TAHUN BARU, layu hatiku. Bukan benci pada orang-orang yang berkerumun merayakan momen di alun-alun, meniup terompet, atau mereka yang bermuhasabah di ruang sunyi rumah. Namun, 1 Januari nanti, belum pasti tiba seseorang menemaniku diskusi, padahal 2 tahun lalu ada seorang dengan latar perspektif serupa denganku. Hadirnya selalu menemani diskusi sejak sama-sama menempuh semester perdana pada sebuah perguruan tinggi kota tercinta ini.
Sebatang rokok kuambil lagi dari dalam bungkusnya, kunyalakan korek dua ribuan, dan menghidupi ujung sebatang kretek ini. Sesudah menyeruput kopi yang sebetulnya mulai mendingin, isapan pelan pun aku lakukan. Asap kuembus mengudara, terus meninggi, dan menghilang di antara lubang-lubang ventilasi atap rumah. Lagi-lagi aku merenung dalam dan jauh. Pada kenang-kenangan yang lama itu.
“Difabel itu seharusnya berdaya atau diberdayakan?” tanyanya pada waktu itu.
“Menurutku, diberdayakan, sih, Ar,” jawabku agak malas.
“Kamu kok lesu gitu, sih? Katanya mau ngajakin diskusi di angkringan legend Kotagede ini sembari malam tahun baruan!” rengutnya, sebal.
“Gimana nggak malas, la wong kamu ngajakin diskusi yang nggak ada kaitannya dengan momentum sekarang ini. Lagian ya, isu itu udah berulang kali diobrolkan, apa kamu nggak bosan?” tanyaku balik dengan tempo cepat.
“Aku, kan, relawan, Mas Praba!” elaknya, sambil manyun.
“Ar, Ar, Ardina Cempaka! Aku memang mengapresiasi betul status relawanmu itu dalam mendampingi sobat-sobat difabel, Cuma jangan lantas beralasan demikian untuk diskusi kita malam tahun baru kali ini.” Nadaku agak meninggi pada ujung kalimat. “Lagian, tidak nyambung sama sekali, paham?” tambahku, datar.
“Ok, ok. Kalau kamu nggak suka. Kita ngomongin resolusi setahun kedepan aja, deh!” Tangan berjari lentiknya lincah mengambil sebuah bakwan yang masih panas.
“Resolusi atau makan risol?” gumamku menimpali lalu mengambil sebuah risol mercon di nampan berwarna ungu.
“Kusiram trasi kamu, Mas Praba Kusuma Sulaksana!” geramnya, mulai agak sebal dengan gumamanku.
“Maaf, maaf. Aku Cuma meredakan volume pembicaraan. Tadi intensitas di antara kita masih tinggi. Seperti jeda pada tabel akutansi, antara jurnal khusus, saldo, dan kawan-kawannya, obrolan kita sebaiknya sesekali berhenti, ada jeda gitu biar enak ngatur tabel topik berikutnya. Biar nggak kayak metode penelitian quantitatif yang blunder.”
Ardina menatapku tajam.
“Kamu malah ngelantur! Tak bedanya dengan pemabuk, Mas.” Ucapnya, singkat.
“Eh, iya, ya?” Tanpa terduga, gadis seperempat abad itu menjejalkan sebiji mendoan di mulutku, memaksanya masuk, buatku kelagapan sebab masih ada sisa risol di ujung tenggorokan.
Mau tidak mau, obrolan berhenti. Aku dan Ardina sibuk dengan beragam sajian angkringan di hadapan. Mendoan, bakwan, tahu susur, risol mercon, risol mayo, sate usus, sate keong, sate telur gemak, dan masih banyak lagi. Add list pokoknya dalam makanan yang akan menemani obrolan malam hari ini. Adapun pengunjung lain, abai sama sekali dari perhatian. Dunia ini kita yang punya, kalau kata “Kasablangka” salah sebuah lagu gubahan Nuha Bahrin dan Naufal Azrin dari Negeri Jiran.
“Resolusiku sederhana aja, sih! Mungkin rajin ngirim tulisan ke koran, mungkin streaming-an baca puisi karya sendiri lagi di Instagram. Nggak tahu planing pastinya.” Aku berusaha mencairkan suasana.
