TIGA HARI ini kami dapat kiriman istimewa. Pertama, dikirimi bangkai anjing. Tubuhnya masih utuh, kelihatannya anjing mahal sejenis chow-chow. Gempal berisi, lehernya berkalung rantai warna emas. Tuannya tentu kaya raya dan menjamin hidupnya. Anjing itu dengan gampang kami lempar kembali ke tengah arus yang deras. Hari kedua bangkai sapi. Bangkai sapi malang itu tahu-tahu nyangkut di sisi kiri atap rumah. Tubuhnya sudah menggelembung membiru dan mulai berbau.
Bangkai sapi ini segera saja membuat kami sibuk. Dengan menggunakan batang-batang kayu, kami berempat: aku, Sus, Maus, dan Pian mendorong-dorong tubuh si sapi agar lepas dari atap rumah dan kembali dihanyutkan air. Hampir dua jam kami berkutat dengan bangkai itu sebelum akhirnya si sapi dapat dihanyutkan kembali ke air. Tentu kami tak mau pusing-pusing memikirkan apakah ia akan nyangkut lagi di atap rumah orang lain atau terus hanyut dibawa banjir melewati sungai-sungai sebelum sampai di laut.
Sehari sesudah kiriman bangkai sapi itu, lagi-lagi kami mendapat kiriman. Kali ini benar-benar special. Hari masih sangat pagi ketika tahu-tahu ada mayat yang nyangkut di atap rumah. Sus yang pertama kali tahu. Ia langsung berteriak-teriak membangunkan kami yang terlelap di antara plafon dan genting rumah. Karena kiriman kali ini tak sekedar bangkai anjing atau sapi tapi mayat manusia, langsung membuat kami kelabakan.
“Sudah tak usah repot-repot, seperti sapi kemarin kita lempar saja ke tengah. Biarkan arus banjir mengurusnya!” terik Maus sambil menarik-narik kaki mayat yang tersangkut.
“Tapi ini manusia, bukan sapi. Apa nggak kasihan? Pasti keluarganya sibuk mencari-carinya,” kata Sus.
“Apa nggak kita biarkan saja di sini. Siapa tahu nanti kalau kita bisa meninggalkan tempat ini dia bisa kita bawa sekalian dan kita kuburkan,” kataku sambil mengamati mayat.
“Ya kalau kita segera bisa keluar dari sini. Kalau bantuan nggak segera datang, gimana?” kata Pian sambil turut menarik-narik kaki mayat naas itu.
“Sudah daripada ngrepotin kita hanyutkan saja. Habis perkara!” teriak Maus lagi mengambil sepotong kayu dan mencoba mengungkit-ungkit si mayat agar dapat lepas dari celah atap rumah..
“Masak dalam kondisi kayak begini kalian masih mikirkan mayat?”, Pian menyambung, “mikirkan nasib sendiri saja nggak jelas, lha kok mikirin mayat orang yang nggak dikenal. Toh, dia juga sudah nggak bernyawa. Nggak bakalan hidup lagi!”
Aku dan Sus memandang si mayat. Hati kecilku berontak. Aku bayangkan seandainya si mayat itu aku. Pasti keluarga, isteri dan anak-anak kebingungan mencari-cari, pikirku.
“Ayo, bantu dong.! Sudah, jangan sentimentil. Apa kalian mau mayat ini di sini bersama kita terus, sedang bantuan belum jelas kapan datangnya!” teriak Maus sambil mendongkel tubuh mayat. Ia terpeleset dan langsung tercebur ke air. Beruntung tangannya masih sempat meraih sebuah usuk. Kami segera menolongnya kembali naik ke atap rumah.
*******
Sudah lima hari kami terpaksa menjadi manusia atap. Waktu itu tengah malam. Orang-orang masih sibuk dalam mimpinya masing-masing ketika suara titir mencabik-cabik malam memaksa terjaga. Tahu-tahu air sudah masuk ke rumah setinggi lutut. Semua kelabakan. Mengumpulkan surat-surat berharga semampunya, membungkus baju, mengangkat barang-barang mulai dari kasur, tv, kulkas, komputer, dan barang-barang lain ke atas meja atau lemari dengan harapan air tidak dapat mencapainya.
