BANYAK SEKALI keajaiban di dunia tapi tak ada sesuatu yang lebih ajaib selain manusia itu sendiri ! ….. kata Sophocles filsof abad V SM. Pernyataan ini kemudian disambung dengan sebuah pertanyaan : “Ti antropus estier ?” apakah manusia itu ? Berabad-abad kemudian, Erns Cassirer malah mengingatkan tentang adanya kemungkinan krisis konsep-konsep tentang manusia di zaman modern. Suatu zaman saat manusia begitu banyak menemukan hal-hal yang baru tetapi juga sekaligus kehilangan pemahaman tentang dirinya.
Selama manusia itu ada, selama itu pula manusia mempermasalahkan dirinya sendiri. Ia adalah makhluk paling iseng dan usil terhadap realitas di luar dirinya maupun terhadap dirinya sendiri sebagai suatu eksistensi, dan akhirnya mulai berani melihat dunia dan dirinya dengan meletakkan dirinya sendiri sebagai titik tolak, manusia berangsur-angsur menjadi pusat orientasinya sendiri dalam mengatasi dunianya.
Manusia, kita, terus menerus terlibat dalam perancangan masa depan karena mempunyai kemampuan mengandaikan segala realitas dan menangkap realitas sebagai kemungkinan-kemungkinan. Di hadapan kita terbentang layar proyeksi yang tak pernah tamat-tamat, layar proyeksi yang selalu menajdi obsesi masa depan kita. Pada layar itu manusia selalu membongkar citra lama dan memproyeksikan citra baru, citra yang kemudian jadi makin akrab sekaligus makin abstrak : kemajuan !
Goethe benar ketika berkata “milikmu adalah roti yang tak pernah mengenyangkan !” dan jika “roti” itu tidak pernah mengenyangkan manusia maka roti itu tidak lagi sebuah kebutuhan tetapi sebuah ilusi dan obsesi semu yang merupakan sebuah repetisi tanpa akhir akan nafsu manusia, muncullah citra baru manusia sebagai sosok yang lekat pada unsur material dan fisikal. Mulailah dalam diri manusia semangat pembangunanisme yang karena terlalu berlebihan membawa kita dalam perubahan ekonomi dan sosial yang penuh persaingan keras dan kejam, perlahan-lahan jadilah manusia serigala yang memangsa serigala yang lain.
Pada diri kita mulailah timbul skenario-skenario, pola-pola tipikal kekuasaan, kepatuhan dan keyakinan-keyakinan yang digerakkan oleh “keharusan-keharusan” dari kekayaan. Akibatnya terjadi apa yang diramalkan Adam Smith : “bilamana terdapat harta dalam jumlah besar, terdapat pula sejumlah besar ketimpangan dan ketidak merataan. Untuk seseorang yang sangat kaya paling tidak ada lima ratus yang sangat miskin, semakin banyak kemewahan semakin bisa dibayangkan kemelaratan yang lebih banyak lagi. Zaman seperti ini memaksa orang untuk merekontruksi diri untuk saling bercuriga terhadap sesamanya dan terjadilah krisis sosial dan di bawah semua itu sumber koherensi kehidupan manusia yaitu moralitas semakin dinaifkan serta tergusurnya spiritualitas dari wilayah perbincangan sosial.
Dan tentu saja tak boleh dan tak perlu menyalahkan para filsuf rasionalis yang konon pembuka gerbang modernisasi manusia. Sekarang justru giliran kita yang bertugas mengembalikan fitrah manusiawi kita makhluk Tuhan tertinggi bernama manusia bukan serigala. Untuk itu diperlukan keberanian mencaci diri sendiri seperti Horace filsuf Romawi yang hidup di abad 65 – SM yang berteriak tentang : “Sapare Aude !” pakailah otakmu, beranilah berpikir sendiri!
Penulis adalah penyair, alumnus Program Doktor Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia UNS. Tinggal di Ngawi Jawa Timur.