Usia Mawar
Tak ada yang disangsikan; mawar tumbuh. Duri-duri kian kuat
dan tajam. Ranting-ranting melahirkan daun. Ujung ranting
kuncup-kuncup. Empat hari mekar. Lima hari, lalu pudar.
Gugur. Menyatu tanah. Tak ada lagi pesona dan aroma.
Serupa apa degup hatimu?
Usia mawar; matamu mengerjap. Ada bening cahaya. Ribuan
cinta. Pertemuan. Karena engkau puisi tak butuh puja-puji.
Hanya imaji liar. Sesetia apa pada cinta? Terkadang hanya ilusi
Hanya perasaan curiga. Usia mawar; usia cinta?
Usia dan matahari dan rembulan berpeluk hangat sunyi.
: “Izinkan, duri mawar berbagi perih dengan seduka rindu!”
Jaspinka, 31 Agustus 2024
Lelaki Hutan Pinus
dari pagi ke senja, lelaki hutan pinus menatah pohon-
pohon– tampung getah tetes dengan batok kelapa.
Menyambung tali hidupnya kian usang.
Lelaki hutan pinus dari ketinggian melihat Manusia Bunglon—
dulu berwajah merah, hari ini wajahnya kuning, besok biru,
lusa hijau, di hari lainnya putih, jingga, kelabu. Jikalau
mulutnya menganga, yang disampaikan tidak tahu berarti tahu.
Yang diungkapkan tidak cawe-cawe ternyata cawe-cawe.
Wajahnya bisa serupa badut. Atau serupa jaelangkung.
Tetapi selalu berjalan dengan langkah lugu. Kura-kura dalam
perahu. Cengengesan.
Lelaki hutan pinus, menakik getah. Tatapannya lindap.
: “Sampai kapan Manusia Bunglon hidup? Mungkin sampai rakyat
mengamuk. Meremukkan tubuhnya. Dengan seksama!”
Udara sejuk. Bukit menjulang. Lelaki hutan pinus terus saja
menakik getah.
: “Akan tiba saatnya kehancuran Manusia Bunglon!”
Getah tetes. Hati-jiwa lelaki hutan pinus ngilu.
Jaspinka, 26 Agustus 2024
Bunga Liar
Sepanjang perjalanan setelah lewat bunga-bunga liar. Petak-
petak sawah. Jalan kecil berkelok. Naik turun bukit. Di sisi
kanan-kiri hutan pinus. Semilir angin. Engkau berbisik
: “Waduk Penjalin, makan betutu dengan panorama indah!”
Serupa danau dengan air biru. Di kejauhan gugusan bukit
menjulang. Apa itu Gunung Slamet? Sorot mata berbinar.
Jukung dan biduk tertambat diam di ceruk. Matahari
bergetar ke Barat. : “Kita naik jukung. Kita sisir danau
buatan ini. Menulis puisi tentang garis hidup yang retak.
Tetapi sarat imaji dan harum mawar!”
Jukung bergerak kencang diterpa angin…
Sejarah tercabik sembilu dua mata. Kenangan jingga.
Setiap pertemuan bisa berakhir pahit perpisahan. Tetapi
tidaklah ada sisa gugur mawar. Walau kelopak tak lagi
semerbak? Kita mengatur jarak dan waktu. : “Ulurkan
tanganmu untuk sebuah kebaikan; mengayuh jukung
ke ceruk paling purba. Cinta!”
Jaspinka, 22 Juli 2024
Au, Izinkan Aku Mengecup Bekas Luka
Ada bekas luka yang sangat sulit kupahami, karena tepat
di bawah uluhati. Seperih apa rasa sakitnya. Berapa lama
berdarahnya. Kadang aku ingin menangis untuk sebuah
ketulusan. Walau tak jarang rasa marah itu pecah. Kala
tidak didengar suara hatinya. Hal-hal sepele atau sederhana
bisa menjelma sembilu. Mengiris ruang dan waktu.
: “O, yang maha Kasih, jangan beri aku kenangan pahit.
Aku mau seluruh ruang dan waktu adalah kebersamaan
tanpa cela!”
Serupa wangi jiwa Perempuan Embun, sesingkat apa pun
pertemuan jadikan mawar tanpa duri. Kebahagiaan. Yang
berpendar di langit-langit cahaya. O, yang maha Kasih,
khilaf dan salah tak akan terulang. Sepanjang jalan menuju
rumah atas bukit. Tempat bertarung puisi dengan sukacita.