Ardina mendengus, “Kayak ABG aja kamu ini!”
“Terus maumu bagaimana, Ar?” lirihku memelas.
“Idih, bocah tua! Pikir aja sendiri!” Ardina menghabiskan gorengan, lekas menyeruput minuman, dan beranjak pergi selepas melunasi pembayaran.
“Jangan temui aku selagi sikapmu masih kekanak-kanakan begitu, Mas.” Sinis ucapannya menghunjam dalam hati.
Aku terpaku, tangan tidak berhenti mengaduk kopi hingga gula jawanya larut menyatu. Separah itukah sikap bocilku? Apa jangan-jangan, resolusi yang diingini Ardina seperti pria-pria kaya dan gendut gemoy yang senantiasa berjajar rapi di meja bundar? Atau, ada ekspetasi lain? Pusing tak habis-habis aku memikirkan. Sampai terbawa pulang, bahkan hingga hari ini keketusan sikap teman karib gadisku itu masih membayangi.
Aku mengembuskan napas dalam-dalam. Sempat terlintas dalam benak, sebuah ingatan pada video yang pernah mengatakan kalau kemauan dan harapan wanita itu butuh dirasakan dengan kepekaan. Tidak akan selesai masalahnya kalau Cuma ego yang dipergunakan. Jangan-jangan, selama ini caraku tidak tepat, gayaku nggak pas dengan kriteria Ardina? Lagi-lagi pusing mendera. Lekas kubuang jauh ke dalam lipatan terdalam pikiran persoalan itu.
Aku beranjak keluar rumah, duduk pada sebuah lincak yang biasanya kugunakan untuk menerima tamu. Semilir angin malam, pemandangan orang ramai yang melintas silih berganti di jalanan depan, dan langit yang bersih dengan bulan dikawal bintang setidaknya melipur laraku. Sesekali tampak beragam warna dan ukuran kembang api di sana, semarakan waktu pergantian tahun baru.
“Assalamualaikum, Mas Praba!” Terdengar uluk salam, mengalihkan perhatianku dari teatrikal langit, kembali fokus kedepan.
“Wa, wa, waalaikumussalam,” gagap kujawab salam itu.
“Bagaimana kabarmu, Mas?” tanyanya seraya mendudukan diri di sampingku dengan memberi sedikit jarak.
“Ar, Ardina, sungguhkah dirimu?” Aku tidak yakin.
Dia hanya mengangguk, “Alhamdulillah, aku masih sama seperti yang kamu kenal dulu, Mas. Tapi–.” Gadis itu tersenyum tipis, sengaja memutus kalimatnya untuk suatu kesan yang khas.
Aku tidak percaya, sesekali mengucak mata. Ardina sekarang benar-benar berbeda. Wanita itu mengenakan busana gamis berwarna biru ceria, berhijab hijau muda. Tampilannya sederhana. Siapapun yang kenal Ardina sejak lama pasti tidak menduga.
“Waktu itu aku salah, Mas. Bersikap tidak pantas dengan meremehkan dan lebih-lebih sebal dengan mimpi-mimpimu. Padahal, sesudah aku mempelajari agama yang mulia ini, seseorang tidak dilarang Tuhan untuk mengubah nasib dengan kemampuannya. Selama cara yang digunakan direstui Tuhan, it’s not to be okay.” Semakin terheran aku karena cara bertuturnya lembut penuh kehalusan.
“Kamu, kamu—-”
Ardina menukas pelan “Tidak hilang juga, ya, mas, bicara gugupmu itu?” Lalu Ardina tersenyum sabar.
Aku terdiam kehabisan kata-kata. Perlahan, malu menyergap. Nanar kutatap mata jelita perempuan itu. Banyak makna yang terpancar. Namun, saat ini lebih banyak kutemukan kesabaran, kecerdasan, dan kelembutan.
