AROMA pemilu menyengat lagi. Di mana-mana spanduk terbentang lagi. Hingar bingar kampanye terdengar lagi. Dan tentu saja, obral janji-janji dimulai lagi. Tapi Sundari tidak peduli dengan semua itu. Ia tetap jalani rutinitasnya sebagai orang desa yang lugu. Pagi mengajar di sekolah dan sorenya mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang berjumlah tujuh.
Sebenarnya semula kehidupan Sundari tidaklah semenderita sekarang ini. Dulu bapaknya adalah seorang anggota dewan, yang sudah dua periode bertahan duduk di komisi tiga. Kala itu kehidupan mereka masih cukup memadai. Bahkan boleh dibilang lebih cukup dari rata-rata kehidupan masyarakat desa pada umumnya.
Hinggga suatu ketika, ada seorang politikus busuk yang dengan permainan uangnya berhasil duduk sebagai ketua dewan. Berkat permainan licik orang inilah, tanpa di sadari ayah Sundari terjerat pada tindakan korupsi. Ya sebenarnya sih, bukan ayah Sundari yang korupsi. Namun, karena pada saat itu ayah Sundari adalah bendahara di komisi 3, maka ketika kasus korupsi yang dilakukan politikus itu terkuak, ayah Sundari pun ikut terseret ke dalam tahanan.
Sejak itu, kehidupan keluarga Sundari menjadi berantakan. Roda kehidupan ekonominya terseok-seok bahkan nyaris kandas di tengah jalan. Mereka bertahan hidup dengan berbagai cara. Gali lubang tutup lubang pun jadi biasa mereka lakukan.
Satu hal yang membuat hati Sundari sangat tertekan, yaitu kandasnya hubungan cinta yang ia jalin dengan politikus muda itu. Hubungan yang akhirnya menggoreskan guratan luka yang teramat dalam di hatinya. Sebab orang yang dicintainya ternyata adalah orang yang tega menjerumuskan ayahnya ke dalam penjara.
Kini, semua sudah berlalu seiring perjalanan waktu. Ayahnya telah meninggal. Dan ia juga telah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar yang merupakan satu-satunya sekolahan yang ada di desanya. Meski sampai sekarang Sundari belum berumah tangga, tapi ia lebih mencurahkan kasih sayangnya untuk ibunda tercinta. Trauma atas luka dari cintanya yang dulu, membuat Sundari memilih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif. Ia yakin, suatu saat nanti Tuhan pasti akan mengirimkan seorang pendamping yang terbaik bagi dirinya.
Semoga!
Di ruang guru, suatu hari, Sundari sedang menerima seorang tamu distributor buku LKS dari sebuah penerbit, ketika salah seorang muridnya menghampiri dan berkata.
“Bu Ndari, kelas satu tidak ada yang mengajar, Bu.”
Sundari tersenyum sambil berjalan mendekati muridnya itu.
“Ya, sebentar Bu Guru masih ada tamu. Jadi bilangi teman-temannya jangan boleh ramai ya.”
“Nanti saya ajar lo, Bu,” sahut anak laki-laki itu dengan wajah polosnya.
“Kalau bisa, silakan saja,” kata Sundari enteng.
“Gurunya saya apa Bu Ndari? Kok saya disuruh mengajar?” ketus anak itu menjawab dan sekaligus mengejutkan Sundari.
Sundari pun diam. Ia merasa malu pada tamunya. Sungguh berani anak kelas satu.
SD yang baru ini. Namanya Panggi. Ia anak pindahan dari luar kecamatan. Anaknya sangat superaktif walaupun dalam segi pelajaran sangat kurang.
“Maaf, Pak. Maklum begitulah anak kelas satu, kadang sopan santunnya masih sangat kurang. Suka ceplas-ceplos dalam omongannya,” kata Sundari pada tamunya.
“Akh, tidak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak,” jawab sang tamu dengan senyuman.
Setelah mencocokkan orderan buku yang terdapat di nota, Sundari segera membayar sejumlah buku yang dipesannya. Setelah urusan dengan tamu itu ia bereskan, Sundari bergegas menuju kelasnya, khawatir diprotes oleh anak-anak.
Benar saja, begitu Sundari masuk ruang kelas satu, seisi kelas tampak gaduh. Ada yang bermain kejar-kejaran. Ada yang memukul-mukul bangku. Dan ada pula yang bergurau sambil berteriak-teriak tak karuan.
Yah, Sundari maklum! Hari pertama masuk memang masih semrawut. Masa transisi dari TK ke SD kadang membuat anak belum bisa menyesuaikan keadaan. Jadi tinggal bagaimana sang guru dalam mengelola proses pembelajaran. Diperlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi anak-anak kelas satu yang terkesan masih liar.
