BULELENG, Balipolitika.com- Provinsi Bali sedang menghadapi masalah serius karena pembangunan pariwisata yang jomplang alias tidak terarah, overcrowded di wilayah selatan, konversi lahan pertanian yang membabi buta, ancaman banjir, kesalahan urban planning hingga overtoursim di wilayah selatan.
Sementara di wilayah utara yang jauh lebih luas dan jumlah penduduk jauh lebih banyak kurang menikmati hasil kue pariwisata.
Ketimpangan ekonomi jelas berdampak pada banyak aspek baik sosial, budaya hingga politik.
Bali harus punya master plan atau blue print ekonomi yang bervisi ke depan dalam menjawab modernitas dan tentu perkembangan kebudayaan.
Infrastruktur utama yang dapat mengantisipasi dan mengangkat pemerataan ekonomi harus dibuat secara mendetails termasuk menjawab tantangan-tantangan ke depan.
Bandara Bali Utara tidak hanya akan membawa dampak ekonomi significant pada wilayah-wilayah utara, tapi juga wilayah north east: Tekula- Batur hingga ke Amed akan terdampak significant, sementara wilayah nort west, dari mulai Seririt hingga Pulau Menjangan dan daerah tetangga Jembrana akan mengalami dampak terbukanya akses pariwisata yang nyata, tidak hanya sebagai daerah transit pariwisata, namun akan menjadi destinasi baru dengan keunikan budaya bali baratnya.
Dan yang paling utama dari bandara di Bali Utara adalah kebutuhan untuk infrastruktur mitigasi bencana, saya sebagai pendiri organisasi relawan kemanusiaan dan bencana alam, telah melihat berbagai situasi bencana alam skala besar, sejak 2004 di Aceh, hingga Lombok dan Palu di 2018.
Salah satu kebutuhan mendesak adalah keberadaan bandara alternatif.
Pertama; untuk mengatur jalur alternatif jika salah satu bandara mengalami kerusakan.
Kedua; untuk memudahkan pengaturan distribusi logistik dan personel tim penanggulangan bencana.
Belajar dari tsunami Aceh, jalur logistik terpaksa dialihkan ke bandara polonia sebelum dikirim, baik melalui jalan darat atau udara ke Banda Aceh karena bandara di Banda Aceh hanya ada 1 sehingga menjadi overcrowded.
Demikian juga saat tsunami Palu dikarenakan bandara satu-satunya rusak, maka terjadi keterlambatan distribusi bantuan dan personel sehingga terjadi kerusuhan, jalur logistik lewat laut tentu memakan waktu lebih.
Namun, saat gempa lombok penanganan emergency response jadi lebih mudah dikarenakan ada dua bandara berfungsi, bandara baru Mandalika menjadi jalur personel Tim SAR sementara bandara lama di Mataram saat itu berfungsi sebagai jalur logistik.
Jadi Bali dengan kapasitas pariwisata yang jauh lebih besar dari Lombok, jelas membutuhkan bandara alternatif.
Tulisan ini sekaligus untuk menjawab pandangan sinis dalam balidiscovery.com dari Prof. Mahawan karunisa yang merupakan anggota ISTC (Indonesian Sustainable Tourism Council) kemenpariwisata yang menyatakan bahwa “Why nort bali airport won’t work”.
“Boleh saya katakan pandangan tersebut sangat sinical dan mengandung bias politik, tanpa memikirkan aspek mitigasi bencana,” ucapnya. (bp/ken)