ANDAI saja aku bisa kenyang tanpa makan. Atau andai saja rumah ini tak menerapkan aturan makan bersama.
Kalimat itu berpusar-pusar lagi dalam hatiku. Berkecamuk dengan rasa risi. Rasa yang selalu muncul saat aku, isteriku, anak-anakku makan bersama di satu meja, dimana ibu mertuaku hadir pula. Rasa yang terus menajam, menghujamkan kepedihan.
“Ayah harus banyak makan, biar kuat.”
Pusaran itu buyar sesaat karena Sisi, anak bungsuku bicara sambil mencubit lenganku yang tidak bergerak menyendok makanan.
Lekas kusunggingkan senyum padanya. Tapi tak mengangguk. Sebab aku risi lagi untuk mengangguk.
“Iya, jangan malu-malu kucing! Makan saja yang banyak, Ayah.”
Dadaku berdegup. Salah sekali aku sering menggoda Brian, anak sulungku dengan kalimat itu. Kini ia dengan polos “menyerang” aku yang jujur saja sebenarnya ingin sekali makan lahap, tapi karena risi, karena ada mertua, akhirnya pura-pura tak hendak makan banyak.
“Benar, makan banyak, biar kuat bekerja.”
Seperti petir yang meledak tepat di telingaku, suara ibu mertuaku yang tiba-tiba lebih menghentak dan degup dadaku pun lebih kencang ketika dengan cepat pikiran sensitifku dirangsang kalimatnya itu, yang sesungguhnya menyindir, “Kamu Roy, lemah dan pemalas!”
Lalu ia bangkit dari kursi setelah mengelap bibirnya dengan serbet. Meninggalkan akibat dari tajam sindirannya padaku yang benar-benar telah kehilangan nafsu makan, pada isteriku yang kulirik mendadak mengurungkan suapannya dan menunduk.
Aku pegang lengannya sebelum aku bangun menuju kamar. Saat melangkah baru kuingat belum minum. Tapi kuputuskan menahannya saja.
Itulah salah satu situasi yang berulang-ulang, yang tak henti kumasuki dengan pasrah selama aku tinggal di rumah mertua. Banyak pula situasi, juga suasana, juga kejadian yang efeknya sama, membuatku risi, sedih, tersinggung, merasa dizolimi, dianggap tak berguna, sebagai akibat dari tidak senangnya ibu mertua padaku. Ketidaksenangan yang sudah berkarat sejak aku pacaran sampai menikah dengan anaknya, sebab menurut perempuan tua itu aku pengangguran yang tak layak untuk anaknya. Seandainya Emy tak “berisi”, aku pastikan mustahil memilikinya.
Pernah sekali aku beranikan diri menyanggahnya. “Aku bukan pengangguran, Bu,” kataku. “Walaupun tak tetap, walaupun serabutan, tapi aku bekerja. Ibu lihat sendiri. Dan ada juga penghasilan, biarpun sedikit.”
Dan ibu mertuaku berang saat itu. Orangnya memang anti perlawanan. Dan ia sepertinya hendak melemparku dengan foto Johan, menantu satunya, suami dari kakak isteriku, yang bekerja sebagai manajer sebuah perusahaan besar.
“Ini orang bekerja namanya!” serunya tertahan sambil menunjuk-nunjuk gambar sang menantu yang berjas dan berdasi. “Ini orang berpenghasilan! Kau itu pengangguran!”
Kalau tak terdengar suara motor Emy yang baru pulang dari pasar, ibu mertuaku itu pasti sudah benar-benar melemparku, dan sudah berteriak sekeras-kerasnya.
Emy masih sedikit diseganinya. Dan isteriku inilah yang secara tidak langsung menjadi pelindungku, walaupun sebenarnya –kutahu- wanita kesayanganku itu juga risi, jerih, tak berani menghadapi ibunya, karena takut disesali lagi keputusannya menjadikan aku sebagai suaminya.
Di dalam kamar aku duduk dengan pikiran kosong. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Hendak menulis, tapi laptop sudah diambil pemiliknya. Mau merokok, tak ada rokok. Lagi pula kalaupun ada laptop, aku tak bisa menulis sebelum anak-anak tidur. Mereka tak boleh tahu bahwa aku memegang laptop. Aku takut mereka memberitahu nenek mereka bahwa aku punya laptop.