Belum seberapa lama Sundari berkenalan dengan anak-anak kelas satu, Sundari dipanggil oleh Kepala Sekolah karena ada seorang wali murid yang ingin bertemu. Terpaksa Sundari kembali meninggalkan ruang kelas satu dengan satu pesan agar anak-anak tidak gaduh. Tapi dasar kelas satu, di depan gurunya mereka selalu bilang iya, tapi baru saja Sundari meninggalkan kelas beberapa langkah, mereka sudah gaduh lagi.
***
Bel istirahat pun berdentang. Anak-anak dari kelas satu sampai kelas enam segera berlarian keluar kelas. Berebut menuju ke kantin guna menghabiskan seluruh uang saku yang sudah sejak tadi ingin mereka belanjakan.
Sundari melangkah menuju ke ruang guru. Di sana ia sempat berdialog dengan Bu Berty guru kelas empat, mengenai anak yang tadi menyusulnya ke ruang guru. Kebetulan Bu Berty tadi sempat juga menyaksikan apa yang diperbuat Panggi ketika Sundari ada tamu.
“Maaf Bu Berty, saya benar-benar heran melihat sikap Panggi, murid saya itu. Apa di rumah dia tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya, kok dia sampai berkelakuan seperti anak gak punya tata krama begitu. Bicaranya yang ceplas-ceplos itu lo yang sering memalukan,” kata Sundari mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ia simpan dalam hati.
“Panggi itu sepertinya anak yang istimewa, Bu,” celutuk Bu Berty mengomentari apa yang disampaikan Sundari.
“Bukan istimewa, tapi lebih tepatnya, kelainan.”
“Mungkin hanya sembilan puluh persen.”
“Tujuh puluh lima persen saja, entah ada entah tidak,” kata Sundari yang memiliki mata bulat dan bening itu.
“Okelah, dengan teman sendiri, saya berikan,” seloroh Bu Berty sambil beranjak menuju ke kantin.
Mereka pun tertawa bersama. Lantas Sundari segera menyusul langkah Bu Berty menuju ke kantin sekolah.
Di kantin, Sundari bertemu dengan muridnya yang bernama Panggi. Tubuhnya yang kecil tampak ikut berdesak-desakan dengan kakak-kakak kelasnya yang jelas lebih gede ukuran tubuhnya. Tapi Panggi kecil tidak menyerah, dia terus saja meringsek ingin mendapat pelayanan lebih duluan.
“Aiiih!” pekik murid perempuan kelas lima yang ikut mengantri beli jajan.
“Hai, ada apa?” tanya Sundari kaget dan spontan.
“Anak kelas satu ini nakal, Bu.”
“Iya, kamu diapakan?”
“Dia mbukai rok saya,” kata murid perempuan itu sembari menujuk anak kelas satu yang bernama Panggi itu.
Sundari berdiri. Dengan menggandeng tangannya, Sundari bawa muridnya yang bernama Panggi itu ke dalam ruang kantin.
“Panggi! Kamu jangan nakal! Kamu tidak boleh berbuat seperti itu!”
“Kenapa, Bu?”
“Itu namanya tidak sopan!”
“Gitu aja nggak boleh, Bu Bu,” rungut Panggi jelas sangat menjengkelkan.
Duh, Sundari jadi geram. Ingin rasanya ia jewer anak itu seandainya ia tak ingat bahwa di zaman sekarang tidak boleh ada tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Terpaksa Sundari hanya bisa mendesah. Kecewa!
Mau tak mau, ia jadi membenarkan apa yang dikatakan Bu Berty tadi, bahwa anak itu memang kurang waras. Mungkin SD bukanlah sekolah yang tepat untuknya. Harusnya Panggi itu bersekolah di SLB saja. Akh! Tapi benarkah demikian adanya? Pikiran Sundari berkecamuk. Panggi itu anak kurang waras, atau pemberani ya? Atau anak nakal sebagai akibat kurangnya sentuhan kasih sayang dari orang tuanya? Entahlah! 15 tahun Sundari mengajar di sekolah ini, tapi baru kali ini mendapatkan murid yang nyeleneh kayak begini.
Sundari jadi berpikir amat jauh. Membandingkan masa kecilnya dulu dengan anak-anak kecil zaman sekarang. Di masa kecilnya, hampir semua ibu-ibu menyusui anaknya dengan ASI sampai usia yang cukup. ASI yang memberikan jalinan kasih sayang yang besar untuk ibu dan anak, membuat para bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang sopan dan berkepribadian baik. ASI juga memberikan imunisasi untuk kekebalan dan ketahanan tubuh sehingga bayi tumbuh sehat dan punya pribadi yang kuat.