Kesibukan itu membuat gugup dan tak dapat bepikir tenang. Tahu-tahu air dengan cepat naik sepinggang. Anak-anak dan perempuan segera diungsikan ke desa sebelah. Tapi seperti halnya tetangga-tetangga aku masih yakin, air tidak akan mungkin naik sampai ke dada. Keyakinan itu membuat para laki-laki segera balik ke rumah menunggui rumah dan barang-barang.
Air seperti tak mau kompromi. Tidak ada selang satu jam air sudah merambat ke dada dan terus naik ke leher. Dan mendadak semuanya seperti menjelma jadi lautan. Sungai Solo, Sungai Madiun, dan Kali Ketangga yang biasanya jinak dan tak pernah neko-neko benar-benar kompak mengubur desa-desa yang dilaluinya. Aku terjebak. Yang lain sempat menyingkir, tapi aku tak berkutik. Air sampai sebatas tembok atap rumah. Beruntung rumahku yang model atapnya bentuk limasan termasuk atap yang paling tinggi di sekitarnya. Melalui plafon aku merambat naik ke atas atap.
Dari atas atap sejauh mata memandang cuma air dengan warnanya yang kecoklatan. Dari atas atap itulah aku melihat tiga tetanggaku, Pian, Sus, dan Maus berenang kebingungan melawan arus. Rumah-rumah mereka yang memang tak begitu tinggi tenggelam tinggal ujung kerpusnya saja. Demikian juga rumah tetangga-tetangga yang lain. Aku berterteriak memanggil mereka untuk naik ke atap rumah. Mereka berenang menuju ke tempatku bertengger dan langsung ikut naik ke atap rumah. Jadilah kami berempat manusia atap.
Setelah berjuang hampir setengah jam mayat itu berhasil kami dongkel ke tengah. Perlahan-lahan mayat itu hanyut oleh alir air. Beberapa sekon sebelum mayat itu terbawa arus aku sempat melihat matanya yang tak sepenuhnya terpejam seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Sesaat aku tercekat. Sesaat saja. Setelah mayat itu lenyap dari pandangan aku segera melupakannya. Pikiranku yang sudah bising oleh berbagai persoalan termasuk memikirkan nasib keluargaku yang terpisah, membuatku segera melupakan mayat yang terapung-apung itu.
Sesudah insiden kecil itu nyaris seharian ini kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya memandang pada arus kali yang makin deras. Pikiran kami turut makin deras mengalir ke sana kemari tak jelas arahnya. Kami sibuk dengan lorong pikiran kami sendiri-sendiri. Tapi aku yakin, meski otak kami brerpikir sendiri-sendiri pasti kami memikirkan hal yang kurang lebih sama, memikirkan seambreg pekerjaan sesudah nanti banjir surut: menghitung dan memisahkan barang-barang kami yang tak tertolong dan yang masih bisa dipakai, semisal mengeluarkan lumpur dari rumah, mereparasi barang-barang elektronik, mengecat ulang dinding rumah, mengganti kasur yang terendam air, mengganti baju anak-anak yang turut hanyut, mengurus surat-surat penting yang rusak atau hilang, dan seambrek pekerjaan lain yang sama sekali tak menyenangkan.
Matahari condong ke barat. Cahayanya tak lagi mengebor kepala kami yang bertengger di atas atap. Pada siang hari tadi, sesekali kami sempat berlindung di plafon di bawah atap, tapi karena terlampau pengap dan sempit kami lebih suka keluar bertengger di atas atap menantang matahari.
Insiden kiriman mayat yang nyangkut tadi membuat kami waspada dan bersiaga. Di tengaha amukan banjir seperti ini kemungkinan mendapat kiriman lagi sangat terbuka. Bisa saja nanti banjir menghadiahi kami lagi bangkai ayam, kelinci, kerbau atau bahkan babi.
“Ada mayat! Lihat, mayat lagi! Ada mayat nyangkut!” tiba-tiba Maus menjerit sambil menunjuk ke sisi kiri atap rumah.
Dengan merayap-rayap kami menuju ke sisi yang ditunjuk. Maus. Kami langsung melongo melihat sosok tubuh kaku itu.
“Lho, bukankah ini mayat yang tadi?” kataku nyaris berteriak
“Ah, masa. Perasaanku yang ini tubuhnya lebih langsing ketimbang yang tadi” sela Sus.
“Coba lihat. Kayaknya sih wajahnya mirip-mirip dengan yang tadi. Hidungnya juga pesek. Kumisnya yang tadi juga rasa-rasanya tebalnya sama dengan yang ini,” kataku lagi yakin dengan penglihatanku.