Aku pastikan itu akan menjadi pangkal omelan, “Punya laptop? Darimana uang untuk membeli laptop? Memangnya kerja apa ayah kalian? Terus apa hasilnya?”
Apalagi merokok.
“Ndak punya penghasilan, kok, merokok?” Itu yang akan dikatakan oleh mertuaku jika aku kedapatan merokok.
Teng teng teng.
“Ayah! Bunda! Beli bakso!”
Ini pula. Teriakan ini pula yang kerap membuatku risi, sedih, tersinggung, merasa dizolimi, dianggap tak berguna. Anak-anak meminta belanja, sedang aku tak punya uang untuk memenuhinya, sedang dari isteriku pun kadang-kadang saja. Sedang yang paling sering dan selalu menjadi tumpuan akhir Brian dan Sisi adalah ibu mertuaku.
“Asyik, Nenek belikan kita bakso!”
Nah.
Aku menarik nafas, membuangnya pelan-pelan, mencoba mengatasi kecamuk dalam hatiku. Semakin ingin rasanya aku merokok. Semakin ingin pula menulis untuk menumpahkan segala rasa yang mencengkeram jiwaku!
Sejak SMA aku gemar menulis. Menulis puisi, menulis cerpen. Bahkan saat pacaran, aku sering mengirimkan Emy puisi. Dan ia mengaku bahwa salah satu sebab hatinya luluh adalah efek dari indahnya puisi-puisiku. Sampai setelah menikah, sampai berjalan lima belas tahun usia pernikahan kami, kegiatan menulis tak juga kutinggalkan. Aku pun terus mengirim tulisan ke media-media. Mengikuti lomba-lomba penulisan pula. Tulisanku lebih sering termuat daripada tidak. Tapi honorarium tak pernah kuterima, karena memang media yang memuat puisi-cerpenku adalah media yang tak menyediakan honor. Media yang besar dan memberi honor tak pernah meloloskan karyaku. Pada lomba pun aku tak pernah menang.
Itulah sebabnya sekian lama menulis aku tak pernah bisa membeli laptop. Untung ada Abdi, pegawai tata usaha di sebuah SMP, teman akrabku yang selalu bersedia kupinjam laptopnya. Itu pun saat ia tak sedang bekerja.
Aku pun menulis pada waktu-waktu tertentu, ketika anak-anak pergi sekolah, agar mereka tak bertanya macam-macam, lalu bercerita pada neneknya bahwa aku sedang mengetik. Tak mau kudengar sindiran macam-macam dari perempuan itu.
Atau pada saat Emy pergi.
Walau pun kutahu ia bisa memahami dan tak akan bertanya macam-macam tentang apa yang kukerjakan, aku malu juga ia melihat aku sibuk mengetik, sebab belum pernah ada sepeser pun hasil menulis yang kuberikan buatnya.
Maka –bahkan- kertas-kertas puisi dan cerpenku kusimpan di dalam tas usang di atas lemari dalam kamar. Tak kubiarkan tergeletak di atas meja, yang memungkinkan ia melihat dan membacanya. Sungguh, aku malu!
***
“Ibu bilang Mbak Ria dan keluarganya akan pulang. Anaknya ingin merayakan ultahnya di sini.”
Ponsel yang kupegang kuletakkan lagi di atas meja. Niatku menelepon Abdi kubatalkan karena tiba-tiba aku tak semangat lagi mengerjakannya. Pikiranku langsung tertuju pada bayangan mobil mewah yang masuk ke halaman. Klaksonnya tak henti mengabarkan kedatangan orang kesayangan ibu mertuaku.
Lalu pintu mobil itu terbuka. Keluarlah Mbak Ria dengan muka sumringah, anak semata wayangnya Pipiet yang berseru memanggil-manggil neneknya, diikuti Johan yang senyam-senyum bahagia karena segera disambut dengan kegembiraan tak terkira oleh mertuanya.