Au, izinkan aku mengecup bekas luka di bawah uluhatimu!
Jaspinka, 26 Desember 2023
Debur Ombak di Tebing Karang
Kalau kalian bukan perempuan embun, minggirlah, tak usah
bermimpi mendapat puisi dari penyair fakir– selalu
memelihara imaji liar. Penyair yang tulus berkendara air mata
dan bergulat sehabis-habis imaji. Hingga akhir kata-kata.
Au, kalau kalian bukan perempuan embun, menyingkirlah,
nikmati saja hidup dengan segala kamuflase. Dengan segala
kepongahan dan angan-angan kusut. Nikmati saja kilau
fatamorgana. Hingga tubuh kian gersang. Jiwa kian kosong.
Dan serupa debur ombak menjelma buih di tebing karang
: nyaris tak bermakna. Hanya sunyi. Hanya nyeri.
Perempuan embun, yang senantiasa memelihara tubuh dan
jiwanya dari rasa cinta dan kesetiaan penyair fakir.
Sepenuh suka-cita. Bangun tengah malam, zikir hingga subuh.
Siang, bertarung dengan keringat mengucur, melawan segala
bentuk penistaan. Ia tegakkan harga diri. Ia tidak mau
menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Sepahit-getir
apa pun perjalanannya tak ada keluh kesah. Kebahagiaan
sebesar apa pun tidak dipamerkan. Ia terus melaju. Dengan mata
berkaca-kaca. O, cahaya menyala di sekujur tubuhnya.
Nyaris tak ada luka!
Jaspinka, 24 Desember 2023
Kita Merancang Masa Depan yang Absurd
Setelah melewati tahun-tahun sunyi; aku tiarap di bawah
rimbun Sajakku. Menikmati luka. Kulepas engkau ke
kota jauh tanpa sekalipun kecup. Hujan dan panas kota,
debu, mengajari arti kebersamaan. Arti perpisahan. Tiada
sadar kita bangun rumah kenangan. Rumah ingatan. Dengan
keikhalasan. Bertahun kemudian kita dipertemukan sebagai
gugur mawar. Tenang tanpa dendam.
: “Kita masuki rumah kenangan. Dengan cerita-cerita lucu.
Unik. Adakalanya menyakitkan. Adakalanya
binar mata kebahagiaan!”
Dalam hujan. Kita berenang ke tengah laut. Mencari sajak
yang retak. Memburu camar luka sayap. Untuk kemudian
menghitung-hitung bintang dari mercusuar. Telah
sedalam apakah laut kita selami?
: “Dan pendakian kita ke bukit pinus, seringkali hanya
menyisakan sembilu rindu!”
Dalam tikaman matahari. Kita merancang masa depan
yang absurd. Serupa lukisan. Kita biarkan sapuan kuas
di atas kanvas. Dengan komposisi warna sekenanya. Tetapi
dengan jemari sepenuh kasih.
: “Kesempurnaan hanya milik takdir. Sedangkan cinta bisa lebur!”
Dalam elusan waktu. Kita mungkin bertemu. Tanpa dendam.
Kita susuri jalan cahaya hingga masuk ke dalam rumah kenangan.
Jaspinka, 17 Desember 2023
Kalau Engkau Tungku, Aku Nyala Apinya
yang membuat aku kagum karena perempuan embun tak suka
berpura-pura bahagia, ia apa adanya, tidak pernah
menyembunyikan kemiskinannya, tidak menanam
tebu di bibirnya, ia tegar berkharisma, ia petarung dalam
garis hidupnya, pantang ia minta dibelaskasihani, tidak
sekalipun ia mendustakan kesedihannya, apalagi soal cinta—
ia tak akan silau dengan harta, tetapi ia sangat terhormat
: suara hatinya tulus, marwah jiwanya wangi
: “aku menjatuhkan pilihan hanya pada perempuan embum!”
au, satu jalan lurus
ke rumah perempuan embun
rumah kayu sederhana
bersama ciptakan surga
: “kalau engkau tungku aku nyala apinya!”
tiada air mata cemburu
pada jarak dan waktu.
Jaspinka, 13122023
BIODATA
Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat. Puisinya disiarkan di Majalah Sastra Horison, Koran Jawa Pos, Tempo, Media Indonesia, Indopos, Kompas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Raykat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Asyik.asyik.com., dll. Puisi-puisinya juga terhimpun ke dalam puluhan antologi bersama.