DENPASAR, Balipolitika.com- Diviralkan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dapil Bali, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau disingkat Arya Wedakarna, kasus 3 orang pencuri LPG 3 kg yang dipaksa telanjang bulat, onani, dan memamerkan lubang pantat di Bali mencuri perhatian publik.
dr. I Made Oka Negara, S.Ked, M.Biomed, FIAS, Ketua Forum Peduli AIDS Bali plus Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia Cabang Denpasar merangkap dosen Departemen Andrologi dan Seksologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menilai kasus ini bukan sekadar pencurian yang berujung pada hukuman warga, tetapi telah berkembang menjadi tindakan main hakim sendiri yang melibatkan kekerasan seksual serta penghinaan berbasis gender.
“Tiga remaja laki-laki yang kedapatan mencuri tabung gas tidak hanya ditangkap oleh masyarakat, tetapi juga mengalami perlakuan yang jauh di luar batas kemanusiaan. Mereka dipaksa untuk menanggalkan pakaian, melakukan tindakan seksual terhadap diri sendiri, serta memperlihatkan tubuh mereka dalam keadaan yang sangat memalukan. Semua ini direkam dalam sebuah video yang kemudian tersebar luas,” ucap dr. Oka Negara.
Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali masa bakti 2023-2026 menyebut yang lebih mengkhawatirkan adalah bukti rekaman di mana terdengar suara beberapa orang laki-laki yang menghukum 3 remaja pencuri LPG 3 kg.
“Dan satu suara perempuan terdengar dominan mengarahkan penghinaan ini. Ini bukan lagi sekadar bentuk amukan warga terhadap tindakan kriminal, tetapi sudah masuk dalam ranah kekerasan seksual yang serius di mana tubuh seseorang digunakan sebagai alat penghinaan dan perendahan martabat,” tandasnya.
Jika kita melihat dari berbagai aspek, ugkap dr. Oka Negara jelas ada banyak hal yang salah dan janggal dalam kejadian ini.
Dari segi hukum, tindakan yang dilakukan oleh warga tersebut tergolong dalam kekerasan seksual dan pelecehan berat.
“Tidak ada pembenaran bagi siapa pun untuk mempermalukan seseorang dengan cara seperti ini, bahkan jika mereka melakukan kesalahan. Masyarakat yang terlibat dalam penghukuman ini seharusnya diproses hukum, bukan hanya para remaja yang mencuri. Video yang merekam kejadian ini juga seharusnya dijadikan alat bukti untuk menindak mereka yang bertanggung jawab atas pelecehan tersebut,” dorong dr. Oka Negara kepada pihak kepolisian.
Imbuhnya, secara moral dan sosial, tindakan ini mencerminkan bagaimana kekerasan masih sering dianggap sebagai bentuk hukuman yang sah, bahkan ketika melibatkan unsur seksual.
Padahal menggunakan tubuh seseorang sebagai alat penghinaan menunjukkan degradasi moral yang sangat serius.
Lebih jauh lagi, fakta bahwa seorang perempuan mengambil peran dominan dalam kekerasan ini mengungkap realitas bahwa pelaku kekerasan seksual tidak selalu laki-laki.
Kasus ini jelas dr. Oka Negara menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di lintas gender, dan siapa pun dapat menjadi pelaku atau korban dalam situasi seperti ini.
“Dari perspektif psikologi dan seksologi, dampak terhadap korban sangat besar. Mereka tidak hanya mengalami penghinaan di depan umum, tetapi juga berisiko mengalami trauma jangka panjang. Rasa malu yang ekstrem, kecemasan sosial, serta gangguan seksual di masa depan bisa menjadi akibat dari peristiwa ini. Masyarakat yang menyaksikan dan bahkan menikmati penghukuman ini juga menunjukkan pola pikir yang berbahaya— bahwa kekerasan seksual dapat digunakan sebagai bentuk “pembalasan” atas kesalahan yang dilakukan seseorang,” beber dr. Oka Negara memberikan ultimatum.
Terang dr. Oka Negara, untuk mencegah kejadian serupa, ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan.
Pertama, semua pihak yang terlibat dalam penghukuman seksual ini harus diproses secara hukum. Jika tidak ada tindakan tegas, peristiwa serupa bisa terulang dan semakin banyak korban yang mengalami hal serupa.