“Rambutnya juga sama keritingnya…” kata Maus sambil mendekatkan wajahnya ke arah mayat.
“Matanya juga nggak terpejam kayak yang tadi pagi!”. Tiba-tiba aku langsung teringat lagi pada pancaran mata si mayat yang memelas sebelum kami hanyutkan tadi.
Sus menyentuh mayat itu. Perlahan-lahan mengusap-ngusap wajahnya, memeriksa mata dan membolak-balik badannya.
“Bajunya juga sama persis dengan yang tadi pagi. Aku ingat betul, hem panjang warna biru. Persis ini!” teriaknya setelah membolak balik mayat.
“Sudah, sudah. Mayat ini yang tadi atau yang lain, peduli amat. Ambil kayu kita hanyutkan lagi, habis perkara!” Pian memotong sambil tangannya mencari-cari kayu untuk mendongkel mayat itu ke air.
“Hei, nanti dulu. Sabar. Pakai perasaan dikit dong. Paling tidak kita identifikasi dulu. Jangan langsung main buang aja!” kata Sus sambil memegang tangan Pian yang sudah mencekal kaki mayat.
“Alah, macem-macem saja. Mau cari tambahan pekerjaan apa? Kita ini sudah sengsara di sini. Jadi ndak usahlah menambah kesengsaraan dengan capai-capai meributkan mayat ini. Ayo, hanyutkan saja!” sahut Nug sambil dengan kakinya mendorong tubuh mayat.
“Eit, tunggu dulu!” Maus menahan kaki Nug, “jelek-jelek begini dia juga manusia, paling tidak bekas manusia. Jadi sebaiknya kita beri kesempatan dulu agar dia memperkenalkan diri. Eeh.., maksudku kita yang mencoba mengenalnya sebentar saja.”
“Gendeng kamu. Memangnya dia bisa ngomong? Tanyain dia, siapa namanya, rumahnya mana, punya bini muda nggak. Kalau punya tanyakan sekalian, boleh nggak aku minta,” sahut Pian jengkel.
“Jangan lupa minta dia memberi sedikit warisan buat kita. Lumayan kan untuk benah-benah pasca banjir?” kata Sus sambil cekikikan.
“Kalau lihat tongkrongannya kayaknya dia tergolong eksekutif muda. Atau barangkali juga semasa hidupnya dia koruptor. Coba lihat, sampai-sampai mati kena banjir pun dia masih mengenakan dasi dan sepatu, meskipun tinggal sebelah.” Kata Pian lagi sambil mengambil sepatu yang entah bagaimana masih melekat di kaki kiri mayat itu.
Diam-diam aku memperhatikan baik-baik si mayat. Wajahnya lumayan tampan. Kumis tebal di bawah hidungnya menambah gagah. Usianya kuperkirakan masih muda, kira-kira sekitar tiga puluhan. Pakaianya juga terbuat dari kain yang mahal. Kayaknya di masa hidupnya dia tergolong orang yang kaya. Sebuah dasi biru leret-leret merah seperti kata Pian tadi memang masih nyangkut di lehernya meskipun sudah berlepotan lumpur. Pasti dia hanyut dibawa air ketika masih bekerja di kantornya, pikirku lagi.
Ketika aku memandang matanya sekali lagi, tiba-tiba aku terperanjat. Kulihat matanya seakan-akan juga manatapku. Aku merasakan bagaimana mata itu seakan-akan memohon dengan amat memelas. Memohon untuk ikut tinggal dan tak dibuang. Aku langsung bergidik.
Aku berusaha keras untuk mempengaruhi Sus, Pian dan Maus untuk tidak menghanyutkan dan membiarkan mayat itu tinggal bersama kami. Paling tidak barang semalam saja. Namun sia-sia, bahkan mereka meledekku sebagai sok pahlawan, pahlawan pembela mayat yang kesiangan. Aku bertahan dan berargumentasi habis-habisan. Akhirnya atas usul Sus diadakan votting. Sudah dapat diduga aku kalah telak. Kami bertiga beramai-ramai mendorong mayat itu ke tengah dan bersorak sorai persis anak-anak bermain perahu-perahuan. Mayat bergerak mengalir, terapung-apung timbul tenggelam di bawa banjir yang belum juga mau surut.
