PADA tanggal 28 Mei 2025 lalu, dunia musik klasik menerima berita duka: komponis terkemuka Denmark yang telah menjadi inspirasi dunia seni modern telah wafat di usia 92 tahun.
Obituari ini hanya mengenangnya, bukan biografinya. Bahkan saya pun tidak melampirkan fotonya, untuk “memaksa” para pembaca meng-google fotonya, yang saya harapkan keterusan membaca tentangnya. Pasti 99% rakyat Indonesia belum mengenal karya-karya beliau bahkan namanya pun tidak. Selain saya tulis karena keinginan pribadi, tulisan ini saya buat karena saya pikir Indonesia harus lebih mengenalnya sebagai seniman yang sangat terinspirasi oleh budaya Timur seperti di opera Siddharta, karya pertamanya yang saya saksikan secara langsung dan membuat saya bukan saja kagum, tapi menjawab banyak pertanyaan dalam diri saya saat itu sebagai seorang ABG labil dari suku Jawa yang pertama kalinya menginjakkan kaki di negara Nordik.
Saya lupa tahun berapa tepatnya saat itu, yang saya ingat saat itu saya masih kuliah, berarti tahun 1990an. Pertama kali saya ke Denmark adalah setelah saya memenangkan kompetisi untuk musisi muda di Belanda, yang hadiahnya tur konser ke beberapa negara. Saat itu saya hanya mengenal dua nama dari musik sastra Denmark, yaitu Carl Nielsen (1865-1931) dan Per Nørgård (walaupun Nørgård masih aktif, bagi saya yang masih mahasiswa itu sudah menganggapnya sebagai legenda) yang baru saya ketahui saat kuliah di Royal Conservatory of Music di Den Haag. Pengetahuan saya tentang Denmark sebelumnya hanya terbatas pada Hans Christian Andersen, yang buku-bukunya telah hampir lengkap saya “telan” saat saya kecil.
Salah satu kota tempat saya tampil adalah Aarhus, dan kebetulan saat itu juga sedang dipagelarkan opera Per Norgard yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, “Siddharta” di Opera House. Kesempatan itu tentu tak saya lewati, walaupun saya hanya mampu membeli tiket yang paling murah di paling belakang dan atas. Setelah 2 jam yang sungguh memukau dan saya masih ingat sampai sekarang, saya lihat seorang berambut putih gondrong berdiri dari tempat duduknya, menuju panggung dan hormat kepada penonton yang menggila setelah menyaksikan opera yang spektakuler ini. Saat itu saya merasa seperti melihat Ludwig von Beethoven hidup kembali. Sebagai satu dari sekitar 2000 penonton saat itu, tentu tidak terpikirkan untuk mencarinya dan berfoto dengannya karena 1. saya bukan siapa-siapa dan 2. saat itu budaya selfie tentu belum ada!
Jika ada peramal yang mengatakan bahwa kami akan bekerjasama sekitar 10 tahun kemudian, saya tidak akan percaya. Padahal, ternyata itu yang terjadi. Kami jadi saling mengenal, walaupun hanya lewat rekaman masing-masing selama 10 tahun setelah itu. Saya (dan semua musikus di atas planet ini) memang tahu siapa dia, tapi saya tidak menyangka bahwa dia juga akhirnya tahu siapa saya ….. sampai tahun 2002.
Sekitar bulan Oktober 2002, setelah tragedi bom Bali, saya menerima fax dari penerbit dan managementnya di Denmark. Fax itu, kalaupun saya simpan, pasti tintanya sudah luntur, padahal itu sangat bersejarah. Isinya adalah bahwa atas nama Per Nørgård, mereka mengucapkan dukacita yang mendalam, terutama karena Norgard banyak belajar tentang sistem musik dari Bali dan Jawa yang telah memperkaya bahasa musikalnya, dan ia terdorong untuk menciptakan musik yang mengekspresikan kenangannya tentang Bali. Saya pun membalasnya, dan mengutarakan kesediaan saya untuk membantunya dalam proses penulisan ataupun pertunjukannya. Tak disangka, beberapa jam kemudian telpon pun berdering dengan awalan +45 yaitu Denmark, dan yang tadinya saya kira adalah manager atau penerbitnya (saya sudah curiga, sudah malam kok mereka masih bekerja ya?), ternyata adalah … sang legenda sendiri! Kami pun langsung berdiskusi mengenai karya baru ini (ia tentu tidak membutuhkan pertolongan saya untuk proses kreatifnya, karena ternyata ia sudah sangat mengenal sistem tangganada pentatonik), yang beberapa minggu kemudian saya terima partiturnya, berjudul “Many Returns to Bali”.
