DENPASAR, Balipolitika.com– Sidang perkara pidana kasus dugaan pembunuhan di sebuah kos-kosan yang berlokasi di Jalan Pulau Galang, Denpasar dengan terdakwa Sugiyati digelar, Selasa, 8 April 2025.
Dipimpin Ketua Majelis Hakim, I Wayan Yasa S.H. M.H., penasihat hukum terdakwa dari Gendo Law Office (GLO), yakni I Wayan Adi Sumiarta, S.H., M.Kn, I Made Juli Untung Pratama, S.H., M.Kn., dan I Kadek Ari Pebriarta, S.H., secara bergantian membacakan pledoi atau nota pembelaan.
Dibeberkan bahwa dugaan kasus pembunuhan ini berawal pada 21 Juli 2024 dini hari di kos-kosan Jalan Pulau Galang, Denpasar di mana terdakwa Sugiyati terlibat cek-cok dengan korban yang juga kekasihnya, I Nyoman Widhiyasa.
Usai cek-cok, I Nyoman Widhiyasa masuk ke kamarnya dan menguci pintu kamar dari dalam dan selang beberapa menit, Sugiyati membuka pintu kamarnya dan melihat sang kekasih tergantung di atas ventilasi kamar.
Melihat hal tersebut, Sugiyati lalu meminta pertolongan kepada para tetangga kosnya.
Setelah mendapatkan pertolongan, I Nyoman Widhiyasa lalu dibawa ke Rumah Sakit Surya Husada Denpasar.
Setiba di sana, I Nyoman Widhiyasa dinyatakan sudah meninggal dunia.
Selanjutnya pada 23 Juli 2024, penyidik dari kepolisian melakukan gelar yang endingnya menetapkan terdakwa Sugiyati sebagai tersangka dengan tuduhan bahwa ia membekap korban hingga mati lemas lalu membuat skenario seolah-olah korban mati gantung diri.
Sugiyati terancam Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dan atau Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Pada sidang tuntutan, Kamis, 27 Maret 2025, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 15 tahun.
Dalam pleidoinya, penasihat hukum terdakwa menyatakan penetapan terdakwa sebagai tersangka pada saat tahap penyidikan terkesan sangat dipaksakan karena diduga tanpa bukti permulaan yang cukup.
Sesuai dengan kronologis kejadian, I Nyoman Widhiyasa ditemukan gantung diri oleh terdakwa Sugiyati di ventilasi kamar pintu kos menggunakan gorden yang di dalamnya terdapat tasbih dan kabel obat nyamuk pada tanggal 21 Juli 2024 sekitar jam 2 pagi.
Selanjutnya, pada 23 Juli 2024 penyidik telah melakukan gelar sekaligus menetapkan terdakwa Sugiyati sebagai tersangka.
Selang sehari kemudian, pada 24 Juli 2024, keluar surat penetapan tersangka dari penyidik padahal di tanggal 24 Juli 2024 tersebut penyidik baru melakukan otopsi terhadap korban.
Ada fakta-fakta ini, penasihat hukum terdakwa Sugiyati menanyakan apa yang dijadikan dasar oleh penyidik menetapkan terdakwa sebagai tersangka pada tanggal 23 Juli 2024?
Penasihat hukum terdakwa juga menjelaskan berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan para ahli, dan keterangan terdakwa yang telah berkesuaian dengan bukti surat yang diajukan ke depan persidangan ditemukan fakta bahwa luka-luka yang ada pada korban tidak relevan dengan pembekapan, melainkan lebih mendekati ciri-ciri gantung diri.
Selain itu, ditemukan juga fakta hukum bahwa walaupun pada saat kejadian korban sehabis minum-minuman keras, namun kondisi korban tidak lemah karena berdasarkan bukti surat laboratorium forensi (labfor) toksikologi, kadar alkohol yang ada dalam tubuh korban tidak mematikan dan masih memungkinkan korban melawan jika dibekap.
Di samping itu, dari tinggi, berat, dan kekuatan I Nyoman Widhiyasa jauh lebih besar dibandingkan terdakwa Sugiyanti.