Aneh bin ajaib. Belum lagi keringat kami kering dan beristirahat, mayat itu tahu-tahu nyangkut lagi di atap rumah tempat kami berlindung. Kami berempat kembali beramai-ramai mendorong mayat ke tengah air. Menyaksikan kembali air membawa mayat itu mengikuti arus sampai hilang dari pandangan mata, Tapi lagi-lagi keanehan itu berulang. Mayat itu tahu-tahu sudah nyangkut lagi di atap rumah. Begitu berulang-ulang, sampai akhirnya kami kepayahan terkapar di atas genting rumah.
Maus, Sus, dan Pian tak henti-hentinya menyumpahi si mayat. Aku hanya diam memperhatikan si mayat. Kami semua tak habis pikir. Bagaimana mungkin kami berempat, manusia yang hidup dan segar bugar dikalahkan oleh mayat. Aku merasakan mayat itu tertawa menertawakan kekalahan kami.
“Jangan-jangan mayat itu bukan koruptor, tapi Wali!” kata Sus tiba-tiba.
“Kok bisa. Ndak mungkin dong, Wali kok mati tenggelam karena banjir!” teriak Maus dengan jengkel.
“Jangan-jangan justru kebalikannya. Saat dia hidup dia tak hanya koruptor. Mungkin dia juga tukang rampok, maling, brandal, copet, gigolo! Buktinya sampai jadi mayat pun selalu merepotkan orang!” sahut Pian sambil menendang kaki mayat keras-keras saking gemasnya.
“Tapi coba pikir. Mana ada mayat korban banjir yang tetap utuh kayak dia. Sepatu dan dasinya saja masih utuh. Pasti dia Wali, minimal orang suci!” bantah Sus dengan yakinnya.
Pian dan Maus terdiam. Kata-kata Sus itu langsung mempengaruhi pikiran kami. Kami mulai ragu-ragu dan berpikir, jangan-jangan kata-kata Sus benar.
“Ah, tidak mungkin. Mayat ini ya mayat biasa. Kebetulan saja dia nyangkut di sini. Eh, jangan-jangan ini malahan rejeki buat kita. Kita beli togel aja dengan nomer mayat. Kalau nggak salah ingat, nomer mayat itu 23. Ya, aku mau beli togel nomer buntut 23, pasti kena nih!” kata Pian lagi mencoba bersemangat.
“Gendeng kamu. Kalau bener mayat ini Wali kamu bisa kualat. Bisa sengsara sepanjang hayat sampai anak turunmu!” kata Maus mengingatkan.
Aku hanya diam mendengarkan perdebatan itu. Semula aku ragu-ragu akhirnya kuberanikan menyampaikan pendapatku.
“Aku jadi teringat cerita tentang Bisma. Kalian tahu ta siapa Bisma itu?”
“Ya tahu. Bisma kakek Pandawa dan Kurawa dalam cerita wayang itu kan? Apa hubungannya dengan mayat ini?” kata Sus tak mengerti.
“Menurut cerita, Bisma diberi anugerah dewa jasadnya diperbolehkan memilih jam ajalnya sendiri sampai perang Bharata Yudha selesai…”
“Ya tapi ini kan banjir, bukan perang!” Maus langsung memotong.
“Mungkin mayat ini orang linuwih yang jasadnya diberi kesempatan untuk menjadi saksi bencana yang seumur-umur baru terjadi di kampung kita ini. Coba pikir, selama ini kampung kita dan sekitarnya kan ndak pernah kebanjiran segini dahsyatnya. Mungkin mayat ini memang bertugas menyaksikan awal dan akhir bencana ini. Atau mungkin juga mayat ini membawa isyarat-isyarat lain kelanjutan dari peristiwa bencana dahsyat ini. Jadi ndak ada salahnya kalau kita sedikit menghormatinya!” kataku dengan yakin.
“Jangan-jangan dia ini Nabi Khidir? Konon Nabi Khidir kan nggak bisa meninggal? Dia datang untuk menguji kesabaran kita seperti dia dahulu menguji kesabaran Nabi Musa..,” kata Sus sambil langsung duduk dengan takzim di sisi mayat.
