JAGA DESA ADAT: (Kiri) Mantan Gubernur Bali 2008-2018, Dr. I Made Mangku Pastika, M.M. (Kanan) Pj. Gubernur Bali, Irjen Pol (Purn) Sang Made Mahendra Jaya, M.H., terkait gagasan Advokat Masuk Desa untuk Bali. (Ilustrasi: Gung Kris)
DENPASAR, Balipolitika.com- Mantan Gubernur Bali 2008-2018, Komjen Pol (Purn) Dr. I Made Mangku Pastika, M.M., menyambut baik soal gagasan program “1 Desa 1 Advokat” yang dicetuskan oleh, Penjabat (Pj) Gubernur Bali, Irjen Pol (Purn) Sang Made Mahendra Jaya, M.H., nantinya berfungsi sebagai pos bantuan hukum di tiap-tiap Desa Adat di Bali, dikutip Rabu, 18 Desember 2024.
Hal tersebut diungkapkan Mangku Pastika saat ditemui di acara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Officium Nobile 2024, ia mengapresiasi gagasan yang diutarakan Pj Mahendra, ia merasa Bali perlu adanya peran dari Advokat untuk memberikan pendampingan kepada masyarakat serta menuntaskan segala persoalan hukum yang terjadi di tiap desa adat.
“Ya itu (gagasan Pj Mahendra, red) bagus, saya rasa ide itu memang diperlukan. Bagaimana setiap desa adat di Bali ada satu advokat, fungsinya selain untuk mengawal, juga sebagai pusat literasi hukum masyarakat adat. Agar mereka (masyarakat adat, red) ini bisa lebih diberikan pencerahan soal hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia,” ungkap Mangku Pastika, Kamis, 12 Desember 2024.
Selanjutnya, ia menilai bahwa ide Pj Mahendra menginisiasi program “1 Desa 1 Advokat” sangat rasional, mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat adat di Bali terkait permasalahan hukum, sehingga gagasan tersebut diharapkan mampu memberikan akses keadilan kepada masyarakat desa melalui peran dari advokat.
“Pentingnya ya semoga terealisasi. Jika itu terwujud, tentu manfaatnya akan dirasakan seluruh masyarakat, adanya akses keadilan melalui peran advokat di desa,” imbuhnya.
Satu Desa Satu Advokat
Sementara itu terkait gagasannya, Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya menjelaskan, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indeks Pembangunan Hukum Indonesia tahun 2022 berada pada skor 0,66 (kategori baik), tetapi indikator pemahaman masyarakat terhadap hukum hanya mencapai skor 0,49, tergolong cukup rendah, hal itu melatarbelakangi awal mula munculnya ide tersebut yang sempat juga diutarakannya kepada rekan-rekan advokat di AAI Officium Nobile, menginginkan agar advokat juga memiliki peran terhadap desa adat.
“Fakta di lapangan menunjukkan banyak masyarakat yang terjebak dalam masalah hukum karena ketidaktahuan. Bahkan, ada yang tidak menyadari bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan hukum, hingga harus menjalani proses hukum,” ujar Mahendra Jaya.
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan situasi di desa-desa, terutama dengan besarnya anggaran yang dikelola, termasuk Dana Desa dan pendapatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Menurutnya, potensi penyalahgunaan anggaran di desa cukup tinggi jika masyarakat, khususnya para pengelola, tidak memahami aturan hukum yang berlaku.
“Di Bali, ada desa adat yang pendapatan tahunannya mencapai lebih dari Rp 40 miliar. Salah mengambil keputusan karena ketidaktahuan hukum bisa berujung pada masalah serius. Oleh karena itu, kehadiran advokat di desa sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan, pencerahan, dan konsultasi hukum,” tegasnya.
Dengan adanya gagasan “Satu Desa Satu Advokat”, sebagai Pj Gubernur Bali ia ingin meningkatkan literasi hukum masyarakat. Menurutnya, Bali terdapat 716 desa dinas dan 1.500 desa adat. Dengan jumlah advokat di Bali yang mencapai lebih dari 1.000 orang, konsep ini dinilai memungkinkan untuk diwujudkan.
“Bayangkan jika setiap desa adat memiliki satu advokat yang dapat memberikan edukasi hukum dan mendampingi masyarakat. Ini akan menjadi langkah besar dalam menciptakan masyarakat yang sadar hukum,” katanya.
Lebih lanjut, ia berharap advokat dapat berperan sebagai salah satu pilar penegakan hukum yang setara dengan aparat penegak hukum lainnya.
Sehingga, masyarakat tidak hanya memahami hak dan kewajiban mereka, tetapi juga terhindar dari menjadi korban atau pelaku kejahatan akibat ketidaktahuan hukum. (bp/gk)