Per Nørgård bukanlah satu-satunya komponis yang mengirimkan ucapan dukacita ke saya. Ada beberapa komponis lainnya, antara lain Nancy van de Vate dari Vienna, komponis Amerika yang kemudian berkewarganegaraan Austria, pendiri International League of Women Composers. Niatnya sama, menulis karya piano mengenang peristiwa berdarah ini. Juga komponis Spanyol David del Puerto, Jesus Rueda, Polo Vallejo dan masih ada beberapa lagi.
Dengan “hujan” karya-karya baru ini saya bingung, dimana saja saya akan mempagelarkannya? Tidak disangka, saya mendapat undangan konser ke Australia dari John Davis, kepala Australian Music Centre yang telah bekerjasama dengan saya sebelumnya. Ini kesempatan yang baik untuk memperdanakan karya-karya tersebut, dan John menyambutnya dengan baik tawaran program saya tersebut, karena Australia adalah negara paling berduka dari tragedi tersebut : korban terbanyak adalah dari Australia. John Davis pun menghubungi beberapa komponis Australia yang kami juga saling kenal, antara lain Peter Sculthorpe (sekarang almarhum), Barry Conyngham dan Betty Beath. Tiga nama ini pernah atau sering ke Indonesia dan sangat terinspirasi juga oleh musik gamelan Bali, dan mereka tanpa ragu menerima permintaan John untuk ikut menulis karya piano baru. Akhirnya ada belasan karya yang tercipta untuk memperingati tragedi ini, dan ada beberapa konser saya yang programnya eksklusif memainkan semua karya ini di Australia, New Zealand dan beberapa kota di Eropa. Tapi kemudian secara terpisah, karya-karya ini terus saya mainkan di konser lain, dan bahkan kemudian dimainkan juga oleh pianis-pianis lain. Dan yang paling penting, saya pun akhirnya menuliskan Rapsodia Nusantara no. 10, sekitar 10 tahun setelah kejadian tersebut (mungkin ini yang namanya “jagoan datang paling akhir”) setelah saya mainkan karya-karya komponis dunia itu di ratusan konser di berbagai negara. Dengan musik, tragedi Bom Bali 2002 terus dikenang dan semoga terus mengingatkan kita tentang bahaya terorisme. Dan secara tidak sengaja, peristiwa bom Bali 2002 juga menjadi tonggak sejarah di dunia musik sastra karena lahirlah banyak interpretasi baru dari penggunaan modus dan tangganada gamelan Bali untuk piano. Semua karya ini berbeda bahasa musikal dan gaya penulisannya, tapi semua bersumber dari keinginan mengekspresikan kesedihan, menggunakan teknik dan modus tangganada musik Bali.
Many Returns to Bali, juga karya-karya yang memperingati Bom Bali 2002 memang ditulis untuk saya, tapi saya anggap (dan saya sampaikan kepada para komponisnya) bahwa itu ditulis untuk Indonesia sebagai tanda persahabatan dan simpati rasa dukacita. Selain itu, saya mempersilakan para komponis itu untuk langsung menerbitkannya sehingga memberi kesempatan kepada pianis-pianis lainnya untuk memainkannya, karena saya menganggap bahwa kejadian ini penting untuk terus diingat di seluruh penjuru dunia.
Per Norgard memiliki kemewahan yang saya tidak (belum?) dapat nikmati : ia bisa tinggal jauh di pedesaan, dan hanya berkutat dengan musiknya tanpa kehidupan sosial selama beberapa dekade terakhir ini. Tentu ia tidak ikutan media sosial apapun, dan ini bukan disebabkan usianya, tapi memang sejak saya mengenalnya, ia memang cenderung reklusif dan tidak suka berkomunikasi dengan orang yang “tidak satu frekuensi”, termasuk orang yang awam di bidang seni.