*****
Akhirnya kami berempat berbagi tempat dan berusaha merawat mayat itu sebisanya. Tentu saja dengan berbagai perasan yang berkecamuk. Perasaan ngeri, takut, was-was, segan dan penasaran. Meskipun kami berempat bukan laki-laki pengecut tetap saja kami memilih berada agak jauh dari tempat mayat itu dibaringkan di atap rumah. Tetapi kali ini kami benar-benar tidak lagi berani kurang ajar malahan justru bersikap hormat dan takzim pada mayat misterius itu.
Begitulah, malam ini kami sekarang berlima dengan mayat mengarungi kegelapan tanpa listrik dan cahaya bulan. Hujan tak henti-hentinya mengguyur kami selepas senja. Listrik jelas tak dapat diharapkan karena pasti PLN sengaja mematikannya untuk mencegah konseleting dan bahaya setrum listik yang rawan terjadi saat banjir seperti ini.
Malam menjadi berlipat-lipat panjangnya. Kami nyaris tak bicara sepanjang malam. Hanya suara hujan dan kemrosak arus banjir yang membuat hati kami menjadi sekecil biji sawi. Kami berempat tidur berhimpitan bersama sesosok mayat di atas atap. Kini tak jelas lagi bedanya, siapa yang mayat dan siapa yang masih hidup. Semua sama. Sama-sama tak berdaya.
Subuh datang. Tiba-tiba kami mendengar suara deru perahu boat. Maus yang mendengarnya pertama kali. Kami langsung berteriak-teriak memanggil sambil mengibar-ngibarkan baju. Kami melihat laki-laki bertopi merah melambai-lambaikan tangan. Perahu boat itu merapat. Kami langsung berebutan naik.
“Silahkan naik. Ongkosnya cukup dua juta!” laki-laki bertopi merah itu berkata tanpa senyum.
Kami ternganga. Pian langsung mengumpat dan berteriak.protes, “Apa-apan nih! Kita ini sedang kena musibah, lagi kesusahan. Jangan main peras dong!”
Laki-laki itu memandang kami, “Semua menderita. Kalau nggak mau nggak apa-apa. Saya nggak maksa. Silahkan nunggu SAR. Yang sabar ya, masih banyak yang antre kok!” katanya sambil menekan pedal gas.
Kami langsung berteriak mencegah. Laki-laki itu menyeringai. Kami berebutan naik. Aku teringat pada si mayat. Dibantu Sus dan Maus kuangkat mayat ke dalam perahu.
Laki-laki itu memandangku, “Mayat itu ikut dibawa?”
Aku hanya mengangguk dan meletakkan mayat di lantai perahu boat.
“Tambah dua juta lagi untuk dia!” sambil dagunya menunjuk ke arah mayat.
“Tega amat, ini kan cuma mayat?” kataku mencoba memprotes.
“Meski mayat ia juga harus bayar. Kalu tidak mending tempatnya untuk yang lain saja!”
“Kan kasihan dia. Masak ditinggal begitu saja?”
“Bayar, mayat itu kuangkut. Kalau tidak, tinggalkan. Silahkan pilih. Kemarin saja orang kaya di kampung sebelah bayar dua juta untuk menyelamatkan dua anjingnya yang sudah tiga hari terjebak di loteng rumah!”
“Satu juta ya?”
“Sudah satu setengah saja. Hitung-hitung bonus, anggap saja beramal untuk yang mati!” katanya sambil menyeringai.
“Kemahalan tuh. Kita kan lagi kesusahan. Lagi pula ini kan cuma mayat. Diangkut atau tidak dia juga sudah mati!”
“Okelah., satu seperempat. Itu sudah harga promosi. Kan sebentar lagi Anda-anda akan segera dapat bantuan pemerintah. Kalau mau kubawa. Kalau tidak silahkan ditinggal…!”
******
Matahari semakin pecah. Cahayanya menyebar dan menyambar-nyambar permukaan air. Sinarnya memantul-mantul menyilaukan, menerjang mata kami yang merah kelelahan. Banjir masih saja menderas mengalir, arusnya sampai ke dada. Sampai ke dada ….
BIODATA
Tjahjono Widijanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya antara lain: Dari Kosmos ke Chaos: Kumpulan Telaah dan Esai Sastra (2020): Dari Jagat Wayang Hingga Perahu Lalotang: Segugus Esai Budaya (2020); Ajisaka dan Kisah-kisah Tentang Tahta (Antologi Puisi 2020), Eksotika Sastra: Kumpulan Esai Telaah Sastra (2017); Metafora Waktu: Kumpula Esai Budaya (2017) Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011),), dan lain-lain.