BATUMALANG terletak di perbukitan, tanahnya subur mengandung humus alamiah membuat semua jenis tumbuhan dapat tumbuh di sana. Batumalang alamnya kaya bagai tanah Surga Firdaus.
Kemiskinan penduduk Batumalang merupakan ironik yang paling nampak, warga Batumalang ibarat tikus yang mati di lumbung padi, mata pencaharian mereka bersawah ladang, menyadap aren dan nira kelapa. Namun, semua itu tak membuat hidup mereka makmur. Kemiskinan merupakan teman akrab bagi mereka.
Dari sorot matanya yang hening menunjukkan pancaran jiwanya yang bersahaja dan ikhlas menjalani kehidupan apapun kondisinya. Warga Batumalang selalu nerimo, bagi mereka kehidupan merupakan takdir yang telah ditentukan Sang Maha Kuasa, karenanya kehidupan harus dijalani apa adanya.
Warga Batumalang tak pernah berambisi untuk mengubah nasib, apa lagi melakukan protes menuntut supaya hasil-hasil alam seperti gula aren serta hasil pertanian lainnya harganya naik sebanding dengan harga barang-barang yang dijajakan di minimarket.
Warga Batumalang telah merasa puas dengan apa yang mereka miliki saat ini, walaupun terkadang, mereka bagaikan orang yang terperosok ke dalam jurang yang dalam dan curam hingga kepala mereka membentur bebatuan, tubuhnya terkoyak, dan mati membusuk di palung jurang tersebut.
*
Saat itu, musim kemarau telah tiba, Batumalang kala pagi selalu tertutup kabut, hawa kian dingin—hingga tembus ke dalam tulang, membuat para penduduknya senantiasa membungkus diri dengan kain sarung kumal.
Pagi itu, Ayah tampak belum pula bergeming dari ranjang reotnya, bergelarkan di atas hamparan tikar pandan hutan, sementara kepalanya dialasi bantal kapuk randu yang telah lepet dan using—ternodai liur di sana sini, sehingga bantal tersebut yang bersarung putih kian kelabu, membentuk gugusan-gugusan pulau tak beraturan.
Kulihat dada Ayah yang kurus tersenggal-senggal, usia tua semakin kentara pada raganya, rambut hitamnya telah berubah putih, kulitnya yang kencang kini telah kendur dan keriput, pada tahun ini usia Ayah telah mencapai tujuh puluh lima tahun.
Ayah terbatuk beberapa kali, hingga tubuh ringkihnya terguncang, kemudian Ayah bangun dari baringnya, menimbulkan suara derit pada ranjang. Dan, Ayah menanggalkan sarung yang menyelimuti tubuhnya, ia bergegas kepancuran air belakang rumah tuk membersihkan tubuhnya, setelah mandi ia makan pagi sealakadarnya lantas pergi ke ladang demi penghidupan.
Senja hari sekitar pukul 17.30 Ayah baru pulang kembali. Setelah makan malam Ayah duduk termangu di tepas (serambi rumah), memperhatikan rasi bintang, mendengarkan suara harmoni alam, serta menyatukan diri dengan semilir angin pegunungan Batumalang.
Entah berapa tahun, Ayah tak bicara dengan para tetangga? Bukan karena Ayah bisu. Namun, ia sedang puasa kata-kata. Dan Ayah hanya berkata denganku—itu pun seperlunya saja.
Suatu waktu kutanya kenapa Ayah tak pernah lagi kudengar bercakap-cakap dengan orang lain, bahkan berkata padaku pun jarang, itu pun hanya pada waktu-waktu khusus yang barangkali dianggap penting. Ayah menjawab, perkataan membuat manusia satu dengan manusia lainnya saling bertengkar, dengan kata manusia satu dengan manusia lainnya saling fitnah, saling gunjing, dan saling membuka aib sesama saudaranya.
Setelah bicara demikian Ayah kembali mengatupkan dua bibirnya, tak ada lagi kata yang berketar dari pita suaranya. Seraya Ayah mengambil daun aren kering dilintingnya dijadikannya pembungkus tembakau dan cengkih dan disulutnya, dihisapnya dalam-dalam, sehingga mulut Ayah ruah dengan asap, dan asap itu menyebar kesegala penjuru terkadang membentuk sebuah lingkaran yang lama-ke-lamaan membesar dan menghilang.
Ayah kembali terbatuk beberapa kali, tubuhnya kembali berguncang, dan napasnya tersenggal-senggal, mencemaskanku. Namun, itulah Ayah, dengan segala tingkah ketuaannya.