Dengan karyanya yang tersebar merata di berbagai genre musik, dari simfoni, opera, dan musik kamar hingga musik film dan teater, produksi Per Nørgård merupakan dokumen perjalanan yang sangat personal berdasarkan serbuan dan perjalanannya yang tak berujung melalui labirin sonik ini. Dunia bagi Nørgård bukan sekadar kumpulan peristiwa yang membingungkan, kekacauan dan penderitaan yang tak dapat disembuhkan, tetapi juga tempat yang mempesona, penuh dengan hal-hal yang dapat ditemukan jika kita membuka pikiran dan indera kita lebar-lebar: keragaman alam yang tak berujung, hubungan yang tak terbatas antara berbagai hal, dan yang terpenting adalah alam semesta yang sangat kompleks yang diwakili oleh suara apa pun, tidak peduli seberapa sederhana atau kompleksnya. Buat saya, ia bukanlah seniman yang “prolific” atau produktif ; jumlah karyanya hanya sekitar 400 (walaupun kebanyakan dalam skala besar) atau durasi sekitar 100 jam, dan untuk seseorang berusia 92 tahun dan sudah mulai berkarya sejak sebelum, secara kuantitas itu tidaklah banyak. Jumlah itu sudah jauh dilewati oleh saya di usia saya ini, bahkan Wolfgang Amadeus Mozart yang wafat di usia 35 tahun. Yang mengagumkan adalah kemampuannya untuk berkembang dan bertransformasi; musiknya banyak berubah seiring waktu, tapi kita tetap menemukan identitasnya sejak karya masa mudanya sampai karya terakhirnya.
Nørgård tidak pernah berhenti mendengarkan — dan menyerap — dunia di sekitarnya, termasuk yang terbaru, musik cucunya penyanyi pop Jada, yang menyebutnya sebagai pengaruh kreatif utamanya. Ia telah membuktikan bahwa musik, apapun genre-nya, darimana asal dan latarbelakang penciptaannya, bisa saling menginspirasi. Sebagai orang Indonesia, saya bangga bahwa musik gamelan Jawa dan Bali telah memperkaya musiknya yang kemudian memperkaya khasanah musik saya sebagai seorang komponis dan juga repertoire para pianis. “Many Returns to Bali” tidak langsung berbunyi seperti imitasi gamelan Bali, tapi kira-kira itulah ekspresi seorang Denmark yang menyerap dan berinteraksi dengan udara, sinar matahari, penduduk, tarian dan gamelan di Bali.
Dalam banyak arti, Per Nørgård adalah pengembara dalam musik Denmark dan perjalanannya telah membawanya jauh. Nørgård muda yang bersahaja yang berlindung dari hiruk pikuk dunia modern dalam apa yang disebutnya sebagai ‘alam semesta pikiran Nordik’ mungkin sulit dikenali dalam Nørgård yang kaleidoskopik dan ambigu di tahun enam puluhan. Itu berubah lagi dalam metafisikawan pencari keindahan di tahun tujuh puluhan atau dalam peneliti ekspresionis di tahun delapan puluhan. Namun dengan memilih fokus yang tepat, kita tidak akan gagal melihat bahwa keseluruhannya dipenuhi oleh minat yang sama; semua perjalanan sebenarnya adalah satu dan perjalanan yang sama: mencari makna dan identitas kehidupan.
BIODATA
Selain dianugerahi penghargaan tertinggi dari Kerajaan Spanyol “Real Orden de Isabel la Católica”, Ananda Sukarlan juga pernah dianugerahi gelar kesatriaan “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” oleh Presiden Italia Sergio Mattarella pada tahun 2020.
Ia juga seniman Indonesia pertama yang diundang Portugal tepat setelah hubungan diplomatik Indonesia dan Portugal pada tahun 2000 ini juga telah dianugerahi banyak pengakuan swasta seperti Prix Nadia Boulanger dari Orleans, Perancis.
Ananda Sukarlan adalah salah satu dari 32 tokoh dalam buku “Heroes Amongst Us (Pahlawan di Antara Kita)”, yang ditulis oleh Dr. Amit Nagpal yang diterbitkan di India. Ananda juga masuk sebagai salah satu dari 100 “Asia’s Most Influential” atau “Orang Asia Paling Berpengaruh” di dunia seni tahun 2020 oleh Majalah Tatler Asia.
Karya terbarunya akan diluncurkan bulan Juni ini oleh Warner Classics yaitu “The Springs of Vincent”, berdasarkan empat lukisan tentang musim semi Vincent Van Gogh, yang dibawakan oleh pemain flute Eduard Sanchez dan pianis Enrique Bagaria.