Ibu mertuaku itu akan lupa dengan rematiknya saat setengah berlari menuruni tangga teras, mengembangkan kedua lengannya untuk memeluk Pipiet, Ria, juga mencium Johan seraya menjerit-jerit pelan, “Duh, menantuku, anakku, cucuku… aku rindu sekali! Aku rindu sekali! Ayo, ayo masuk cepat. Sudah kumasak makanan kegemaran kalian. Eh, untukmu Johan, ada soto ayam kampung spesial yang menunggu di meja makan. Kau pasti suka!”
Isteriku akan menunjukkan kebahagiaan pula. Memeluk mencium kakak dan ponakannya. Ceria menjabat tangan kakak iparnya.
Aku? Aku akan bersikap sama pula. Tapi dibalas dengan perlakuan tidak sepadan. Mbak Ria, seperti ibunya, tidak begitu ingin berakrab-akrab denganku, sebab ia kurang setuju pula aku menjadi suami Emy. Lalu Johan? Ala kadarnya menyapa dan basa-basi. Entah apa masalahnya denganku. Mungkin karena ia pun terpengaruh oleh penilaian buruk isterinya tentangku. Yang jelas ia kutahu berperangai angkuh, mentang-mentang berstatus karyawan level tinggi.
Satu yang amat kubenci darinya dalam situasi seperti itu. Ia akan merogoh kantong belakang celana, mengambil dompet dan memanggil kedua anakku untuk diberinya uang. Masing-masing seratus ribu rupiah.
“Simpan, ya? Jangan sampai diambil orang!” pesannya.
Aku benci karena mengingat suatu ketika, pada kepulangannya tahun sebelumnya, ia melakukan itu. Lalu sehari kemudian dari Brian kutahu Johan mengulang pesannya.
“Memangnya Om Johan takut uang kalian diambil sama siapa?” tanyaku tersinggung.
“Kata Om Johan, jangan-jangan diambil Ayah.” Polos sekali Sisi menjawabku.
Aku marah. Marah sekali saat itu. Tapi isteriku memintaku –dengan mengiba-iba- untuk sabar dan jangan menambah masalah. Ia pun membentak Brian dan Sisi yang menurutnya bisa saja mengada-ada. Seharian kami tak saling sapa, karena aku tak senang dengan perlakuannya pada anak-anak, hanya demi menjaga perasaan iparnya.
“Sabar, Mas,” ucap Emy tiba-tiba, seperti sudah membaca isi pikiranku.
“Sabar menjadi orang tak punya, sabar menjadi suami pengangguran…”
“Sudahlah, Mas!” sela Emy pelan. Wajahnya nampak kecut. “Tidak ada artinya kita mengeluh terus. Apa pun yang ada dalam pikiran kita, atau apa pun yang kita lakukan, apalagi untuk memberontak atas keadaan ini, tak akan ada artinya. Kita tetap terpojok! Jadi kita terima saja semuanya dengan sabar.”
Aku mengakui kebenaran ucapan isteriku. Ya, memang apa yang bisa kuperbuat? Memangnya apa kekuatanku? Diam-diam merayap juga rasa syukurku memiliki Emy, yang selalu bisa mengendalikan hatinya kendati dalam tekanan-tekanan situasi rumah yang begitu berat.
“Kapan kakakmu datang?” Sekenanya aku bertanya untuk mengalihkan suasana tidak nyaman.
“Sebentar lagi Mbak Ria akan menghubungiku untuk memberitahu kepastiannya…”
Lagu Oke Gas Oke Gas dari ponsel isteriku memotong ucapannya tiba-tiba. Lekas ia angkat.
“O, hari senin depan? Ya, ya. Syukurlah Mbak sekeluarga bisa pulang lagi. Kami sangat senang. Ya, ya. Kami ndak sabar lagi menunggu ini. Iya, kasih tahu Mas Johan dan Pipiet, saya, ibu dan Ayah Brian mau cepat-cepat mengajak kalian ke kebun lagi, untuk memanen buah di sana. Iya, Mbak, iya. Apa? Apa?”
Karena suara di seberang kurang jelas, Emy mengaktifkan speaker ponselnya.
