Sedang asyik merapikan kertas di meja, pintu ruangannya diketuk seseorang. Koleganya, sekaligus sahabat, Martini, yang juga dosen di kampus itu, masuk, menyentak lamunannya.
“Kapan rapat hibah penelitian ini selesai? Saya dengar, banyak dosen yang sudah mulai sibuk mencari kerja sampingan di luar kampus,” ujar Martini tiba-tiba.
Husein menoleh perlahan. Senyum tipis terbit di wajahnya, tapi bukan senyum yang menunjukkan kegembiraan. Lebih seperti senyum yang mengambang di ambang kebosanan.
“Iya, ngamen. Itu yang mereka lakukan. Seolah mereka harus ngamen untuk bertahan hidup. Ngamen apa saja,” jawab Husein dengan suara rendah, matanya menatap kosong ke arah jendela. “Dosen-dosen yang dulu dianggap sebagai pilar intelektual, sekarang terpaksa mencari kerja tambahan demi sesuap nasi. Hidup semakin sulit, sementara kesejahteraan kita belum juga berubah.”
Husein menarik napas panjang. Martini juga. Perempuan itu merasakan kegelisahan yang sama.
“Semuanya seperti tak ada perubahan. Bagaimana bisa kita melahirkan generasi cemerlang kalau diri kita saja harus bertarung dengan perut kosong?” kata Martini lagi. Martini sendiri sudah lebih sepuluh tahun mengajar di kampus itu tetapi gajinya tidak juga mampu mencukupi kebutuhan dirinya.
Husein mengangkat bahunya. Dia tak ingin berdebat dengan fakta bahwa gaji dosen yang hanya cukup untuk hidup pas-pasan sudah menjadi kenyataan pahit yang dihadapi puluhan tahun. Namun, di dalam dadanya, sesuatu bergejolak. Sebuah kekecewaan yang kian menggunung, tapi tak pernah dia suarakan dengan lantang.
“Ini bukan soal ikhlas tidak ikhlas, atau soal bersyukur atau tidak bersyukur, Martini,” suara Husein tiba-tiba berubah tegas. “Ini soal bagaimana negara seharusnya menghargai para pendidik bangsanya. Kalau kita lebih senang ngamen atau nyambi bisnis di luar agar hidup layak, bukan salah kita. Salah siapa yang membuat kita harus hidup begini?”
Suasana di ruangan itu sejenak sunyi. Angin yang berembus dari jendela membuat tirai putih bergoyang lembut, seakan ikut mendengar kegelisahan yang tersembunyi di setiap kata kedua dosen itu.
“Apa kita sudah terlalu pasrah? Bukankah kita harus memperjuangkan kesejahteraan kita sendiri di hadapan pemerintah?” tanya Martini, suaranya bergetar. Mata bulatnya mencari jawaban di wajah lelaki di hadapannya yang secara usia lebih tua dari dirinya.
Husein tersenyum getir.
“Pasrah itu pilihan terakhir ketika semua jalan sudah tertutup. Tapi lihat kenyataannya, kita seperti dipaksa memanipulasi hidup. Para dosen terpaksa mengakali anggaran hibah penelitian, bermain-main dengan fullboard meeting agar ada sedikit uang yang bisa disisihkan untuk keluarga. Ini semua gila! Dan kita, kita yang harus memikul kegilaan itu.”
Martini terdiam. Kalimat terakhir Husein mengiang di telinganya.
“Gila!” Kata itu memukul kesadarannya. Bukankah dunia mereka memang semakin tak waras?
***
DI LUAR, mahasiswa-mahasiswa mulai beranjak dari kelas terakhir mereka, membawa buku dan laptop yang lebih sering mereka buka untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan materi kuliah. Kampus tetap hidup, meski di dalamnya para dosen seperti Husein dan Martini merasa semakin terjebak dalam kebuntuan.
