AKU memulai hari seperti biasa, dengan secangkir kopi dan catatan penuh impian kuliner. Namaku Maya, seorang penulis kuliner yang terobsesi dengan keindahan rasa dan tradisi makanan di seluruh Indonesia. Namun, kali ini, petualangan kuliner yang aku rencanakan untuk buku terbaruku lebih dari sekadar eksplorasi rasa—ini juga akan menguji perasaan terdalamku.
Di pagi yang cerah di Jakarta, aku bersiap untuk meluncur menuju tempat yang baru. Entah mengapa, semangatku kali ini terasa berbeda. Ada kekhawatiran yang tak dapat kubuang, mungkin karena kabar yang kudengar beberapa hari lalu—Riko, mantan kekasihku yang kini menjadi chef terkenal, sedang memulai proyek kuliner baru di Bali. Entah mengapa, aku merasa bahwa pertemuan dengan Riko adalah bagian dari petualangan kuliner ini, meskipun aku berusaha menepis pikiran itu.
Penerbangan ke Bali adalah perjalanan yang menyenangkan namun menegangkan. Selama di pesawat, aku membaca ulang catatanku tentang berbagai tempat kuliner yang akan kubahas dalam buku terbaruku. Pandanganku sesekali tertuju ke luar jendela, menikmati pemandangan awan yang mengapung di langit biru. Setiap kali pesawat melayang di atas pulau, perasaan campur aduk menyelimuti hatiku—excited namun cemas. Sesampainya di bandara Ngurah Rai, aku merasakan kekaguman terhadap Bali, namun juga sebuah kekhawatiran yang mengganggu.
Aku langsung menuju salah satu warung legendaris di Ubud, yang terkenal dengan bebek betutunya. Aroma rempah-rempah menyambutku begitu aku melangkahkan kaki ke warung itu. Sambil menikmati makananku, aku mengamati lingkungan sekitar, dan dalam keramaian itu, aku merasa seseorang mengamatiku dari jauh. Ketika aku menoleh, aku melihat seorang pria dengan wajah yang sangat familiar—Riko.
“Maya?” suaranya serak dan terkejut. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku sedang mencari keajaiban kuliner untuk buku baruku,” jawabku, berusaha terdengar santai meskipun hatiku berdegup kencang. “Dan sepertinya aku menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa.”
Riko tersenyum samar dan duduk di meja sebelahku. “Apakah kau ingin aku membantu dengan petualangan kulinermu?”
Aku menatapnya dengan keraguan. “Kau benar-benar serius?”
“Kenapa tidak? Aku tahu banyak tempat menarik di Bali, dan aku juga ingin memperbaiki hubungan kita,” jawabnya, nada suaranya menyiratkan harapan.
“Aku tidak tahu apakah ini ide yang baik,” kataku. “Tapi jika kita bisa fokus pada kuliner, aku bersedia.”
Riko mengangguk dengan penuh semangat. “Baiklah, mari kita mulai.”
Petualangan kuliner kami dimulai di pasar tradisional Ubud. Riko mengenalkanku pada berbagai bahan-bahan lokal yang menakjubkan—buah manggis yang manis dan bumbu rempah yang aromatik. Kami berkeliling pasar, membicarakan berbagai jenis bumbu dan teknik memasak yang digunakan oleh para koki lokal. Setiap detik berharga dalam pengalaman kuliner ini terasa semakin berarti karena hadirnya Riko.
Di tengah-tengah pengalaman kuliner yang menggembirakan, aku tidak bisa mengabaikan kedekatan yang kembali tumbuh antara kami. Melihat Riko dengan penuh perhatian terhadap detail kecil, dari memetik daun salam segar hingga mengaduk rendang dengan lembut, membuatku tersentuh.
“Apa yang kau rasakan saat berada di sini?” tanya Riko sambil mencicipi sambal yang pedas di sebuah warung kecil.
“Aku merasa seolah-olah waktu kembali ke masa lalu, ketika semuanya terasa lebih sederhana,” jawabku, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang semakin mendalam.
Riko tersenyum lembut. “Aku merasakannya juga. Mungkin kita terlalu fokus pada masalah kita, hingga lupa menikmati perjalanan.”
Hari berikutnya, kami melanjutkan perjalanan kami ke pantai Jimbaran. Di sini, kami makan seafood yang segar sambil menikmati matahari terbenam. Udara laut yang segar dan kerlap-kerlip lampu di sekitar kami menciptakan suasana romantis. Selama makan malam, Riko tiba-tiba berkata, “Maya, aku tahu ini mungkin bukan saat yang tepat, tapi aku merasa kita perlu membicarakan apa yang terjadi antara kita.”
Aku merasa jantungku berdebar kencang. “Riko, kita sudah sepakat untuk fokus pada kuliner. Jangan kita mengubah aturan sekarang.”
“Kadang-kadang, kita perlu mengakui perasaan kita untuk bisa melanjutkan. Aku masih mencintaimu, Maya,” ungkap Riko dengan tulus.
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Selama kami bersama, Riko selalu memiliki kemampuan untuk memahami dan mengungkapkan perasaan kami dengan sangat baik. Namun, kali ini, perasaanku menjadi campur aduk. “Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana jika kita membiarkannya dulu dan melanjutkan petualangan kita?”
Riko mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kekecewaan. “Baiklah. Kita lanjutkan dengan fokus pada perjalanan ini.”
Keesokan harinya, kami berkunjung ke sebuah desa kecil di daerah Bedugul, yang dikenal dengan kebun sayur dan buahnya yang melimpah. Kami berkeliling pasar desa, mencicipi berbagai hidangan tradisional yang terbuat dari bahan-bahan segar. Riko dengan antusias menjelaskan cara memasak dan keunikan setiap hidangan. Sementara itu, aku mulai merasa betapa dalamnya kedekatan yang kami miliki.