“Kemarin Mas Johan iseng-iseng membaca koran kota. Eh, ada cerpen yang ditulis suamimu. Ada foto dia juga! Hebat. Tak kami sangka suamimu ternyata seorang penulis. Di bionarasinya tercantum bahwa suamimu sudah menulis sejak belasan tahun lalu. Aku dan Mas Johan sampai tertawa terpingkal-pingkal karena tak pernah menduga selama ini ada seniman di tengah keluarga kita. Terus Mas Johan tanya, kira-kira ada honorariumnya ndak, ya? Aku jawab, paling ndak ada. Paling tulisan bolong. Kalau ada, pasti adikku Emy sudah kaya dari honorarium suaminya yang telah menulis selama itu. Justeru mungkin uang belanja isterinya yang habis karena diminta untuk menyewa jasa pengetikan dan beli kuota internet untuk mengirim tulisan. Ah, ada-ada saja suamimu itu. Kenapa tidak menghabiskan waktu untuk menanam buah saja di kebun kita. Kalau panen, hasilnya untuk kalian juga, kan?”
Pucat wajah Emy. Kulihat gemetaran pula tangannya menutup telepon. Kiranya ia tak menduga Mbak Ria akan menyampaikan hal seperti itu, yang kontan membuat aku tertampar. Pasti telah membuat isteriku malu pula padaku.
Ia terisak. Lalu bangkit dan menjatuhkan badannya ke atas kasur.
Dadaku sesak oleh rasa tersinggung teramat dalam. Oleh kemarahan pula, yang tak tahu bagaimana caranya kulampiaskan.
***
Tak bisa kuhilangkan suara Mbak Ria dari hati dan pikiranku. Dari telingaku pula. Tak henti terngiang. Maka tak putus aku mengutuk iparku dan suaminya itu di dalam hati. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tak bisa kubayangkan hal lain, apalagi misalnya akan meneleponnya, memaki-makinya, atau menunggu kedatangannya lalu memarahinya habis-habisan.
Tak mungkin. Aku bukan orang yang punya kekuatan untuk berada pada posisi membalas sikap buruk saudara isteriku, ipar dan ibu mertuaku.
Aku memutuskan untuk fokus saja menulis. Ada ide tema cerpen yang menarik, dan aku harus segera mengeksekusinya. Mumpung Abdi sedang santai dan meminjamkan laptopnya.
Tiga hari, cerpen itu rampung. Seperti biasa, kusimpan bersama cerpen-cerpen lain yang belum kukirim ke media. Tempatnya di dalam tas usang, yang sudah tak dipakai lagi, di atas lemari.
Pagi, aku ingin membacanya kembali dengan maksud melakukan revisi akhir sebelum kuantar ke redaksi sebuah media. Dari berita di internet aku mendapat kabar bahwa di kota kami telah ada sebuah media online yang menyediakan rubrik sastra. Sayangnya tidak memberikan honorarium. Tapi tidak masalah bagiku.
Ya, tidak masalah, karena sejauh perjalanan menulisku aku selalu menjaga kepercayaanku tentang dunia menulis, yaitu bahwa aku masih belum berstatus penulis mapan, hingga karenanya aku tidak bisa “memaksa” tulisan “memberiku” penghasilan. Aku harus lebih dahulu menunjukkan kualitas karya. Tidak akan tertutup kemungkinan, ketika puisi atau cerpenku sudah bermutu tinggi, dengan sendirinya lolos di media besar, dengan sendirinya aku akan memperoleh pendapatan. Ya, pendapatan menulis, sesuatu yang kuimpikan kelak akan kuberikan pada isteri dan anak-anakku, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Memang berat menjaga kepercayaan tersebut, tapi aku harus melakukannya dengan sabar dan konsisten.
Aku masuk kamar. Masih di ambang pintu yang terbuka, langkahku harus kutahan karena di atas meja kulihat tergeletak laptop yang kupastikan telah kusimpan di dalam tas usang itu. Di samping laptop itu ada pula tumpukan kertas.
“Ya, Tuhan! Siapa yang keluarkan laptop dan kertas karyaku dari tas?!” seruku sendiri seraya mendekati meja.
