HAN menghilang lagi. Ia seperti bayangan yang menyelinap di antara hujan dan malam, meninggalkan Agista dalam labirin pertanyaan tanpa jawaban. Kali ini, bukan hanya pergi— ada perempuan lain di foto itu, berdua di bawah sunset yang dijanjikan untuk mereka.
“Kenapa, Han?” bisiknya pada layar ponsel, seolah-olah Han bisa mendengar. Napasnya pendek, dada sesak. Jari-jarinya gemetar, tapi bukan karena dingin. Sebuah pesan terkirim, tanpa harapan akan balasan: Kau di mana? Dia siapa?
**
Hari ini ia bersiap menuju gedung lantai dua. Sebelum sampai ke atas, hatinya tergerak untuk berdiri sejenak di ujung beranda gedung jurusannya. Ada jarak terbentang luas antara gedung jurusannya dengan gedung fakultas komunikasi tempat Han menuntut ilmu. Sejauh mata memandang, tampak rimbunan bunga dan pohon perdu bergoyang lembut diterpa angin. Tiba-tiba hujan turun, jatuh tak beraturan. Sesekali gerimis, tak lama bagai jarum-jarum deras mengguyur bumi. Agista memandangi hujan yang turun dari langit abu. Ia membiarkan percik air hujan menetes di ujung kerudung cokelatnya.
Ada yang basah di matanya, tapi bukan hujan. Mungkin luka, mungkin cinta yang tak tahu diri. Cinta yang telah dingin dan dipenuhi sangsi.
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada.
Hujan, kau tahu? selorohnya lirih, seolah-olah hujan bisa mendengarkan. “Aku sudah lelah.” Ia meresapi puisi Goenawan Mohamad, penyair favoritnya, kemudian dengan langkah gegas meninggalkan beranda itu.
**
Setahun sebelumnya, Ia mengenal Han (kakak tingkat lain fakultas) di kafe terkenal Ngopiyu, kafe di Jalan Saluyu yang sering menyelenggarakan perform art. Agista bersama dua sahabatnya cukup sering ke sana. Sementara ia bercakap-cakap di sudut meja, sekonyong-konyong matanya menangkap sosok Han dengan anggota band-nya yang lumayan beken. Agista tampil bersahaja dan apik dengan kerudung berwarna jambon melilit di lehernya. Ia pantaskan dengan aksesoris kebiasaannya, menggantungkan syal syifon etnik di bahunya, menambah aksen di keremangan senja. Perempuan berwajah oval itu menikmati secangkir mochacino. Uapnya menguar wangi ketika seseorang tiba-tiba menuju mejanya dan bertanya.
“Ayo, Kak. Bacain puisi di depan, biar aku yang mengiringi musiknya.” Pintanya halus. Si gondrong nan manis ini entah mendapat informasi dari siapa, setahunya, kesukaannya membaca puisi tak pernah ia umbar. Sayang sekali, mata itu terlalu kuat daya pesonanya. Sayang sekali ia terperdaya magnetnya. Akhirnya, demi mata itu, Agista tak mampu menolak permintaan untuk naik ke panggung membacakan satu judul puisi. Singkat kata, dua lain jenis itu saling puja. Terbius riak asmara. Semesta tanpa ragu merestui kisah kasih di antara mereka.
**
Masa lalu. Biarlah berlalu.. dendang lirik lagu tersebut kini sedang akrab ditelinganya. Agista duduk memeluk kedua lututnya di kasur. Udara dingin menusuk kulit, tapi lebih tajam luka di hatinya. Kegetiran begitu kental, manakala ia menatap jauh langit kamar. Lelaki itu, Han. Ia datang sebagai harapan, mengakhiri semua dengan kekecewaan. Di ambang tidur, seakan ia mendengar kembali seribu suara kekasih dalam lamunannya.
“Gi, nanti kalau aku sukses, kita ke Bali, ya? Kita lihat sunset bareng di pantai. Kau harus dengar gamelan itu langsung, ada harmoni yang menenangkan.”