Suatu malam, ketika kami menginap di sebuah villa di Uluwatu, aku duduk di teras sambil menikmati angin malam yang sejuk. Riko datang mendekat sambil membawa sepotong kue tradisional Bali yang dipesannya dari sebuah toko kue lokal.
“Maya, aku tahu ini mungkin tidak mudah, tapi aku merasa kita harus menghadapi kenyataan,” katanya sambil memandangku dengan penuh harapan.
“Apa maksudmu?” tanyaku, merasa terjepit di antara perasaan yang berkecamuk di hati dan tugas yang harus diselesaikan.
“Aku pikir kita harus memberi kesempatan pada hubungan kita untuk berkembang lagi, atau kita akan terus mengabaikan perasaan kita dan kehilangan kesempatan,” jawab Riko.
Aku merasa terjepit di antara dua dunia—perasaan lama dan komitmen terhadap buku kulinernya. “Riko, aku tahu ini sulit, tapi kita harus fokus pada perjalanan kita dan menyelesaikannya dengan baik.”
Riko menatapku dengan mata penuh pengertian. “Baiklah, Maya. Kita selesaikan perjalanan ini dengan baik, tapi setelah itu, aku ingin kita berbicara secara serius tentang hubungan kita.”
Kami menghabiskan sisa malam dengan berbagi cerita dan canda. Malam itu terasa penuh kehangatan, tetapi ketegangan di antara kami tetap ada. Kami terus menjelajahi Bali dengan penuh semangat—mencoba hidangan baru, berbicara dengan para koki lokal, dan menikmati setiap momen.
Petualangan kuliner kami semakin intensif. Di sebuah malam dingin di Desa Tenganan, kami mencoba lawar yang terkenal dengan bumbu khas Bali. Saat mencicipi lawar, rasa pedas dan gurih yang kaya memicu kembali kenangan lama kami bersama. Di tengah kelezatan hidangan, aku merasakan Riko semakin mendekat, semakin sering mencuri pandanganku.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Riko suatu malam ketika kami duduk di teras villa, menikmati sinar bulan yang lembut.
“Aku berpikir tentang bagaimana kita bisa meneruskan perjalanan ini,” jawabku. “Tentang bagaimana kita bisa menemukan keseimbangan antara kuliner dan perasaan kita.”
Riko menghela napas. “Maya, kadang-kadang kita terjebak dalam rutinitas dan melupakan perasaan kita. Kita harus memberi diri kita kesempatan.”
Aku merasa bingung. “Aku tidak tahu apakah kita bisa menemukan keseimbangan itu. Ada terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan.”
Riko menggenggam tanganku dengan lembut. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku percaya kita bisa melakukannya jika kita mau.”
Kami menghabiskan malam itu dengan diskusi panjang dan penuh emosi. Ternyata, tidak hanya rasa yang menjadi fokus kami, tetapi juga perasaan yang tidak bisa diabaikan. Kami berbicara tentang masa lalu kami, tentang kesalahan dan kesuksesan, dan tentang apa yang benar-benar kami inginkan dari hubungan ini.
Akhirnya, perjalanan kami mendekati akhir. Kami kembali ke Jakarta, membawa berbagai kenangan dan resep-resep yang luar biasa. Pada malam terakhir di Jakarta, kami duduk di kafe favorit kami di kota, tempat yang telah lama menjadi saksi perjalanan cinta dan kuliner kami.
“Maya,” Riko mulai dengan suara lembut, “setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita harus memberikan kesempatan pada hubungan kita. Aku benar-benar ingin mencoba lagi.”
Aku menatapnya dengan penuh rasa, merasakan segala yang tersisa di hatiku. “Aku juga merasa hal yang sama. Tapi kita perlu melakukannya dengan hati-hati dan penuh komitmen.”
Riko menggenggam tanganku.
“Mari kita mulai dari sini, dari tempat kita sekarang, dan membangun sesuatu yang lebih baik.”
Aku tersenyum, merasakan rasa lega dan harapan. “Baiklah. Kita mulai dari sini—dari rasa yang baru ditemukan dan dari hubungan yang siap untuk diperbaiki.”
Dengan secangkir kopi dan senyuman, kami memulai babak baru dalam kisah kami. Petualangan kuliner kami mungkin telah berakhir, tetapi perjalanan kami baru saja dimulai. Jejak rasa dalam cinta yang rumit ternyata memberikan jawaban yang tak terduga—bahwa kadang-kadang, rasa yang sesungguhnya ditemukan bukan hanya dalam hidangan, tetapi dalam perjalanan bersama yang penuh makna.
Kisah ini mengajarkan kami bahwa cinta, seperti kuliner, memerlukan eksperimen dan penyesuaian. Setiap perjalanan, setiap rasa baru, dan setiap pengalaman membentuk kami menjadi pribadi yang lebih baik. Kami memahami bahwa tidak ada resep tunggal untuk kebahagiaan, tetapi kami dapat menciptakan resep itu bersama-sama—dengan kesabaran, pengertian, dan cinta yang mendalam.
Dengan setiap langkah, kami menjelajahi bukan hanya cita rasa yang ditawarkan oleh setiap hidangan, tetapi juga rasa yang ada di antara kami. Kami menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan bumbu baru, tetapi juga tentang menemukan kembali keindahan cinta yang pernah ada. Kini, dengan komitmen dan rasa yang baru ditemukan, kami siap menghadapi babak berikutnya dalam hidup kami.
(Jakarta, 28 Agustus 2024)
BIODATA
Moehammad Abdoe, lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, penikmat film, sejarah, sastra. Karyanya berupa puisi dan cerpen dimuat di sejumlah surat kabar dan majalah nasional.