BENTENGI DESA ADAT BALI: Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Bali, Prof. Dr. I Made Suwirta, S.H., M.H.
DESA ADAT di Bali semakin hari secara pasti akan menghadapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks dalam wacana penguatan.
Desa adat di satu sisi diwajibkan untuk tetap menunjukkan identitas budaya (Bali) karena tradisinya yang tidak selalu kuno, tapi karena kebenarannya yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan dengan sifat yang dinamis serta sufel.
Namun, di sisi lain, desa adat selalu ingin dikooptasi oleh kekuasaan atau kekuatan lain terutama dari partai politik besar yang ingin memperoleh kekuasaan melalui dukungan krama desa secara melembaga dengan dalih “pesikian”padahal hanya bersifat pragmatisme belaka melalui berbagai permainan kata untuk menjustifikasi setiap pernyataan seolah-olah benar demi kekuasaan dalam lima tahunan (pemilu).
Yang paling tragis desa adat dapat tersandera karena bansos, padahal bansos adalah kewajiban pemerintah dan hak dari masyarakat, lebih-lebih desa adat di Bali yang sejak awal dan dulu sudah melaksanakan kewajiban (swardharmanya) dalam melestarikan kebudayaan Bali tanpa anggaran negara, tetapi dilakukan karena sifat otonom dan otohtonnya berdasar system “ayahan”.
Fenomena inilah sebagai salah satu bukti bahwa, kekuasaan selalu mencoba memainkan kata “bansos” yang diikat dengan pesan politik karena kepentingan akan dukungan, sementara seluruh dana bantuan ke desa adat seharusnya bersifat “tidak mengikat”.
Fenomena ini yang sering disebut dengan politisasi desa adat sehingga dalam kondisi ini sebenarnya desa adat dibuat tidak berdaya.
Ketika fenomena ini dibiarkan, maka desa adat tidak akan pernah menjadi kuat apalagi mandiri.
Akan sangat tepat apabila pihak-pihak yang membuat desa adat menjadi tidak berdaya melalui kekuasaan dengan berbagai alat seperti bansos sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan atau dukungan politik dapat disebut “tulah” dan “berdosa” karena telah melanggar pondasi bangunan desa adat yang telah diletakkan oleh para pendahulu, leluhur langit, dan para rsi yang khusus datang ke Bali meletakan dasar peradaban Hindu dengan filosofinya, seperti falsafah Tri Hita Karana yang sampai saat ini terus terdegradasi oleh perilaku sekuler dan tidak berwawasan lingkungan, sementara negara boleh dinyatakan tidak berbuat maksimal dan koheren untuk mencegahnya karena ketakutan tidak memperoleh pengikut atau dukungan dalam pemilihan berikutnya.
Secara konseptual, desa adat di Bali merupakan salah satu representasi dari persekutuan hukum adat yang dulu disebut dengan adatrechtsgemeencahppen, yaitu sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikata Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa); mempunyai wilayah sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa adat sebagai persekutuan hukum dengan hukum adat yang disebut awig-awig merupakan dua variabel yang berbeda dan tidak bisa dipisahkan.
Awig-awig sebagai hukum adat masih dihormati, ditaati, dan dikembangkan sampai saat ini disebabkan desa adat sebagai persekutuan hukum masih hidup dan dipertahankan keberadaannya walaupun dua kali mengalami “badai”.
Badai I tahun 1979 dan badai II tahun tahun 2014 saat diterbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Badai jilid II tahun 2014 terjadi karena sesat dalam menafsir istilah penataan dan istilah desa adat dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, yaitu hanya berorientasi pada dana desa yang akan dikucurkan setelah penataan yang disebut pendaftaran dilakukan.
Beberapa politisi saat itu justru menginginkan agar desa adat yang didaftar melalui penataan agar memperoleh dana desa yang berimplikasi pada kehancuran terhadap kebaradaannya.
Kuasa langit masih berpihak kepada para cendikia yang ingin membela keberadaan desa adat secara patut walaupun banyak tantangan dan jalan terjal yang mesti dilalui.
Jadi, survei membuktikan bahwa keberadaan desa adat selalu menghadapi kondisi rawan dan masalah serta luar biasa besar resikonya karena ingin dikooptasi dengan wacana penguatan (keuangan) desa oleh pihak yang punya kuasa dan kekuatan ekonomi.
Setiap masa pemilu dalam perebutan kekuasaan, di beberapa desa adat juga diamati dijadikan objek dan alat untuk memperoleh kekuasaan politik melalui “kebulatan tekad” atau dalam bentuk lain seperti sudah terang-terangan mewajibkan krama desa atau prajuru adat melalui lembaga banjar atau desa adat untuk ikut dalam pendafaran calon kepala daerah ke KPU.
Apakah fenomena ini dapat dianggap “patut” sehingga dibiarkan dan nyaris membungkam semua lembaga yang terkait, seperti Bawaslu, Panwas, dan lembaga lain yang mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab menjaga marwah desa adat sebagai lembaga sosial kemasyarakatan yang bercorak magis religious atau lembaga adat justru mengamini fenomena tersebut?
