DUNIA yang indah. Dunia yang indah.
Sudah tiga hari aku menyebut-nyebut kalimat itu dalam hati. Kadang tak sadar terlontar dari bibir, yang beberapa kali membuat Asma, isteriku, menatap dengan wajah penasaran.
“Dunia yang indah? Apa itu?” Hari ini ia langsung bertanya.
Tapi kemudian ia mengangguk-angguk sendiri.
“Tema cerpen, ya? Tapi lama sekali dipikirnya. Sudah tiga hari Abang mengucapkan kalimat itu terus,” imbuh Asma. Suaranya meningkahi gesekan spatula dengan wajannya.
Aku tak punya waktu menanggapi ucapannya, sebab aku sudah meninggalkan dapur. Di teras tatapanku melekat ke hamparan sawah di depan rumah.
“Duh, beruntungnya aku membangun rumah menghadap persawahan. Setiap saat aku bisa menikmati pemandangan dunia yang indah. Lihat, lihat padi-padi yang sedang menguning itu, pepohonan menghijau di sekitarnya. Dan langit yang biru, cerah menaungi. Serta burung-burung beterbangan, melengkapi lukisan dunia yang indah,” gumamku, pelan, seperti berbisik.
Gumaman itu kuulang berkali-kali, dengan mata terpejam, berusaha menghayati, mencoba mematri baris demi baris kalimat itu ke dalam ke hati, sehingga aku merasa terbuai dengannya, darah berdesir karena sensasi menyatunya. Hingga pelan-pelan aku bisa membangun dorongan diri untuk menulis tentang hamparan sawah itu, citra emas padi-padinya, hijau pohon-pohonnya, biru cerah langit di atasnya, kepak lincah burung-burungnya. Menulis semua itu untuk sebuah tema “dunia yang indah”, buat cerpen yang akan kuikutsertakan dalam lomba.
“Klise!”
Aku tersentak, kaget oleh seruan agak keras Asma di belakangku.
“Mengambil objek persawahan dengan segala tetek bengeknya untuk membangun cerpen bertema dunia yang indah? Klise!” ulangnya.
Aku sedikit tidak senang dengan “campur tangan” isteriku itu. Tapi aku menahan kekesalan, karena tak mau ia tersinggung. Lagi pula aku juga butuh masukan dari orang lain untuk membuat sebuah cerpen yang kuinginkan. Terutama dari orang dekat, seperti dia.
“Aku akan ikut lomba menulis cerpen bertema dunia yang indah. Hadiahnya lumayan, tiga setengah juta rupiah untuk pemenang pertama. Jadi aku butuh karya yang bagus.” Suaraku jadi seperti merengek, meminta Asma membantu.
“Itulah, apa dunia yang indah hanya melulu dari alam yang indah?”
Usai berkata, ia pergi. Di dapur perempuan itu berteriak, “Makan dulu! Sudah siang!”
Tapi aku tak berselera.
***
“Ya, Tuhan, aku bertemu lagi dengan Dokter Wibowo!” seruku pelan, selain karena badanku lemah, tak kuat bicara, juga karena risi didengar oleh lelaki paruh baya yang berjas putih yang sedang mendekatiku itu.
“Telat makan lagi, Pak Wahyu?” tanyanya seraya tersenyum padaku yang terbaring tak berdaya di ranjang. Tangannya menekan-nekan pelan perutku dari tengah, ke samping, ke tengah lagi. Lalu menempelkan stetoskop di atasnya. Sejenak ia berkonsentrasi dengan suara perutku pada alatnya itu, kemudian mengangguk-angguk.
“Pak Wahyu harus istirahat dua tiga hari di sini,” katanya pelan tapi jelas nadanya memerintah.
Ya, Dokter Wibowo kembali memerintahkanku untuk istirahat total selama beberapa hari agar maag kronisku dapat diobati lagi. Bulan lalu sudah seperti ini, dengan kejadian sama, aku telat makan malam, ditambah terus-terusan memikirkan materi cerpen, perutku melilit tak tertahankan, aku muntah-muntah, lemas, dan dijemput ambulan, dibawa ke rumah sakit ini.
“Dua tiga hari?” keluhku tak terucapkan. “Lalu bagaimana dengan cerpen yang belum juga bisa kutulis, sementara tenggat waktunya empat hari lagi?”
Sepeninggal dokter itu tatapanku merayapi plafon yang putih rata di atasku, sementara otakku mulai terisi pikiran tentang cerpen, tentang objek ceritanya yang belum juga kutemukan, tentang batas waktu pengiriman yang sudah mepet!
“Seharusnya aku sedang berada di luar, di alam bebas sekarang. Memperhatikan segala yang ada di sekitarku, untuk kutemui objek cerita yang bagus, yang menarik! Tapi ini… aku terkurung….”