Tak percaya pada pandangan sendiri, aku pegang laptop itu, aku sentuh kertas-kertas puisi dan cerpenku yang tumpukannya sepertinya sengaja dibuat rapi.
“Apakah Emy yang melakukannya?” Pertanyaan itu meluncur lirih dari bibirku, dilatari rasa penasaran yang kian keras dalam hati. “Masa iya? Selama ini Emy tak pernah melakukannya. Tas usang itu pun atau isinya tak pernah ia pedulikan. Tak pernah ia mengurusi naskah puisi atau cerpenku!”
Aku duduk, dengan pandangan tetap melekati laptop dan kertas-kertas itu. Tak kusadari seseorang masuk. Kuangkat wajah melihatnya. Emy, membawa nampan, berisi secangkir kopi dan sepiring biskuit. Ada sebungkus rokok pula!
“Ada apa ini?!” seruku spontan.
Tatapan penasaran dan tajamku beralih pada isteriku itu.
Tak pernah ia menyuguhkan kopi, penganan apalagi rokok untukku semacam yang dilakukannya itu. Ia tak pernah bisa, karena memang aku tak selayaknya “dimanja” dengan semua itu, berhubung pendapatan kami hanya cukup untuk makan. Tak pernah bisa pula, karena itu akan mengundang ejekan dari ibu mertuaku.
“Sudahlah, kau menulis saja, Mas. Aku kembali ke dapur dulu.”
Itu saja katanya, meninggalkan aku yang bingung.
***
“Hebat! Sudah punya penghasilan besar sekarang, ya? Sudah bisa bebas ngopi, ngerokok?!”
Siapa yang membuka pintu hingga dari luar kamar ibu mertuaku bisa melihat aku mengangkat cangkir kopi dan merokok? Untung ia tidak melihat laptop yang ada di hadapanku! Itu gerutu dalam hatiku menyusul omelan pelan wanita itu pagi-pagi. Ah, ulah Brian dan Sisi, yang bolak-balik berlarian saling kejar.
Aku tersinggung. Tapi berbeda dengan sebelumnya, perlahan aku seperti punya kekuatan baru untuk masa bodoh dengan omongan dan sikap mertuaku. Itu sudah berlangsung beberapa hari, yang kusadari betul bermula setelah Emy memberi perhatian pada aktivitas menulisku.
Kekasih hatiku itu tak menegaskan apa maksud perlakuannya yang mendadak itu. Apa alasan dan tujuannya juga masih menjadi tanda tanya bagiku. Ingin kuminta penjelasannya. Tapi sepertinya ia tahu isi hatiku. Lalu ia menghindar ketika menangkap gelagatku yang hendak mengajaknya bicara.
Akhirnya aku tak mau memikirkannya. Bagiku yang penting adalah Emy memerhatikanku, yang bukankah bisa berarti ia mendukung kegiatan menulisku?
Aku bahagia karenanya. Itu sesuatu yang luar biasa, mengingat sekian lama aku “berjalan sendiri”, mencoba mempertahankan konsistensi aktivitas tanpa ada yang peduli, bahkan justeru menjalaninya dalam tekanan besar.
Lima belas menit lagi Mbak Ria dan suami-anaknya akan tiba. Aku berharap ibu mertuaku telah pergi jauh dari sekitar kamar, sebab aku ingin segera menyelesaikan cerpen tanpa harus melihat rupanya. Satu hal lagi, aku tak ingin saat ia mengomel, tiba-tiba Emy muncul. Akan pedih hatiku menyaksikan isteriku itu tertampar dan menunduk lesu.
Di mana Emy? Pikirku. Oh, saat itu segera kuingat bahwa ia sedang mengecek untuk terakhir kali dua kamar depan yang akan ditempati oleh Mbak Ria dan suaminya dan Pipiet. Itu sesuai perintah ibu mertua yang kudengar sejak subuh. Ia tak mau saat anak, menantu dan cucunya masuk kamar, keadaannya kurang sempurna. Padahal dua hari sebelumnya kedua kamar itu telah kubersihkan, telah dirapikan, telah ditata sebaik mungkin oleh Emy.