Ayah lebih suka memilih bermain gendang patingtung di dalam rumah, ketimbang mengobrol dengan para tetangga. Aku suka terkesiap bila melihat Ayah sedang bermain patingtung, tangannya bergerak cepat dan lincah, menimbulkan suara erotik dan energik layaknya mengiringi seorang ronggeng sedang menari jaipong. Kata Ayah begitulah cara ia melampiaskan emosinya, dan musik bagaimana pun liarnya, ia merupakan jelmaan dari harmoni jiwa.
Selaian suka bermain patingtung, Ayah juga suka menabuh terebang gede, dipukul-pukulnya secara perlahan sambil bersuluk. Semakin lama pukulan Ayah terhadap terebang gede itu semakin cepat, dan suara Ayah semakin melengking keras, mata Ayah terpejam, sedangkan seluruh tubuhnya bersimbah keringat. Kata Ayah demikian cara ia mengingat Tuhan, lengkingan suaranya dalam suluk itu sesungguhnya merupakan puji-pujian pada Tuhan. Namun, karena saking malunya pada Tuhan, sehingga menimbulkan suara melengking, menyayat hati dan menyedihkan.
*
Ini pendapatku. Barangkali Ayah membisu karena Ayah trauma, sebab dahulu Ayah pernah difitnah, dituduh mencuri kambing tetangga, padahal Ayah tidak melakukannya, dan tentunya perbuatan fitnah itu, memakai media lisan sebagai penyebar.
Dalam mangu aku terperanjat, tiba-tiba Ayah berujar. Mengatakan bahwa diam itu bahasa yang hakiki. Kesabaran seseorang dapat diukur melalu diam, semakin orang banyak bicara, itu menandakan kesabaran orang tersebut semakin lemah. Dan semakin kuat orang tak mengeluarkan kata-katanya, itu menandakan bahwa orang tersebut memiliki tingkatan kesabaran yang tinggi. Aku pikir-pikir perkataan Ayah, ada benarnya juga perkataan Ayah itu.
Pernah suatu kali selama satu minggu Ayah tak bicara walau sepatah. Aku bingung karenanya. Kucoba bertanya padanya. Kenapa Ayah tak berkata-kata? Namun, ia tak menggemingkan mulutnya. Kutanya lagi, Ayah hanya mengerlingkan matanya. Tak bosan, kutanya satu kali lagi. Ayah hanya tersenyum.
Pada akhirnya, seminggu kemudian Ayah baru berkata. Bilang padaku, bahwa selama seminggu itu hatinya dilanda kebencian, pikirannya diracuni amarah, karenya Ayah lebih memilih diam daripada melampiaskannya dengan kata-kata. Kata Ayah dengan diam menandakan orang tersebut sedang sibuk memerangi dirinya sendiri, dan orang terhebat adalah orang yang berhasil memerangi dirinya sendiri, orang terhebat bukanlah orang yang menang dalam berkelahi atau pun berkata-kata, perang mulut.
*
Suatu ketika para penduduk Batumalang, memperguncingkan kebisuan Ayah, menurut mereka Ayah bisu karena Ayah tuli, dan menurut kepercayaan masyarakat Batumalang orang tuli disebabkan oleh penyakit panas atau karena kerasukan bangsa lelembut.
Aku berusaha membantah pendapat mereka. Namun, mereka bersikeras untuk mengatakan bahwa Ayah tuli dan karenanya jadi bisu. Semakin aku membantah, mengatakan bahwa Ayah tak tuli dan tak bisu, semakin keras pula mereka melawan bantahanku. Perang mulut pun tak terelakkan antara aku dan warga Batumalang. Akhirnya aku bungkam mengalah, sebab aku teringat pada kata-kata Ayah bahwa orang kuat adalah orang yang telah mampu melawan diri, karenanya aku berusaha melawan amarahku sendiri, dan aku memilih diam. Melihat aku terdiam, mereka pun turut terdiam, dan kami diam-diaman seperti sekawanan maling di dalam kantor polisi.
Selang beberapa hari Ayah jatuh sakit, ia terbaring lemah di atas dipan, tiada kata keluh yang keluar dari mulutnya, tiada rintih yang terlontar dari bibirnya, hanya desah napasnya yang kudengar, dan senggal dadanya naik turun yang kulihat.
Mata Ayah tampak terpejam, para warga Batumalang pun berbondong-bondong menjenguk keadaan Ayah. Mereka secara bergilir mengunjungi melongok Ayah dengan menenteng makana di tangan, berharap Ayah mencicipinya.