Kedua, masyarakat perlu mendapatkan edukasi lebih luas tentang kekerasan seksual, terutama terkait dengan bagaimana kekerasan tidak boleh digunakan sebagai alat penghukuman, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kampanye besar perlu dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual, dan hak mereka harus dilindungi sebagaimana perempuan.
Selain itu, korban dalam kasus ini harus mendapatkan pendampingan psikologis untuk membantu mereka pulih dari trauma.
Tanpa intervensi yang tepat, kejadian ini dapat meninggalkan luka psikologis yang mendalam dan berkepanjangan.
Terakhir, penegakan hukum harus lebih tegas dalam menindak segala bentuk main hakim sendiri.
“Polisi dan aparat hukum harus bertindak cepat untuk menegaskan bahwa tidak ada ruang bagi tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak asasi manusia,” tegasnya. `
“Kasus ini bukan sekadar tentang pencurian yang dihukum oleh warga, tetapi merupakan kekerasan seksual yang tidak bisa dibenarkan dalam kondisi apa pun. Tindakan ini salah dari segi hukum, moral, dan sosial. Pelaku penghukuman seksual harus mendapatkan hukuman yang setimpal, sebagaimana pelaku kekerasan seksual lainnya. Sementara itu, korban harus mendapatkan perlindungan dan pendampingan yang layak. Jika masyarakat terus membiarkan kekerasan seperti ini terjadi, maka kita semakin jauh dari nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi,” tutup dr. Oka Negara.
Diberitakan sebelumnya, kurang dari 24 jam, Anggota DPD RI Dapil Bali, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau disingkat Arya Wedakarna menerima permohonan maaf para aktor penelanjangan 3 pemuda pencuri tabung gas, Jumat, 21 Maret 2025.
Salah seorang di antaranya adalah perempuan yang memerintahkan 3 terduga pelaku pencurian tabung gas LPG 3 kg untuk melakukan onani hingga crot dan pamer lubang pantat.
“Pelaku penelanjangan 3 pemuda pencuri tabung gas menghadap AWK di DPD RI. Didampingi Kasat Intel Polresta Denpasar, AWK menerima permintaan maaf mereka, tapi proses hukum jalan terus dan menyerahkan ke Polri. (Terduga pelaku dan penyebar hadir semua),” tulis admin AWK sembari menandai @jokowi @prabowo @gibran_rakabuming #wedakarna #nakals.
Jika disimak 3 buah rekaman video pendek (dengan sensor) yang disebarluaskan admin Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dapil Bali, Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau disingkat Arya Wedakarna lewat, Kamis, 20 Maret 2025, dengan sangat jelas ada suara wanita dalam aksi super kejam itu.
“Saya berjanji tidak akan maling gas lagi! Kalau saya mengulangi akan menerima konsekuensi!” ujar ketiga remaja sambil berulang kali minta maaf.
Super gilanya, saat menyampaikan permohonan maaf itu, si wanita justru memaksa mereka melakukan adegan onani.
“Ngocok-ngocok (onani-onani). Ngocok sampai keluar!” perintah si wanita.
“Nungging-nungging kamu benerin! Kleng gede sekali bolong jitnya ci. Ditusbol kamu ya? Ya? Jujur aja kamu! Ya kayak ditusbol nih!” sindir si wanita dengan nada tinggi.
Peristiwa di luar akal sehat tentang kekejaman oknum diduga remaja asal Bali menggemparkan jagat maya.
Kekejaman yang sungguh mengerikan dan sangat tidak manusiawi itu diunggah oleh AWK lewat postingan media sosialnya, Kamis, 20 Maret 2025.
Dengan terlebih dahulu disensor, AWK menampilkan foto 3 remaja diduga pendatang dalam kondisi telanjang dan dilecehkan secara seksual di Provinsi Bali oleh pemuda-pemudi diduga lokal Bali.
Netizen dominan mengatakan bahwa sikap para oknum diduga pemuda-pemudi asli Bali itu sangat tidak manusiawi dan sangat berlebihan.
“3 anak remaja diduga pendatang ditelanj*ngi dan dilecehkan secara seksu*l oleh sekelompok pemuda-pemudi diduga asal Bali (maaf, diminta untuk onan* dan menunjukkan lub*ang pant*t) hanya karena diduga maling gas. AWK minta Polri mengusut pemuda-pemudi yang melecehkan warga (rekaman lengkap ada di DPD RI Bali). Usut tuntas! Baik maling gas dan kelompok peleceh!” tegas AWK. (bp/ken)