BALI, Balipolitika.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pendidikan dasar selama 9 tahun, baik di sekolah negeri maupun swasta wajib gratis.
Putusan ini tersampaikan dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 Selasa (27/5). Menanggapi putusan MK ini, Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Kota Denpasar, AA Gde Wiratama menyatakan pihaknya masih menunggu petunjuk teknis (juknis) dari pemerintah pusat sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
“Kami belum bisa mengambil kebijakan secara langsung. Perlu ada arahan dan regulasi teknis dari pusat sebagai dasar kami dalam penerapannya di Denpasar,” kata Wiratama.
Ia menambahkan, bahwa kebijakan pendidikan gratis di sekolah negeri telah berjalan di Kota Denpasar. Namun untuk sekolah swasta, masih harus menunggu arahan pusat.
Pihaknya tak berani langsung memutuskan tanpa adanya arahan dan petunjuk teknis (Juknis) dari pemerinah pusat.
MK telah memutuskan pendidikan dasar 9 tahun baik negeri maupun swasta gratis. Hal itu terputuskan dalam sidang perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Selasa (27/5).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta.
MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat cara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang oleh masyarakat,” kata dia.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menegaskan ihwal negara memiliki kewajiban konstitusional membiayai pendidikan dasar.
Ia mengingatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan setiap warga negara mengikuti pendidikan dasar dan menugaskan negara untuk membiayainya.
“Tanpa ada pemenuhan kewajiban pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar, maka berpotensi menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya,” ujar Guntur.
Ia menyebut, selama ini pembiayaan wajib belajar hanya pada sekolah negeri. Padahal, secara faktual, banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah yang oleh masyarakat, seperti sekolah swasta atau madrasah swasta.
“Negara tidak boleh lepas tangan atau mengalihkan tanggung jawab pembiayaan kepada penyelenggara pendidikan swasta,” tegas Guntur.
Mahkamah menekankan, meski Pasal 34 ayat (3) UU Sisdiknas mencantumkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan wajib belajar, tanggung jawab utama tetap berada di tangan negara.
“Negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya, bahkan dalam konteks pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh swasta,” katanya.
Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus termaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.
Namun, sekolah swasta yang menerapkan kurikulum internasional, atau memiliki keunggulan khusus tidak termasuk dalam kategori yang wajib gratis.
“Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang berkenaan dengan bantuan pendidikan untuk kepentingan peserta didik yang bersekolah di sekolah/madrasah swasta, maka tetap hanya dapat di berikan kepada sekolah/madrasah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan,” kata hakim Enny Nurbaningsih.
Enny menjelaskan, banyak sekolah atau madrasah swasta di Indonesia yang menerapkan kurikulum tambahan seperti kurikulum internasional atau keagamaan sebagai kekhasan dan nilai jual.
Peserta didik yang memilih sekolah tersebut tidak semata karena keterbatasan akses ke sekolah negeri, melainkan karena alasan preferensi.
Karena itu, menurut Mahkamah, tidak semua sekolah swasta ke dalam kategori penerima pembiayaan wajib dari negara.
Negara hanya wajib menjamin pembiayaan sekolah swasta, yang memang berfungsi mengisi kekosongan akses pendidikan dasar, khususnya di wilayah yang tidak terjangkau sekolah negeri.
“Dalam rangka menekan pembiayaan yang membebani peserta didik, khususnya dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar, negara harus mengutamakan alokasi anggaran pendidikan untuk sekolah atau madrasah swasta yang diselenggarakan masyarakat, dengan mempertimbangkan faktor kebutuhan dari sekolah atau madrasah swasta tersebut,” jelas Enny.
Namun, bantuan dari negara kepada sekolah swasta tetap harus melalui mekanisme seleksi. MK menyatakan, bantuan hanya bisa kepada sekolah swasta yang memenuhi syarat sesuai peraturan perundang-undangan, memiliki tata kelola yang baik, dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
Mahkamah juga mengakui masih ada sekolah swasta, yang tidak pernah menerima bantuan pemerintah dan menjalankan pendidikannya dengan pembiayaan penuh dari peserta didik.
Dalam kondisi seperti itu, tidak rasional jika sekolah tersebut di larang memungut biaya sama sekali, apalagi dengan keterbatasan anggaran negara.
“Terhadap sekolah atau madrasah swasta itu, tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik di lingkungan sekolah madrasah swasta untuk menjadi peserta didik dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu,” jelas Enny.
“Terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan atau pemerintah daerah,” sambungnya. (BP/OKA)