SETELAH menyelesaikan fase SMA dengan selamat, saya dihadapkan pada teka-teki klasik yang menyerang setiap lulusan muda: ke mana kaki ini harus melangkah? Universitas ternama? Kampus dengan akreditasi internasional? Atau langsung bergabung dengan barisan pengangguran terdidik? Di tengah kebimbangan, sebuah iklan di media sosial menampilkan solusi yang tak terduga: STMCK – Sekolah Tinggi Manajemen Calon Koruptor.
Dengan slogan “Mencetak Koruptor Andal, Berintegritas pada Keluarga”, kampus ini menawarkan berbagai program studi yang terdengar meyakinkan. Ada Jurusan Korupsi Kantor, yang katanya unggul dalam melahirkan birokrat dengan kemampuan administrasi akrobatik—menyulap anggaran publik menjadi aset pribadi. Jurusan Departemen dan Aneka Tambang dikhususkan bagi mereka yang bercita-cita mengelola sumber daya alam dengan sentuhan khas: merampok dengan elegan. Sementara itu, program unggulan Teknik Menghilang menjanjikan keahlian kelas wahid dalam kabur ke luar negeri, sembari meninggalkan rakyat tanpa perasaan was-was.
Tawaran ini begitu menggoda. Pasalnya, dalam sejarah republik ini, korupsi bukan sekadar tindak kejahatan; ia adalah seni. Sejak era kolonial, pengelolaan uang negara seringkali lebih mirip seni abstrak daripada perencanaan ekonomi. Sebagaimana dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Di negeri ini, orang yang jujur justru harus siap menderita.” Mengapa harus bersusah payah mengejar impian dengan cara ortodoks, jika ada jalur instan untuk sukses—dan tetap berpenampilan santun?
Banyak yang menilai korupsi sebagai wabah, padahal dalam praktiknya, ia adalah manifestasi peradaban yang canggih. Friedrich Nietzsche pernah menyindir bahwa dalam dunia moralitas, yang bertahan bukanlah yang paling baik, melainkan yang paling adaptif. Maka, jika kita melihat realitas sosial, siapakah yang paling sukses? Mereka yang bekerja keras dan berharap pada meritokrasi? Atau mereka yang piawai mengatur sistem agar berpihak kepada mereka?
Korupsi di negeri ini bukan sekadar tindakan individual, tetapi sudah berkembang menjadi sistem—sebuah struktur epistemik yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kita tidak hanya mencuri, kita menciptakan mekanisme agar pencurian tampak sebagai prosedur legal. Jika di negara-negara maju para ekonom bersaing menciptakan model ekonomi yang adil dan progresif, di negeri ini kita telah menciptakan “model ekonomi bocor”, yang memungkinkan kekayaan nasional mengalir ke rekening-rekening pribadi tanpa melanggar aturan formal.
Dalam sejarah dunia, hanya sedikit peradaban yang mampu mempertahankan praktik korupsi dalam jangka panjang dan tetap mendapat dukungan publik. Di Republik Karang Kadempel, itu terjadi dengan luar biasa. Masyarakat, meski geram terhadap koruptor, tetap memberikan suara kepada mereka di pemilu berikutnya. Ini adalah bentuk Stockholm Syndrome politik: kita membenci perampok, tetapi tetap mengandalkan mereka sebagai pemimpin.
STMCK: Kampus dengan Reputasi Tak Terbantahkan. Setiap institusi pendidikan besar selalu memiliki alumni yang membanggakan. Harvard melahirkan para pemimpin dunia, Oxford mencetak filsuf dan ilmuwan, sementara STMCK? Ah, jangan ragukan prestasi alumninya! Nama-nama besar dalam daftar kasus korupsi yang menghiasi layar televisi nasional sebagian besar adalah lulusan dari institusi ini.
Di kampus ini, para mahasiswa tidak hanya belajar bagaimana memanipulasi kebijakan, tetapi juga memahami seni komunikasi publik. Lulusan STMCK tidak sekadar ahli dalam menyembunyikan dana, tetapi juga mahir menangis di depan kamera dan menyampaikan permohonan maaf dengan ekspresi yang menyayat hati. Mereka mampu mengubah ruang persidangan menjadi panggung teater tragis, dengan air mata buaya sebagai properti utama.
Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang hiperrealitas, menyatakan bahwa dunia modern penuh dengan simulasi, dimana batas antara kenyataan dan ilusi menjadi kabur. Korupsi di negeri ini bukan lagi sekadar kejahatan; ia telah menjadi realitas hiper. Kita tidak tahu lagi mana yang asli dan mana yang skenario. Seorang pejabat yang tertangkap bisa jadi hanya “pemain figuran”, sementara dalang utamanya tetap bersembunyi di balik jubah hukum.
Di STMCK, semua teknik ini diajarkan secara sistematis. Dari strategi menghindari KPK, hingga cara mendapatkan empati publik saat tertangkap. Ada pula pelatihan khusus bagi mereka yang ingin menjadi “tersangka abadi”—sebuah status di mana seseorang selalu disebut dalam berbagai kasus korupsi, tetapi tak pernah benar-benar dijebloskan ke penjara.
Setelah menimbang-nimbang, saya mulai bertanya-tanya: Apakah sebaiknya saya mendaftar di STMCK? Di tengah realitas yang absurd ini, menjadi jujur seolah-olah adalah tindakan bunuh diri sosial. Di negeri yang gemar merayakan korupsi dengan acara “pemotongan pita” dan “kunjungan kerja”, apakah idealisme masih relevan?
Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menggambarkan absurditas kehidupan manusia yang terus-menerus mendorong batu ke puncak hanya untuk melihatnya jatuh lagi. Begitu pula nasib pejuang antikorupsi di negeri ini: mereka berjuang, mengungkap skandal, mengadvokasi keadilan—tetapi sistem selalu berhasil membuat batu itu menggelinding kembali ke bawah.
Namun, di titik inilah absurditas bisa menjadi perlawanan. Jika korupsi telah menjadi norma, mungkin pilihan paling radikal adalah tetap memilih kejujuran. Dalam dunia yang beradaptasi dengan kebusukan, tetap berpegang pada prinsip adalah tindakan subversif. Dan mungkin, jika cukup banyak orang yang menolak mendaftar di STMCK, kampus ini akan kehilangan calon mahasiswanya, lalu perlahan-lahan tenggelam bersama mimpi-mimpi para calon koruptor andal.
Jika korupsi telah menjadi tradisi, lalu bagaimana cara menghentikannya? Apakah negara perlu menciptakan universitas tandingan—Sekolah Tinggi Anti-Korupsi (STAK), di mana para mahasiswa diajarkan untuk hidup jujur, sederhana, dan tahan terhadap godaan amplop-amplop? Tetapi, mungkinkah ada peminat? Dalam ekosistem yang telah terbentuk rapi, seorang individu jujur lebih sering dipandang sebagai gangguan ketimbang panutan.
Dostoyevsky dalam The Brothers Karamazov menulis, “Jika Tuhan tidak ada, maka segalanya diperbolehkan.” Di negeri ini, bukan Tuhan yang tak ada, tetapi hukum yang lentur. Maka, bagi banyak orang, segalanya memang terasa diperbolehkan—selama tahu kepada siapa harus berbagi “jatah”. Jika korupsi adalah seni, mungkin kita sedang hidup dalam era keemasan para seniman.
Namun, tetap ada pertanyaan yang mengganggu: sampai kapan kita akan berputar dalam lingkaran ini? Apakah kita ingin terus mewarisi budaya yang menjadikan kejahatan sebagai profesi, lalu menyalahkan takdir ketika negara berjalan di tempat? Apakah kita ingin anak-anak kita menganggap bahwa kesuksesan sejati tidak terletak pada kerja keras, melainkan pada kelicikan yang terstruktur?
Di akhir perenungan ini, saya kembali pada dilema awal: haruskah saya mendaftar kuliah di STMCK? Dengan segala kelebihannya, kampus ini menawarkan jalan mulus menuju kesuksesan. Tapi tunggu dulu. Bagaimana jika saya benar-benar kuliah di sana, lalu saat lulus, ternyata korupsi sudah diberantas habis? Apa gunanya ijazah saya nanti? Jadi pengangguran? Waduh celakalah saya!
*Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis dan pendidik yang punya hobi menulis puisi, esai, dan prosa di berbagai media cetak dan digital. karyanya banyak dimuat di berbagai media lokal dan nasional.