Sebenarnya aku sudah menemukan beberapa objek. Ada seorang pengusaha kaya yang selalu mampir di warung kecil di pinggir jalan. Ia hanya membeli nasi di sana karena dengan cara itu ia ingin membantu pemiliknya yang miskin. Menurutku, dunia yang indah terdapat dalam kepedulian orang berada pada golongan lemah.
Ada pula objek perjuangan seorang lelaki menanam bakau di pantai yang terancam abrasi dan dicemooh warga sekitar. Keteguhan sikap lelaki itu menampakkan satu sisi dunia yang indah. Ada yang lain pula…
“Bang, istirahatkan pikiranmu.” Suara Asma menyela. Ia duduk di sampingku. Tangannya mengelus-elus lenganku. “Jangan pikirkan cerpen itu. Tidak bisa ikut tidak apa-apa, kan?”
Aku memejamkan mata. Mencoba mengikuti saran isteriku, menghela pikiran-pikiran yang terus menumpuk dalam otakku. Tapi makin kuhela, otakku seperti penuh rasanya. Dan… pening, aku mulai mual.
Aku muntah lagi!
“Abang!”
Seruan cemas Asma meningkahi erangan-eranganku yang muntah sambil menahan sakit perut yang mendera, dengan tenaga yang rasanya terkuras pula.
***
Dua hari lagi, tenggat waktu lomba itu tak mungkin lagi kukejar sebab aku belum diperbolehkan pulang oleh Dokter Wibowo. Walaupun aku meyakinkannya bahwa aku sudah kuat, ia tetap menyarankan agar aku bersabar dulu. Aku risi memberontak.
Tapi hatiku bergolak. Aku dituntut oleh pikiran sendiri untuk segera menyelesaikan cerpenku!
Aku berusaha tenang, sebab trauma dengan pengalaman muntah kemarin. Tapi aku tak bisa benar-benar tenang. Lalu hanya tatapanku kosong melekati punggung Asma yang sedang duduk istirahat sejenak dari mengurusiku, sambil menghadap laptop, menyelesaikan pekerjaan kantornya yang telah tertunda beberapa hari belakangan.
Tiba-tiba… ada sesuatu merayapi pikiranku.
Sesuatu… “Ya, Tuhan!” seruku tak tertahan walaupun lirih karena lemas.
“Ada apa, Bang?” Asma menatapku dengan cemas. Lebih cemas lagi ia melihat aku yang mencoba menegakkan punggung untuk duduk.
Gegas ia mendekat dan membantuku.
“Bantu aku!” ucapku sambil memperbaiki posisi duduk.
“Ini sudah kubantu, Bang,” sambutnya.
“Bukan!” kataku keras.
Ya, keras, karena terbawa semangat yang tiba-tiba membuncah dalam hatiku.
“Bukan itu! Bantu aku menulis!” Kurasakan suaraku bergetar karena semangat itu. Semangat mendapati satu objek cerita untuk cerpenku!
“Cerpenku akan bercerita tentang kau, isteriku!”
“Apa maksudmu, Bang?” seru Asma pula, menyambut dengan ekspresi wajah tak mengerti.
“Ya, tentang kau, isteriku! Begini ceritanya. Aku sakit karena telat makan dan memikirkan objek cerpen untuk lomba yang bertema dunia yang indah. Di rumah sakit aku makin kalut karena tenggat waktunya semakin dekat, sementara cerpen itu tak juga bisa kutulis. Dalam keputusasaan, tiba-tiba kuperhatikan kau, seorang isteri yang begitu setia merawatku, yang rela mengorbankan waktu dan tenaga, siang malam demi kesembuhanku. Mendadak aku berpikir bahwa ternyata begitu indah dunia yang kujalani selama ini bersamamu. Mendadak aku tersadar bahwa ternyata dunia yang indah yang berhari-hari kupikir, kucari-cari di luar sana adalah dunia yang diisi oleh keberadaanmu di sisiku! Dan kau tahu? Kaulah yang seharusnya dari kemarin-kemarin kujadikan objek cerpenku! ”
Andai sehat, maka suaraku itu akan meluncur lantang sekali. Tapi cukuplah, sebab kulihat Asma pun telah mengerti.
“Sekarang, aku tuturkan isi cerpenku. Kau yang mengetik,” perintahku dengan tidak sabar.
Hampir setengah hari, cerpenku pun selesai.
Sambil memelukku, Asma berbisik, “Sudah kukirim ke panitia, Bang.”
Aku pun tersenyum, membayangkan lahapnya ia mengunyah mie ayam di warung perempatan pusat kota.
Kebiasaanku mentraktir isteriku itu jika mendapat hadiah uang dari lomba menulis.***
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Negeri Kertas, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.