Terhadap bantal jantung berwarna biru yang didalilkan oleh jaksa penuntut umum digunakan oleh terdakwa untuk membekap korban, menurut Adi Sumiarta terbantahkan telak karena berdasarkan keterangan ahli DNA di depan persidangan, tidak ada profil DNA yang muncul karena ada 2 kemungkinan; pertama, jumlah darah untuk pemeriksaan di bawah ambang batas; kedua, kemungkinan darah tersebut bukan darah manusia melainkan darah hewan dan pada bantal tersebut tidak ditemukan air liur manusia padahal berdasarkan keterangan ahli forensik dr. Henky, Sp.F., M.Biothics saat pembekapan korban sempat melakukan perlawanan sehingga seharusnya ada air liur korban I Nyoman Widhiyasa.
“Barang bukti bantal jantung berwarna biru yang didalilkan oleh penuntut umum digunakan tidak relevan sebagai alat pembekapan, ujar Adi Sumiarta.
Lebih lanjut, Adi Sumiarta menjelaskan bahwa berdasarkan hasil visum Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah yang telah berkesesuaian dengan keterangan para ahli dan keterangan terdakwa, fakta hukum korban mati karena gantung diri tidak terbantahkan.
Dalam pledoinya, penasihat hukum terdakwa juga menguliti argumentasi dari penuntut umum terkait dengan ketidakpahaman penuntut umum atas terkait unsur ‘dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain’.
Dalam tuntutannya untuk memenuhi unsur ‘dengan sengaja’, penuntut umum mengutip Hoge Raad tanggal 23 Juli 1937.
Padahal di dalam perkembangan hukumnya, unsur tersebut telah dijadikan yurisprudesi (Yurisprudensi No. 1 tahun 2018) yang pada pokoknya menyatakan bahwa unsur ‘dengan sengaja’ menghilangkan nyawa orang lain terpenuhi jika memenuhi 2 indikator yang bersifat kumulatif.
Pertama, menyerang korban dengan alat, seperti senjata tajam dan senjata api.
Kedua, di bagian tubuh yang terdapat organ vital, seperti bagian dada, perut, dan kepala.
Sedangkan di perkara aquo penuntut umum mendalilkan terdakwa sengaja membunuh korban dengan melakukan pembekapan dengan bantal hingga korban mati lemas di mana bantal yang didalilkan sebagai alat bekap bukan berkualifikasi senjata api atau sejanta tajam dan fakta hukum menyatakan tidak di bagian vital badan, perut, atau kepala korban.
“Dengan perbandingan secara serampangan antara Hoge Raad tanggal 23 Juli 1937 dengan pembekapan menggunakan bantal maka hal tersebut membuktikan bahwa penuntut umum telah menggugurkan sendiri pembuktian unsur sengaja dalam perkara aquo dan dengan demikian unsur “dengan sengaja” haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa,” tegas Adi Sumiarta.
Adi Sumiarta juga mengungkapkan, bahwa penuntut umum guna membuktikan terpenuhinya unsur “2 dengan sengaja”, penuntut umum memuat fakta dari keterangan ahli bahwa korban melawan.
Namun guna membuktikan terpenuhinya tuntutan atas unsur “3. Merampas nyawa orang lain”, penuntut umum menyatakan bahwa korban tidak bisa melawan”.
Sehingga jika dibaca pada bagian pembuktian unsur dari penuntut umum, terlihat jelas kontradiksi pembuktian kedua unsur tersebut.
“Kontradiksi ini justru sangat esensial dalam tuntutan perkara aquo karena penuntut umum sekehendak hati, serampangan memuat fakta, guna membuktikan terpenuhinya unsur Pasal 338 KUHP,” tegas Adi Sumiarta.
Ketelodaran penuntut umum dalam penyusunan berkas perkara, khususnya ketiadaan surat keterangan kematian di dalam berkas dan juga ketiadaan surat patologi anatomi di dalam hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Pusat Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah, menjadi perhatian khusus tim penasihat hukum.
“Tidak adanya hasil pemeriksaan patologi anatomi dan surat keterangan kematian senyatanya menunjukkan perkara aquo telah cacat sedari awal,” jelas Adi Sumiarta.
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, penasihat hukum terdakwa memohon kepada Majelis Hakim PN Denpasar untuk memberikan putusan membebaskan terdakwa Sugiyati dari semua dakwaan penuntut umum tersebut (vrijspraak) berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaslam terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Recht Vervolging) berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
“Kami meminta agar terdakwa dibebaskan,” tutup Adi Sumiarta. (bp/ken)