“Saya yang menyediakan kopi, penganan dan rokok Mas Roy. Oh, mungkin Ibu juga melihat ia menghadapi laptop. Kalau itu dipinjami temannya.”
“Wah, hebat kau, ya? Sudah bisa memanjakan suamimu itu. Memang darimana kau dapat uang?”
“Kemarin Mas Roy terima honorarium tulisannya. Wajarlah saya sediakan itu semua buat Mas Roy, sebab ia yang usahakan uangnya.”
Aku terhenyak mendengar jawaban Emy yang kusimak pembicaraannya dengan ibunya di dapur yang tak jauh dari kamar. Entah lupa bahwa aku bisa mendengar atau memang sengaja, yang pasti suara mereka tak dipelankan.
“Apa maksud jawaban Emy bahwa aku telah menerima honor tulisan?!” Aku tercenung tak mengerti. “Isteriku membohongi ibunya! Untuk apa?!”
“Luar biasa suamimu! Luar biasa! Berarti mulai sekarang kalian sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup kalian? Tak perlu lagi minta-minta padaku?” Nada mengejek kentara sekali dalam seruan ibu mertuaku.
“Insya Allah, Bu. Mudah-mudahan kami tidak akan lagi menyusahkan Ibu.”
Aku benar-benar tak percaya dengan apa yang kudengar! Tak sadarkah Emy dengan ucapannya? Tegas sekali ia menyatakan bahwa aku sudah menerima honorarium tulisan, lalu ditambah pula bahwa kami tak akan lagi memerlukan bantuan ibunya untuk menunjang kehidupan kami, seperti yang terjadi sekian lama!
“O, ya? Berarti kalian pun sudah siap untuk meninggalkan rumah ini. Tak lagi bertahan tinggal di rumah milik Ria ini?”
“Kalau demikian maunya Ibu, kami akan segera melakukan itu, Bu.”
Gila! Hampir aku berseru begitu demi mendengar kalimat terakhir isteriku. Ia menjawab tantangan ibunya tentang kami keluar dari rumah! Apakah Emy sedang kesurupan? Pikirku bingung.
Tak ada suara. Apa yang terjadi di dapur? Kalahkan Ibu dalam pembicaraan, yang lebih tepatnya peperangan?
Klakson mobil terdengar berulang kali dari halaman depan. Orang-orang yang ditunggu ibu mertuaku sudah tiba!
Dari dalam kamar aku melihat Emy keluar dari dapur dengan langkah tenang. Tak bergegas layaknya menyambut kedatangan orang yang ditunggu. Tak ada ibunya. Sesaat aku tunggu. Barulah ibu mertuaku nampak menyusul, tapi dengan wajah memberenggut, merah dan tak bersemangat. Ia sedang dikuasai amarahnya.
Aku pun keluar hendak menyusul Emy. Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar karena di ruang tamu kusaksikan Emy berdiri saja menanti masuknya Mbak Ria sekeluarga. Ibu mertuaku juga. Berdiri, tak berlari menyambut anak, cucu dan menantunya. Dan Mbak Ria, Johan serta Pipiet masuk dengan wajah heran mendapati sambutan yang tak seheboh biasanya.
“Saya perhatikan ada yang aneh kali ini?” ucap Mbak Ria tak bisa menahan diri. “Emy dan Ibu menyambut kami tak seperti biasanya. Malah sekarang hanya berdiri mematung dengan… duh, kenapa Ibu seperti marah begitu?”
Johan dan Pipiet menatapi perempuan tua di depan mereka dengan tatapan berisi penuh pertanyaan.
“Tepat waktunya kalian datang!” teriak ibu mertuaku tiba-tiba. “Kalian bisa langsung menyaksikan bagaimana Emy dan suami hebatnya akan keluar meninggalkan rumah hari ini! Suaminya sudah menjadi penulis hebat, sudah mendapat honorarium, sudah bisa menafkahi isteri anaknya, dan sudah bisa pula mencari rumah sendiri untuk ditempati!”
“Ada apa ini, Emy?” tanya Ria dengan raut wajah tak mengerti. Sorot matanya tajam melekati Emy.
“Seperti yang dikatakan Ibu. Begitulah…,” sambut isteriku santai.