Perlu dipilah antara hak politik krama desa sebagai hak azasi privat dengan urusan krama desa secara melembaga dalam wadah banjar atau desa adat karena yang membatasi hak azasi seseorang adalah kebebasan sebagai hak azasi pihak lainnya.
Oleh karena itu, kalau mau ditelisik bagaimana hukum adat selalu dapat menghargai perbedaan yang ada di setiap individu krama desa yang dapat disatukan dalam wadah banjar atau desa adat yang disebut dengan krama banjar atau desa tanpa memandang status sosial, kasta, dan perbedaan lainnya dan dipersamakan dalam hak dan kewajibannya sebagai krama.
Awig-awig disebut sebagai refleksi hukumnya Pancasila yang mampu mencerminkan Sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial.
Kemampuan untuk menyatukan pemikiran krama banjar atau desa dalam membangun banjar atau desa tidak terlepas dari kearifan seorang pemimpin yang disebut Kelihan (kelih=bijaksana) atau Bendesa (banda=mengikat).
Oleh karena itu, Kelihan atau Bendesa merupakan pilihan yang harus menjadi role model (panutan) di banjar/desa dalam segala hal (pikiran, perkataan dan tindakan), sehingga diperlukan visi yang seken-seken, saja-saja dan beneh-beneh sebagai pemimpin di desa adat.
Diperlukan visi yang berorientasi pada kebermafaatan atau kemaslahatan untuk krama desa berdasarkan kebutuhan dan potensi.
Sebaliknya, urusan kepentingan akan kekuasaan wajib ditanggalkan dan ditinggalkan selama menjabat sebagai Bendesa atau Kelihan dan Prajuru lainnya.
Demikian pula ketika berkeinginan sebagai calon legislatif atau kepala daerah dan partisan partai wajib mengudurkan diri sebagai prajuru desa agar tidak ada konflik kepentingan di desa adat yang berimplikasi terjadi perpecahan dan sengketa karena perbedaan warma politik.
Dalam awig-awig desa adat mana pun tidak ditemukan adanya larangan tersebut, tetapi bukan berarti tindakan itu dapat dibenarkan karena hukum adat bersifat tidak tertulis seperti halnya hukum perundang-undangan, namun, perlu dinilai dari norma “kepatutan”.
Selain itu perlu diperhatikan tiga asas kerja dalam hukum adat, yaitu rukun, patut, dan laras yang menjadi dasar tindakan prajuru dalam menghadapi segala persoalan di desa adat; juga dengan memperhatikan sifat konkret yang selalu memperhatikan desa, kala, dan patra.
Dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 telah ditegaskan bahwa desa adat merupakan subjek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali juga telah ditegaskan bahwa dalam wilayah Provinsi Bali terdapat desa adat dan subak.
Dengan demikian terdapat koherensi antara Undang-Undang Dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 dan Perda Nomor 4 Tahun 2019 berkaitan dengan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan negara terhadap keberadaan desa adat sebagai masyarakat hukum adat.
Hal ini mereferensi konsep dualitas dalam sistem pemerintahan desa di Bali, yaitu antara desa dinas dengan desa adat yang sama-sama sebagai subjek hukum dalam proses pembangunan.
Konsekuensinya aturan pemilu untuk pemerintahan desa dinas juga diberlakukan sama (mutatis mutandis) dengan pemerintahan desa adat, yaitu “netralitas” bagi adat dan kelembagaanya, tapi memberikan ruang kebebasan bagi individu krama desanya.
Balai banjar atau balai desa sebagai bangunan fisik dengan privat krama desa tidak ditabukan jika digunakan sebagai proses pendidikan politik (kampanye) dan tempat menyalurkan pilihan hak politiknya kepada salah satu calon dari partai politik, tetapi menjadi tabu ketika krama desa secara melembaga dengan menggunakan paruman dan awig-awig dengan ancaman sanksinya untuk mendukung salah satu calon.
Fenomena ini mestinya diatur dalam Perda Desa Adat ketika legislatif dan eksekutuf di daerah mau “saja-saja, seken-seken, dan beneh-beneh” ingin menguatkan desa adat, dan tidak malah mengunifikasi isi awig-awig dan kebiasaan yang sudah mapan di setiap desa adat dengan memfungsikan Perda atau hukum negara sebagai social engineering yang berimplikasi rusaknya tatanan yang sudah mapan.
Tidak sebaliknya membebankan kepada “perarem” karena urusan Pemilu adalah urusan hukum negara.
Jadi, cara berhukum dan memahami hukum adat tidak tepat dilakukan melalui pemikiran positivisme yang mengedepankan unifikasi, tetapi dengan menyelami jiwa rakyat (volkgeist) seperti pemikiran Von Savigny.
Semoga dari pemikiran ini, lahir pemikiran lain yang lebih baik untuk penguatan desa adat. (*/bp)