. “Mungkin Pak Rektor masih memiliki cita-cita yang belum tercapai.” jelas Pak Dirsan. Sebagian yang lain mengaitkannya dengan sumpah amukti palapa Gadjah Mada.
“Jangan-jangan, Pak Rektor itu titisan Mahapatih Gadjah Mada yang akan memajukan yayasan dan kampus kita.” ujar seorang dosen sejarah.
“Gadjah Mada kan mahapatih. Lha, Pak Rektor kan pemimpin. Jadi tidak sama Pak.” dosen psikologi menimpali.
“Jadi, kenapa Pak Rektor belum menikah ya?” tanya Pak Indra, dosen linguistik dan ahli beragam bahasa.
“Ya, mana saya tahu.” jelas Pak Dirsan. “Tanya sendiri sana!” tegasnya.
****
Semenjak kampus dipimpin Pak Rektor memang terlihat kemajuan yang signifikan. Beberapa fakultas dan program studi terakreditasi unggul. Bahkan yang paling fenomenal, akreditasi kampus juga unggul plus diraihnya akreditasi dari Amerika Serikat, yakni Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET). Akreditasi ini sangat prestisius untuk kampus yang memiliki program studi teknik dan teknologi. Nama yayasan dan kampus semakin berkibar memesona. Sangat mengesankan. Walaupun tetap saja, Pak Rektor tidak menyukai bunga. Pak Rektor membencinya. Sangat tidak suka. Sangat amat tidak suka.
Hari ini, tanggal 12 Juni, Pak Rektor akan menerima tamu dari beberapa kampus dari dalam dan luar negeri. Banyak agenda yang direncanakan. Mulai dari kerja sama bidang penelitian, bidang pengabdian, bidang pengajaran hingga bidang pengembangan teknologi mutakhir. Acara sangat padat. Pak Rektor hari ini tidak terlihat seperti biasa. Terlihat kurang bugar, mungkin kurang sehat atau sedang sakit. Akan tetapi, demi nama baik yayasan dan kampus. Pak Rektor bertekad untuk menyukseskan acara supaya terlaksana dan berjalan dengan sukses.
Setelah semua acara selesai, di ruangannya, Pak Rektor termenung melihat banyaknya peristiwa yang dia alami hari ini. Menguras tenaga dan pikirannya, tentu saja. Dia melihat kalender di meja kerjanya. Tanggal 12 Juni sudah dilingkari. Ternyata, hari ini adalah hari ulang tahunnya. Beliau akan sangat senang ketika ulang tahunnya tiba karena dulu ibundanya akan selalu menyediakan bolu ulang tahun yang sangat mewah. Rasa tiramisu dengan taburan cokelat. Tidak lupa lilin dan tulisan ucapan ulang tahun “Selamat Ulang Tahun Anakku, Gardenia Bunga Citra Handika.*****
Bandung, 12 Juni 2025
Biodata
HERI ISNAINI lahir di Subang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Juni. Pernah mengikuti acara “Temu Penyair Asia Tenggara 2018” di Padang Panjang, Sumatera Barat, mengikuti Festival Seni Multatuli 6-9 September 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Puisi-puisinya juga pernah dimuat pada Jurnal Aksara, Deakin University, Australia. Cerpennya pernah dimuat pada koran Radar Banyuwangi, Radar Kediri, dan Harian Rakyat Sultra. Kegiatan sehari-harinya adalah Dosen Sastra IKIP Siliwangi Cimahi.