“Aku tidak bisa terlalu malam, Mas. Mampir ke kediamanmu ini pun, sebab jalan yang kuambil melintasi. Aku tadi dari belanja. Besok aku juga harus pagi-pagi mengisi majelis psikologi keagamaan di masjid dekat rumah. Kalau mau berbincang lebih banyak, datanglah! Pintu rumah selalu terbuka.” Ardina berdiri, matanya mengerling, dan sesudahnya dia pergi dengan iringan pamit. Sebuah kertas yang berisi puisi ditinggalkannya. Sepertinya memahami apa yang tengah aku galaukan saat ini.
Siaga Untuk Memanusia
Mengudarakan semerbak cinta adalah kerja dari tanah yang merindukan janji hujan,
Kenyataannya langit belum mengutusnya juga ke bumi untuk menemui.
Meranggasnya tetumbuhan, mengeluhnya bibir binatang dan insan, juga surutnya sekaligus mendidih lautan merupakan sebuah pertanda.
Berakhirkah dunia, berhentikah takdir manusia dan segenap makhluk?
Kefanaan, kehancuran, kematian, dan ketiadaan, itulah kita,
Sekianlah literatur ritus menyabdakan.
Dedaunan, jatuh.
Pelan, pasti.
Angin, berbisik.
Matahari, termenung.
Gemawan, mengawang.
Langit, bumi.
Saling, Diam.
Mulai, memahami.
Terpadu, Mengaliri.
Cerita, Hidup.
Tentang, pagi.
Menuju, Senja.
Sepanjang, Sanubari.
Berada, Mewarnai.
Sigap sekaligus tanggap, buatku tergagap.
Sapamu melekat dekat meskipun sesaat dalam senyum dan rengkuh yang hangat.
Bebunyian indah bermelodi,
Hati-hati kupetik, pukul, pencet, dan injak.
Biar diri ini masih sesekali berhenti berdikari,
Semangat harus dijaga sampai mati lalu disantap ganas oleh gagak.
Siaga!
Berubah!
Saat ini!
Biar kepompong menjadi metafora kupu-kupu adanya.
Supaya kelopak bunga makin banyak merekah.
Seakan unta adanya kita,
Lebih baik siaga darinya, untuk utuh menjadi manusia.
Aku, lagi-lagi tertegun tak ubahnya orang tolol. Dalam beberapa menit, aku masih membisu. Makna yang sedikit kutangkap dari empat bait lebih puisi itu masih memenuhi benak.
Ardina memang benar-benar jauh berbeda sekarang ini. Dan, aku terlalu tolol untuk mengikuti perkembangannya. Sementara keramaian jalan di hadapan, sama sekali tidak meninggalkan kesan. Kesadaranku baru memulih ketika dering pemberitahuan gawai nyaring terdengar.
Malam tahun baru itu, aku banyak berpikir dan menimbang. Keinginan mencari teman diskusi, tetap ada. Namun, adanya niatan lebih dari teman seperti saat bersama Ardina dahulu mendadak sirna. Kegentaran akan sorot mata teduh gadis dan pembicaraan dengannya itu masih membayang dan mungkin akan mengubah segala pada masa mendatang.
Prioritas hidup harus aku ubah. Tahun baru, kewajiban seorang insan harus disadari dan diperkuat. Sejak 2 tahun itu, kerja tetap belum kudapat. Pagi besok, aku akan bergerak mencarinya. Tidak hanya dengan surat elektronik, tetapi dengan banyak menelusuri dari tempat ke tempat, dari pintu ke pintu.
Ardina yang berapi-api saja bisa berubah, mengapa aku tidak? Lebih-lebih, karya yang terlahir dari tangan ini sudah banyak. Acapkali penikmat karya mengirimi komentar di akun pribadi tentang interpretasi makna karyaku. Ironi, sih, jika aku tidak mampu melaksanakan nasehat-nasehat itu sendiri. Apalagi kalau meminjam kalam dari Mendiang WS. Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Bantul, 31 Desember 2024
BIODATA
Akbar Ariantono Putra, lebih akrab dengan Akbar AP, lahir di pinggiran sebelah timur Kota Bantul yang permai pada 2003. Terlahir sebagai Disabilitas Netra, tidak membuatnya surut dalam menjalani hidup. Saat ini, Akbar sedang menyelesaikan S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.