Tapi sekarang, para ibu lebih mempercayakan tumbuh kembang bayinya pada susu sapi yang telah dikemas dengan berbagai bahan pengawet yang kadang melebihi takaran. Maka tak heran bila bayi sekarang tumbuh menjadi anak-anak yang kelakuannya tak jauh dengan anak sapi. Hanya pandai mengeluh dan jauh dari sopan santun yang menjadi karakter adat ketimuran. Para orang tua pasrah bongkokan pada sekolah tentang pendidikan dan perkembangan anaknya. Mereka lupa, bahwa waktu terbanyak yang dimiliki anak adalah di rumah. Jadi pendidikan di keluargalah yang sebenarnya paling menentukan bagi perkembangan seorang anak.
Barangkali karena masa kecilnya yang terlalu banyak minum susu sapi kemasan itu juga yang menjadikan banyak pejabat di negeri ini melakukan korupsi. Sapi kan tidak bisa berpikir. Tak peduli itu makanan milik siapa, asal dia merasa lapar, pasti disikat. Ketularan sifat sapi yang demikian inilah, yang membuat jumlah koruptor semakin bertambah.
“Hayo, Bu Ndari melamun,” celutuk Panggi lagi langsung membuyarkan lamunan.
***
“Bu Ndari kok melamun saja? Mikir si dia, ya?” kata Pak Marji, guru kelas tiga yang gemuk itu.
Sundari kaget! Seulas senyum segera terkembang di bibirnya sekadar untuk menutupi rasa kagetnya yang tak terkira. Tapi mau tak mau, pertanyaan Pak Marji itu membuatnya menelisik serangkaian perjalanan hidupnya yang sampai sekarang belum menikah.
Mikir si dia? Si dia siapa? Pacar? Akh, tidak! Rasanya sudah terlalu lama ia menutup diri dari rasa cinta. Pintu hatinya rasanya sudah karatan dan sulit dibuka oleh pria manapun. Pemuda yang dulu menggandrunginya dengan rasa cinta, lenyap bagai ditelan bumi setelah menjebak ayahnya ke dalam bui. Sejak itulah pintu hatinya seolah terkunci rapat– rapat. Sundari menjadi perawan yang semakin hari semakin tua karena digerogoti oleh usia. Godaan dan sindiran yang sering dilontarkan oleh teman sesama guru, hanya ia tanggapi dengan senyuman. Senyum sumbang tentu saja. Kini cinta dan kasih sayangnya ia curahkan sepenuhnya kepada anak-anak didiknya. Merekalah anak-anaknya. Merekalah hiburan yang selalu mengisi hari-harinya. Hingga ia tak pernah merasa bahwa batang usianya semakin tinggi saja.
Penderitaan ibunya yang harus kehilangan suami lantaran permainan politik dari rekan-rekan separtainya, membuat Sundari lebih berhati-hati dalam melangkah. Ia tak mau jatuh ke lembah hitam yang kedua kalinya. Ia tak mau lagi berurusan dengan lelaki yang jadi pejabat sekaligus pengkianat bagi rakyat. Mengaku wakil rakyat tapi nyatanya justru menyikat habis uang anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan rakyat. Telah ia kubur dalam-dalam kenangan kisah kasihnya bersama seorang wakil rakyat yang dulu menjanjikan cinta setia, tapi pada akhirnya justru menjebak ayahnya masuk penjara. Sekalipun, Sundari tak akan pernah mau lagi mengenal lelaki yang kini ia benci itu.
“Bu Ndari, ditunggu anak-anak,” tegur Pak Marji lagi demi melihat Sundari malah tenggelam dalam lautan angan-angannya yang kelam.
“Ya, Pak. Terima kasih.”
Sundari segera menuju ke ruang kelas satu. Ia menatap anak-anak di depannya satu per satu. Kemudian ia tanyakan nama mereka masing-masing. Ia ingin tahu lebih jauh tentang Panggi yang tadi unjuk rasa padanya sewaktu ia menerima tamu.
“Namamu siapa?” tanya Sundari kepada anak laki-laki kurus yang kini berdiri di hadapannya itu.
“Panggi.” Singkat anak itu menjawab.
“Hanya Panggi? Nggak ada terusannya?”
“Ada Bu, Panggi Mbeler,” jawab anak-anak yang lain.
“Panggilannya Mbeler, Bu,” sahut anak yang lain lagi.
“Kenapa kalian memanggilnya begitu?” tanya Sundari heran.