“Dia sudah berani kurang ajar! Mentang-mentang suaminya telah memiliki penghasilan!” jerit ibu mertuaku.
“Kenapa denganmu Emy?!” bentak Ria marah. “Kau sudah berani sama Ibu? Karena suamimu?! Seberani apa kau berharap pada suamimu itu! Berapa penghasilannya sebagai penulis? Setinggi apa level kepenulisannya hingga kau menyombongkannya!”
“Diam!” balas Emy tak kalah sangarnya. “Jangan pernah lagi Kakak berani meremehkan suamiku, seperti yang kau lakukan dalam pembicaraan telepon kemarin itu! Sekian lama aku diam saja melakoni segala bentuk tekanan dan penderitaan akibat omongan dan perlakuan kalian. Aku diam, tak sekali pun mengeluh atau melawan, sebab aku masih berusaha untuk sabar. Tapi ketika Kakak, dan juga kau, Mas Johan, meremehkan impian suamiku, itu sesuatu yang sudah melampaui batas, yang tak boleh aku diamkan, sebab itu sama saja dengan kalian menghancurkan impianku dan anak-anakku!
Kalian tahu? Menulis, menjadi penulis sukses adalah impian Mas Roy. Saat ini ia sedang berjuang, merangkak, mendaki untuk menunjukkan puisi dan cerpennya kepada dunia. Ia yakin, bahwa suatu ketika perjuangannya akan terbayar melalui kesuksesan, setidaknya melalui penghasilan yang ia peroleh dari tulisan-tulisannya. Untuk apa semua itu? Untuk aku, untuk anak-anak kami, agar kami sejahtera dan bahagia!
Pernahkah kau, Mbak Ria berpikir tentang saat Mas Johan masih menjadi karyawan rendahan, sebelum ia berstatus manajer? Saat itu Mas Johan pasti memiliki impian untuk menjadi besar, dan kau juga pasti bermimpi sejahtera dan bahagia melalui kebesaran Mas Johan. Bayangkan, seandainya dalam perjalanan kalian menuju impian itu, tiba-tiba ada aku atau Ibu, atau Mas Roy yang meremehkan impian kalian. Bagaimana perasaan kalian, ha?! Bagaimana?! Dengan tabiatmu yang keras dan egois, Mbak Ria, kuyakin kau akan menghabisi kami semua.
Begitulah perasaan suamiku, begitulah perasaanku!”
Untuk ledakan petir, yang tepat di telingaku, itu bukan apa-apa lagi dibandingkan keterkejutanku mendengar dan melihat langsung bagaimana Emy berubah menjadi singa yang menerkam keangkuhan Ria, Johan dan ibu mertuaku dengan cakar kata-katanya yang begitu tajam. Dan tidak seperti sudah-sudah, ibu mertua, Ria dan Johan hanya bisa membelalakkan mata, terpaku, tanpa bisa membalas dengan sepatah kata pun.
“Kumohon, cobalah berdiri pada posisi kami. Sudah lima belas tahun suamiku berjuang untuk impiannya itu. Sudah lima belas tahun pula aku sekuat hati bertahan menjaga kepercayaanku bahwa impian suamiku itu pasti terwujud, lalu kami, anak-anak kami menikmatinya….” Mendadak suara isteriku berubah lirih. Ia terisak. “Tidak, kau dan Mas Johan tidak akan bisa memahaminya. Kalaupun bisa, kalian tak akan mau, sebab kalian terlalu egois.”
Usai berkata demikian Emy melangkah melewatiku, masuk ke kamar.
“Kita bereskan pakaian dan barang-barang,” katanya. Suaranya mantap kudengar.
Lekas kusongsong Brian dan Sisi yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang. Aku tak ingin kedua buah hatiku itu menyadari apa yang telah terjadi.
Di dalam kamar, Emy memeluk keduanya dan berkata sambil terisak, “Bunda janji, suatu hari kalian berdua akan Bunda hadiahi uang masing-masing seratus ribu, asal mulai sekarang kalian doakan agar Ayah lekas sukses.”
“Jadi ndak usah nunggu dikasih Om Johan?” Sisi menatap kami bergantian.