Ya. Di suatu senja, saat sisa-sisa cahaya melukis siluet di punggung bukit seberang kampus, Han pernah bercerita tentang Pulau Dewata. Sejak usia tiga tahun hingga selesai sekolah menengah pertama, ia tinggal di sana. Han dititipkan oleh ayahnya kepada omnya.
Han dengan mata berkilau dan suara lembut, mengisahkan tentang asal mula berdirinya kerajaan di Bali serta kehidupan masyarakatnya yang terkenal terbuka serta menghormati adat budaya. Agista mendengarkan penuturan yang keluar dari bibir lelaki itu dengan mata terpesona.
“Gi, kau harus melihat bagaimana pagi dimulai di Bali.” Han memulai lagi. Pandangannya vertikal menerawang, seolah-olah ia sedang di sana. “Di setiap sudut desa, ada sesajen kecil—canang sari—diletakkan dengan penuh khidmat di depan rumah, toko, atau pura. Anyaman janur dengan bunga-bunga segar, berisi doa-doa yang tak pernah kau dengar, tapi kau bisa merasakan getarnya.”
Agista menatap Han, matanya penuh tanya. “Kenapa janur, Han?”
Han tersenyum, menjelaskan dengan suara yang mendalam. “Janur itu simbol kesucian, Gi. Dalam tiap helainya, ada makna pengorbanan dan doa. Kau tahu, setiap upacara di Bali itu seperti napas kehidupan. Ada odalan di pura-pura kecil, atau ngaben yang megah dan penuh makna. Semua itu bukan sekadar ritual, tapi cara mereka berdialog dengan semesta.”
Han melanjutkan, suaranya memudar di antara kenangan. “Saat kau melihat barisan janur di sepanjang jalan, kau akan merasa seperti berjalan di antara doa-doa. Setiap langkahmu diterima oleh bumi, diberkati oleh langit. Kita harus menghargai keyakinan mereka. Dan gamelan itu, Gi. Gamelan yang mengiringi upacara, suara yang menggema seperti tarian waktu. Seolah-olah setiap nada mengajarkan kita tentang ketabahan dan keindahan.”
Agista memejamkan mata, membayangkan dirinya berdiri di pinggir pantai. Angin lembut membelai wajahnya, harum dupa bercampur bunga kamboja menguar di udara. Ia membayangkan betapa indahnya dunia yang diceritakan oleh Han. Sebuah pulau di mana waktu berjalan pelan, suara gamelan dan melihat iringan langkah para pemuja ke pura, seperti narasi yang pernah ia baca di buku sejarah ketika SD.
“Han,” gumam Agista, “aku ingin ke sana. Aku ingin melihat janur-janur itu. Ingin mendengar doa-doa yang kau ceritakan.”
Han menatapnya, matanya lembut. “Kita akan ke sana, Gi. Suatu hari nanti.”
Akan tetapi “suatu hari” itu, Agista tahu, hanya tinggal cerita di antara hujan dan kenangan.
**
Hari itu, tiga puluh Desember, di tempat yang sama, di kampus Agista. Han menjemput Agista. Di mata Agista, setiap gerakan Han amat memacu jantungnya. Han adalah tubuh kekar dan jangkung, dibalut jaket hitam dan jeans biru. Jika ia menunduk, hidungnya benar-benar bangir. Asmara yang baru dijalin setahun itu, terlalu hangat untuk tidak diresapi keindahannya.
Han turun memarkirkan motornya di tempat parkir kampus. Mata Agista memperhatikan kedatangan Han, ia pun tersenyum menyambut lelaki terkasihnya.
Beberapa mahasiswi yang baru saja bubar, melirik penuh arti kepada Han. Mereka saling berbisik, mengabaikan keberadaan Agista. Pasti semua tergila-gila karena Han. Han sebagai anak band, pintar dan supel, memang pantas dipuja. Han berlagak cuek.