Di kantin, beberapa dosen muda sedang berdiskusi sambil tertawa kecil. Mereka terlihat seolah tak ada beban, tetapi jika diamati lebih dalam, ada kegelisahan di balik tawa mereka. Salah satu dari mereka, Burhan, dosen muda yang baru saja menyelesaikan gelar doktor di luar negeri, kini kembali mengajar di kampus tempat ia dulu menimba ilmu.
“Sebenarnya, kenapa sih kita tidak bergerak saja?” Burhan membuka pembicaraan dengan suara lantang. “Kalau kita tetap diam, siapa yang akan memperjuangkan hak kita? Orang-orang yang duduk di atas saja jelas tak peduli, kan?”
Dosen-dosen di sekelilingnya hanya tersenyum kecut. Mereka tahu apa yang dimaksud Burhan. Mereka tahu betapa sulitnya menjadi dosen di negeri ini. Tapi siapa yang berani bicara keras?
“Berjuang seperti apa yang kau maksud?” tanya Sumira, dosen lain yang duduk di seberangnya. “Unjuk rasa? Mogok mengajar? Kau pikir itu akan mengubah segalanya?”
“Kalau tidak kita lakukan, kita hanya akan menjadi seperti boneka yang diam digerakkan oleh sistem,” kata Burhan tegas. Matanya bersinar penuh semangat. “Lihat, banyak dari kita terpaksa mengambil pekerjaan di luar kampus, bahkan beberapa mulai ikut main anggaran hibah. Itu bukan jalan yang seharusnya kita tempuh. Kalau begini terus, kita sendiri yang akan kehilangan integritas,“ kata Burhan lagi.
“Integritas? Siapa yang peduli dengan integritas saat kau tidak bisa membayar cicilan rumah dan membeli susu anakmu?” Sumira menatap tajam. Terkesan mencibir. “Kita bicara soal perut. Kalau kau baru pulang dari luar negeri dengan idealisme tinggi, bagus. Tapi di sini, kenyataannya lebih pahit dari teori, bukan?“
Suasana mendadak tegang. Burhan terdiam, merasa dikelilingi oleh dinding ketidakmampuan. Ia tahu, ia tak bisa menyalahkan mereka. Hidup memang sudah keras, dan idealisme seringkali ditinggalkan di sudut ruang ketika kenyataan menghampiri.
“Jadi, kau lebih memilih untuk menyerah?” Burhan bertanya pelan, mencoba meredakan suasana. Tapi ucapannya menusuk ke jantung Sumira.
“Bukan menyerah,” jawab Sumira sambil menghela napas. “Kami sudah sampai di titik kulminasi di mana bertahan hidup lebih penting daripada mimpi-mimpi besar. Dan itu, sungguh menyakitkan!“
***
MALAM itu, Husein berjalan sendirian ke luar dari gedung kampus. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, menambah beban di pikirannya. Di rumah, ada istri dan dua anak yang menunggu, berharap ada kabar baik tentang kenaikan tunjangan atau pencairan dana penelitian. Tapi kali ini, ia tak bisa memberi harapan palsu lagi.
Langkahnya terhenti di depan gerbang kampus. Ia mendongak, menatap langit malam yang gelap tanpa bintang. Di bawah langit itu, ia merasa semakin kecil, semakin tak berarti. Sebuah ironi—seorang dosen yang tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi kini merasa bodoh dalam urusan hidupnya sendiri.
“Bung Husein,” suara Martini terdengar dari belakangnya. Huseun menoleh, menemukan Martini berdiri di sana dengan wajah yang lelah, tapi masih penuh harap. “Kau tahu, kita tidak bisa terus seperti ini, kan?”
Husein tersenyum pahit.