“Lihat ia telah tuli dan bisu,” kata salah seorang perempuan yang menjenguk Ayah.
“Ia benar, ia telah tuli dan bisu,” bisik lawan bicaranya menegaskan.
Barangkali Ayah mendengar sayup celoteh mereka. Namun, Ayah tak hendak menimpali celotehan mereka, Ayah tetap diam membisu sambil memejamkan matanya.
Pada tengah malam, mata Ayah terbuka, dengan terbata ia berkata padaku; bahwa bahasa ujaran sering kali melukai hati, dan hati yang terluka tak akan sembuh sehari dua hari. Namun, perlu seumur hidup untuk mengobati luka hati karena bahasa ujaran itu .
Ayah juga berkata; lebih baik dirinya terbeset pisau yang tajam, dan tertusuk duri, daripada terbeset olah kata-kata tajam dan tertusuk ujaran hingga melukai hati, hingga benci dan dendam bersarang di jiwa. Aku mendengarkan ujaran-ujaran Ayah itu. Dan, yang jelas hatiku tiada karuan, karena mengingat kondisi Ayah yang semakin memburuk, kesehatannya bukan berangsur-angsur membaik. Namun, kesehatan Ayah dari hari-ke-hari semakin menurun, mencemaskanku.
Ketika itu purnama sedang bulat, tepat pada malam jumat keliwon. Kulihat Ayah terbaring terlentang, matanya terpejam penuh nuansa ketenangan. Namun, aku gugup seketika, sebab tak kulihat senggal napas Ayah, dan setelah kuperiksa bahwa Ayah tak lagi bernapas, Ayah telah berpulang pada Tuhan.
Raungan tangisanku yang memilukan, menjalar ke seluruh Batumalang, menyelinap masuk ke dalam kuping-kuping, menelisik ke dalam palung jiwa para warga, sehingga dalam waktu sekejap, rumahku telah dipenuhi orang, mereka semua turut berdukacita atas kepergian Ayah.
Jasad Ayah pun segera dimandikan, dikafani, dan disembahyangkan sebagaimana mestinya orang meninggal. Namun, semua orang dikejutkan, ada harum sumerbak yang datang secara tiba-tiba, tak jelas darimana datangnya? Dan setelah diselidiki, ternyata harum sumerbak itu bersumber dari mulut Ayah, semua orang kaget dan tertegun, mereka bertanya-tanya; kok bisa mulut orang meninggal menebarkan harum sumerbak?
Dalam sedan diberengi linangan air mata aku bicara pada mereka, itu semua terjadi karena Ayah telah puasa berkata-kata, yang disangkakan oleh para warga bahwa Ayah telah tuli dan bisu.
Mendengar perkataanku demikian para warga Batumalang membisu, mereka merasa telah berdosa karena mempergunjingkan Ayah sebagai manusia tuli dan bisu.
Akhirnya jasad Ayah pun dikebumikan. Namun, harum sumerbak tak terkirakan yang bersumber dari mulut Ayah tak pula hengkang, dan keharumannya semakin sumerbak belaka, hingga melingkupi seluruh Batumalang.
Hari berikutnya. Warga Batumalang berceloteh, bahwa tadi malam mereka memimpikan Ayah, dalam mimpi itu Ayah hidup di dalam sebuah istana megah, adapun keadaan dalam istana tersebut semegah istana Nabi Sulaiman, dan halamannya seperti istana Ratu Bilkis, Ayah hidup bahagian dalam surga Tuhan, tiada lara, derita, yang tersirat dalam binar wajahnya. Wajah Ayah memancarkan semburat yang menyerupai fajar pagi.
Hari-hari selanjutnya, seluruh warga Batumalang diam membisu. Mereka tak lagi berkata-kata. Barangkali, mereka secara tiba-tiba terjangkit tuli dan kemudian jadi bisu? Atau, barangkali mereka ingin masuk surga seperti Ayah? Aku hanya bisa mengira ngira. Hingga kini di Batumalang semua orang membisu hanya aku yang berbicara tentang Ayah. Selebihnya hanya keterdiaman, bisu, sepi tak berkesudahan. Dan, Batumalang menjadi kampung bisu.
Yogyakarta, 29 Mei 2015 – 2025
BIODATA
Agus Hiplunudin pria kelahiran Lebak, Banten, merupakan lulusan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan UGM Yogyakarta. Adapun karyanya yang telah diterbitkan di antaranya: Kumpulan Cerpen Edelweis Merbabu yang Merindu (2019) dan Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut (2019.