Han duduk di hamparan rumput kering, angin senja yang ramah mengacak rambutnya, Agista duduk di sampingnya dengan buku puisi di tangan.
**
Han baru lulus dari fakultasnya tiga bulan yang lalu dengan predikat cumlaude, sayang sekali ia tak pernah dapat menyunggingkan senyum kegembiraan itu kepada kedua orangtuanya. Han telah yatim piatu. Saat ia duduk di bangku SMP, secara beruntun ayah dan ibunya dipanggil Tuhan karena suatu penyakit akut. Han sering mengalihkan jawaban bila Agista mempertanyakan penyebab sakit kedua orangtuanya. Han yang malang.
Rasa keibuan dalam kedirian Agista sebagai perempuan dewasa pun muncul untuk Han. Seolah ia ingin agar Han menyadari bahwa hanya dialah yang sanggup memberikan kasih sayang yang pernah hilang dalam kehidupan Han.
Tiba-tiba, bagai mendapat serangan jantung, Agista merasakan ada yang menusuk dadanya dengan kejam. Semula obrolan dipenuhi canda, lama-lama Han mengungkapkan berita yang membobolkan tanggul pertahanan air mata Agista. Han! Haan! Agista menghambur ke pelukan lelaki berahang kokoh itu. Tak kusangka semua kisah kita bagai mimpi. Han mengusap air mata Agista. Han pun tak mampu menyembunyikan beban di benaknya.
“Han! tapi.. mengapa kau harus ke Bali? Jauh sekali, Han.” Han mengatakan bahwa uang warisan dari orangtuanya perlahan menipis. Han belum bekerja, ia menggunakan hak warisannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari, biaya kuliah, membeli gitar mahal untuk modal nge-band. Ia dicekam cemas. Oleh sebab itu, omnya yang telah bertahun-tahun bermukim di Bali, mengajak keponakannya itu untuk tinggal bersama keluarganya. Om Danar merasa iba. Selain itu, alasan yang terkuat dari Om, ia ingin menuntaskan dirinya menjadi pengganti orangtua Han. Kedua adik kandung perempuan Han, masing-masing telah berumah tangga sejak lulus sekolah menengah atas. Di mata Han, mereka memiliki suami yang dapat menanggung kehidupan secara layak.
“Maafkan aku, Gi. Hari ini terakhir kita bertemu. Pekan ini aku diminta mengemas barang-barangku sesegera mungkin oleh Om.”
Lalu, ia pergi ke Bali. Katanya untuk mencari jati diri. Tapi apa jati diri harus ditemukan dengan meninggalkan yang lain? Meninggalkan Agista?
**
Juli ini genap delapan bulan mereka menjalani hubungan jarak jauh (Long distance relationship). Hari demi hari beranjak, bergalon-galon kecamuk mendera di rasa. Rindu dan harapan menggelegak. Beruntung kepiluan ini sedikit tak ada hambatan, sebab jarak telah tergantikan oleh kemudahan berkomunikasi melalui video call. Ya, meskipun layanan tersebut jarang mereka lakukan, oleh karena kesibukan.
Pulang kuliah, Agista rindu ingin membaca story WA Han. Biasanya Han membagikan foto atau video kegiatannya. Agista cukup terhibur bila telah membaca kalimat bernada rindu yang ditik oleh Han. Senyum Agista mengembang. ‘Kata rindu’ apalagi yang akan ditulis Han. ‘Kata rindu’ yang tentu saja untuknya.
Tangan Agista bergetar menggenggam ponselnya. Ia mengatupkan mulut dengan sebelah tangannya. Sebuah foto muncul di WA Story Han. Seorang perempuan berambut panjang bersandar di bahunya. Latar belakangnya adalah pantai, sunset sempurna. Keindahan yang dulu dijanjikan untuk mereka berdua, kini jadi milik perempuan lain.