“Lalu apa yang bisa kita lakukan? Semuanya sudah seperti labirin. Kita berputar-putar di dalamnya tanpa tahu jalan keluar. Rektor sendiri seperti tak kuasa memperjuangkan nasib kita.“
“Tapi kita harus tetap mencoba, bukan?” Martini menatapnya dengan serius. “Mungkin kita tidak akan berhasil memperbaiki semuanya, tapi kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Menolak ikut dalam permainan kotor itu, menjaga integritas kita sebagai pendidik.”
“Integritas?” Husein mengulang kata itu pelan. “Ya, mungkin itu satu-satunya yang tersisa dari diri kita,“ ujarnya bergumam.
***
KEESOKAN harinya, Husein berdiri di depan kelas. Mahasiswa-mahasiswanya duduk menatapnya, menunggu apa yang akan dia katakan. Di luar, langit cerah, tapi Husein tahu, awan gelap di hatinya belum sepenuhnya pergi.
Dia memandang wajah-wajah muda itu satu per satu. Mereka mungkin tidak tahu apa yang terjadi di balik meja dosen. Mereka hanya tahu bahwa mereka datang untuk belajar, berharap masa depan mereka akan cerah. Tapi bagaimana mungkin masa depan mereka bisa cerah jika para pendidik mereka sendiri dililit ketidakadilan?
Husein menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Hari ini kita tidak akan bicara soal teori yang ada di buku. Hari ini kita bicara soal kenyataan hidup. Tentang bagaimana kita harus memperjuangkan apa yang benar. Karena tanpa itu, kalian hanya akan jadi generasi yang sama seperti kami, terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.”
Mahasiswa-mahasiswa itu terdiam, mendengarkan. Di dalam hati mereka, mungkin mulai tumbuh sebuah pemahaman. Tapi masih samar, sebab mereka pun, untuk kuliah, masih sepenuhnya bergantung kepada saku kedua orang tuanya di rumah. Saku yang sebagiannya berlubang, atau ditambal di sana sini, semata agar anak-anaknya dapat menyelesaikan pendidikan tinggi dengan baik, lalu mencari pekerjaan terbaik.
“Setamat kuliah ini kalian hendak ke mana?” tanya Husein kepada mahasiswa-mahasiswanya.
“Mencari kerja, Pak!” jawab mereka serentak.
Husein tercenung. Jawaban itu bukan barang baru yang ia dengar. Dalam pikiran mahasiswa-mahasiswa itu, mencari kerja tetaplah jalan terbaik, seperti dirinya yang mendapatkan pekerjaan di kampus yang tak menggajinya secara layak. Sedikit di antara mereka—dengan berbekal ilmu yang diperoleh selama menjalani masa pendidikan—menciptakan lapangan kerja sendiri. Dia tahu, menciptakan kerja itu tidak mudah, maka yang paling mudah dalam pikiran mereka adalah mencari kerja, dengan harapan mendapat gaji layak, meski tak sedikit yang dikerjai oleh pekerjaan-pekerjaan yang mereka cari.
Sepulang mengajar, di bilik rumah kontrakannya yang masa sewanya hampir habis, Husein menulis surat pengunduran diri sebagai dosen. Besok, surat itu akan ia serahkan kepada rektor. Setelah itu, ia berniat kembali ke ladang dan beternak, menghidupkan lagi hobinya semasa muda dulu. (***)
Ladang Tebu, Oktober 2024
BIODATA
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Berdarah Aceh-Minang. Lahir di Medan, 3 Desember. Buku Kumpulan cerpennya Jalan Sunyi Paling Duri (2022) dan Bensin di Kepala Bapak (2020). Buku puisinya Tungku Api Ibu (2023) dan Kesaksian Sepasang Sandal (2020). Novelnya Rumah di Tengah Sawah diterbitkan Balai Pustaka (2022). Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Esainya tiga terbaik Festival Sastra Bengkulu (2019) dan puisinya tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival (2019). Beberapa puisinya dialihwahanakan menjadi lagu dengan iringan musik klasik oleh pianis bertaraf internasional, Ananda Sukarlan.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.