“Karena hidungnya selalu keluar ingus, Bu. Mbeler terus,” jawab beberapa anak dengan suara serempak.
Hah! Sundari tersentak. Masa Panggi yang dalam kesehariannya tampak rapi dan bersih, kok dibilang ingusan! Tapi Sundari sudah tak mau peduli lagi. Kemudian ia berkeliling, melanjutkan pertanyaannya kepada anak-anak yang lain. Karena sudah menjadi kebiasaan di kelas satu, bila awal masuk sekolah mereka harus mengenalkan dirinya. Mulai dari nama, nama orang tua, jumlah saudara, hingga pekerjaan orang tuanya. Malah bagi anak yang cerdas, tak lupa mengatakan alamat rumahnya juga.
Dengan mengenal lebih dekat murid-muridnya, Sundari yakin keakraban di kelas akan terjalin dengan mudah. Bila suasana kelas menyenangkan, tentu pembelajaran akan berlangsung dengan baik. Murid-murid dapat belajar dengan tenang, damai, dan aman. Dengan demikian diharapkan tujuan pendidikan akan tercapai.
Tidak seperti wakil rakyat, yang hanya mau mengenal rakyatnya ketika hendak mencalonkan diri saja. Di mana-mana mereka tebar pesona, sok akrab dan sok peduli pada sekecil apapun aspirasi dan kebutuhan rakyat yang tinggal di daerah pemilihannya. Tapi begitu mereka sudah jadi wakil rakyat, jangankan punya niat untuk mengenal rakyat yang diwakilinya, untuk ditemui saja mereka selalu berusaha mengelak. Malah yang lebih menjengkelkan, banyak wakil rakyat yang akhirnya justru jadi pengkianat masyarakat. Tidak pernah menggubris aspirasi dan keluh kesah rakyat, tahu-tahu malah menyikat habis uang anggaran yang seharusnya untuk rakyat!
Akh! Sundari menepis angannya. Kemudian ia menuju meja guru, duduk di kursi dan membuka-buka buku data kelasnya.
“Bu, Panggi makan di kelas!” Tiba-tiba terdengar laporan dari salah satu murid perempuannya.
Sundari menoleh ke arah Panggi. Ternyata benar. Dia terlihat sedang mengunyah sesuatu. Bahkan mulutnya terlihat penuh.
“Panggi, di dalam kelas tidak boleh makan, ya. Kalau kamu makan di dalam kelas, semua teman harus diberi, termasuk Bu Guru.” Sundari berkata demikian agar Panggi berhenti makan dan menyimpan makanannya. Tetapi dugaannya meleset. Tiba-tiba Panggi malah berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Kalau Bu Guru mau, nih dimakan,” kata Panggi sambil menyodorkan kue yang dibawanya ke mulut Sundari.
Untung Sundari segera menghindar. Sehingga kue itu tak sampai menyentuh bibirnya. Sundari segera berdiri. Hampir saja tangannya terulur hendak menepis tangan Panggi. Tapi tidak jadi. Rupanya ia masih bisa mengendalikan emosinya dengan sempurna.
“Panggi! Ayo duduk! Kamu tidak boleh nakal. Apa yang kamu lakukan tadi, adalah perbuatan yang tidak sopan pada Bu Guru. Sekali lagi kamu berbuat seperti itu, maka kamu akan Bu Guru hukum. Coba lihat teman-temanmu, mereka duduk dengan baik kan? Tidak ada yang berulah seperti kamu!”
“Bu Guru jangan ngomong saja, nih cepat dimakan. Tadi katanya minta!” kata Panggi lagi sambil berusaha menyodorkan kue ke tangan Sundari.
Duh! Sundari tidak tahan diperlakukan seperti ini. Meskipun oleh anak kecil. Segera ia berlari keruang guru. Ia hempaskan pantatnya yang seksi di kursi. Ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis!
Melihat tingkahnya yang tampak aneh di mata Kepala Sekolah, lelaki yang sebagian besar rambutnya sudah beruban itu menghampirinya sembari bertanya.
“Ada permasalahan apa, Bu Ndari?”
Sundari mendongak. Dengan selembar tissue ia hapus air matanya. Tapi ia tetap diam, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Setelah itu ia menunduk lagi sambil menutup mukanya dengan telapak tangan. Dari derap sepatu yang ia dengar, ia bisa merasakan kehadiran beberapa rekan guru di dekatnya.
“Ada apa Bu Ndari?” Bu Wigati juga buka suara sebagai bentuk perhatian dan kepedulian sebagai rekan kerja.
Sundari belum buka suara. Tapi ia yakin, mungkin teman-temannya pada bingung karena tak tahu apa yang menimpa dirinya di kelas. (***)