Aku mengangguk. “Ya, Ayah akan lebih keras berusaha.”
Kami berempat berangkulan. Entah apa yang terjadi di luar kamar.
***
Baru kami alami makan berempat saja, tanpa ibu mertua, tanpa rasa risi. Dan udara kamar kos yang bebas dari tekanan membuat aku lahap.
“Bagaimana kau tahu tentang impianku?” Dalam suasana yang nyaman itu aku ingin mengentaskan rasa penasaran yang sudah sehari aku pendam. Agar hatiku juga nyaman. Maka kutanya Emy yang sedang membersihkan remah nasi di pipi Sisi.
“Lima belas tahun kita bersama, Mas,” jawabnya santai tanpa melepaskan perhatian pada putri kami. “Lima belas tahun tentunya aku saksikan kamu tak henti menulis. Karena apa lagi kau bertahan dalam ketiadaan penghasilan dari kegiatanmu itu, kalau tidak karena kau punya mimpi. Lalu apa mimpi seorang penulis yang sudah berkeluarga kalau bukan membuat bahagia anak isterinya dari hasil menulis?
Keyakinanku tentang itulah yang membuat aku tak terima kata-kata meremehkan dari Mbak Ria dan suaminya. Itu pula yang menyadarkanku bahwa sekian lama aku telah durhaka padamu dengan tak sekali pun menunjukkan kepedulian pada kegiatanmu. Laptop yang kuletakkan di atas meja, kertas-kertas karyamu yang kuatur rapi, juga kopi, biskuit dan rokok yang membuatmu heran adalah tanda bahwa mulai saat itu aku ingin mendukungmu, sekaligus menebus kedurhakaanku, Mas.”
Aku terharu mendengar ucapan orang yang paling kucintai itu. Dan mataku berlinang. Aku sembunyikan dengan menunduk.
“Tak usah ditahan, Mas. Kalau ingin menangis, menangislah. Sudah cukup lama kita menahan terlalu banyak hal. Mulai hari ini, kita bebaskan hati dan pikiran kita.”
Pelan kuangkat muka. Kubiarkan ia melihat air mataku meleleh. Dan matanya pun mulai pula menitikkan butiran-butiran bening.
“Kemarin kau membohongi mereka bahwa aku sudah memiliki penghasilan dari menulis, bahwa kita tidak akan bergantung lagi pada Ibu atau siapa pun, dan kau nyatakan bahwa kita siap meninggalkan rumahmu, hingga kemudian kita tunjukkan dengan kita menyewa kos ini. Lalu tak takutkah kau akan mengalami penderitaan bentuk lain, dengan keadaan yang sebenarnya bahwa aku belum punya penghasilan tetap, dengan kebutuhan yang dulu bisa ditalangi oleh ibumu, tapi segera harus kita atasi sendiri, setidaknya untuk membayar sewa kos ini bulan depan?”
Emy mengusap air matanya sebelum menjawabku, “Mas sadar, apa sebenarnya yang membuat kita sekian lama tertekan, sekian lama menderita? Karena kita terlambat untuk berani. Padahal kita punya alasan kuat untuk berani.”
“Apa alasan itu, Emy?”
“Tak satu pun yang bisa menghalangi sepasang suami isteri yang berjuang bersama-sama meraih kebahagiaan keluarga.”
Aku terdiam mendengar jawaban itu.
“Dan satu lagi, kita punya sumber harapan yang sangat besar, yaitu mimpimu itu, Mas! Ingat, aku pun bermimpi karena mimpimu. Maka kita bisa melangkah bersama untuk mewujudkannya. Kekuatan apa yang bisa mengalahkan kita?”
Teng teng teng.
Sontak Brian dan Sisi saling pandang mendengar ketukan piring penjual bakso. Aku dan Emy menanti luncuran permintaan mereka, sembari mempersiapkan kata-kata untuk merayu agar mereka sabar dulu.
Tapi dengan mantap Brian berucap, “Kita tunggu saatnya Bunda bisa memberi kita uang seratus ribu. Baru kita beli bakso sepuasnya.”
Adiknya mengangguk, setuju.
Sumbawa Timur, 28 Mei 2024
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Solo Pos, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.