Agista merasakan sesuatu jatuh di dalam dirinya. Hancur.
“Han.. siapa dia?” jemarinya mengetik pesan, gemetar.
Tak ada balasan. Yang muncul justru pesan dari nomor tak dikenal.
“Kau siapa? Jangan ganggu Han lagi. Dia milikku!” Perempuan di ujung sana membentak Agista dengan nada galak. Tak lama terdengar bunyi grasak-grusuk tak karuan, ditimpali suara perempuan itu mengaduh dan menjerit. “Kemarikan ponselku!” Hanya itu suara terakhir yang terdengar.
**
Lima hari kemudian Han menghubungi Agista. Pertengkaran di WhatsApp tak terelakkan.
Agista mengatur nafas, mencoba menekan kecamuk amarah di dadanya. Akan tetapi, tak urung jua, kata-kata tajam berhamburan dari bibir Agista. Han sesekali menyangkal dengan berbagai alasan, selebihnya diam. Ya, Seperti biasa, Han selalu memilih diam saat dibutuhkan penjelasan.
Untuk kali pertama, Agista memblokir nomer ponsel Han.
**
Sebulan sebelum minggu terakhir di bulan Desember. Agista terpekur. Keputusannya bulat. Ia menelepon Han.
“Han….” suaranya bergetar. “Aku pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Pergi dari hidupmu.”
**
Sunyi. Hanya suara hujan yang berbicara.
“Gi…maafkan kesalahanku. Aku.. mencintaimu.”
Agista tersenyum pahit.
“Tapi cintamu tak pernah cukup untuk satu perempuan.”
Agista menatap layar ponsel, suaranya bergetar meski berusaha tenang. Han pasti kecewa. Setelah friksi tempo lalu, ia menghilang. Agista merasa hatinya sedang digantung. Akhirnya, pada satu kesempatan, ia yang berinisiatif menghubungi Han untuk meminta maaf.
“Han.. kamu di mana? Mengapa tak bisa aku hubungi tadi malam?”
Dari ujung sana, hanya ada tawa yang terdengar tumpul, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya.
“Astaga! Agista! Kau sudah tahu, kan? Aku…Sebentar lagi dia datang. Tahu kan bagaimana tempat di sini? kadang aku… terlupa.”
Agista terdiam sejenak, mencerna kalimat Han. Matanya mengarah ke ponselnya. Ia tergagap.
“Terlupa? Atau sengaja?”
Suara Han terdengar semakin berat, seperti menarik napas dalam dan mencoba berbicara lebih jelas.
“Aku, aku cuma ingin melupakan segalanya. Aku pening. Apa yang terjadi, aku tak tahu, Agista. Aku mabuk!”
Kata-kata itu menggantung di udara, menguar seperti asap yang tak bisa ditangkap. Agista menutup matanya. Ia merasa sedang berada di panasnya udara laut. Menapaki hamparan pasir, menjejaki serpihan kulit kerang yang menusuk kulit.
“Jadi, itu alasannya? Karena kamu ingin melupakanku?”
Suara Han pecah, semakin jauh, seolah terbungkus kabut.” Kau bisa mengerti, kan? Di sini, semuanya berbeda.”
Agista menarik napas dalam.
“Di sini, aku justru menemukan diriku kembali. Di sini, aku.. .”
Ponsel dimatikan. Hujan di akhir Desember itu mengguyur tanah Parahyangan amat lebat, seolah ikut menangisi akhir kisah mereka.
Agista memeluk dirinya sendiri, menghirup nafas lega. Ke langit, ia membisikkan entah sepatah rahasia apa pada hujan.
BIODATA
Pelita Hari merupakan nama pena dari Dian Rachma. Ia berdomisili di Bandung. Sejak 2013 melibatkan diri menulis antologi, baik puisi atau cerpen bersama beberapa komunitas literasi.
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Karya-karyanya banyak menjadi ilustrasi puisi di media online Bali Politika. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri.