DARI HULU KE HILIR YANG MENGALIR DALAM TUBUHKU
1.
dari hulu ke hilir dalam tubuhku yang mengalir serpih-
serpih puisi, engkau; au, diam-diam memungut serpih-
serpih itu dengan debar dada dan tetes air mata
: “ia mengalir, sangat perlahan, penuh keyakinan dan
bermandikan cahaya, tetapi ia– serupa dirimu amatlah
menyinta sunyi dan puisi”
2.
kalau harus kuberikan separo jantung-hati dan jiwak
aku sungguh ikhlas, asal hari-harimu/ menjadi lebih baik
dan bahagia…
3.
au, mengenang sejarah yang paling menakutkan
: “gugurnya mawar ungu ketika hujan baru saja reda
saat engkau kehilangan banyak hal; cinta, rindu dan amarah”
4.
aku menyintaimu– au, lebih dari segala yang bernama kebaikan
dan ketulusan.
5.
yang paling menakutkan, selain masa lalu; tentu nganga jurang
sepanjang perjalanan dari lembah ke bukit-bukit lalu turun– jauh
ke teluk paling sunyi
: “bergulingan di atas runcing karang, au, alangkah menyenangkan
darah puisi merembes dari seluruh liang luka/ dan berpeluk erat
dengan kabut laut!” au, alangkah menyenangkan…
Jaspinka, 22 Januari 2024
EMBUN PADA GELAS RETAK
waktu dan musim, tiba-tiba serupa embun pada gelas retak
dan lihatlah; seseorang yang tentu sangat kaukenal, dengan
kedua tangan gemetar menggenggam gelas retak itu
kelopak matanya basah dan berderai-derai juga akhirnya
bibirnya bergetar-getar: “aku ingin segera bertemu
aku ingin menangis dalam pelukanmu!”
kedua tangan orang yang sangat kaukenal itu kian gemetar,
dan terjatuh gelas retak itu, pecah berserakan di atas batu
kenistaan, keniscayaan; waktu dan musim yang serupa
embun itu menjelma percikan darah, sungguh, ia pun berteriak
: “sungguh amatlah sakit tetapi aku harus kuat, harus kuat!
seseorang yang sangat kaukenal itu berlari, menjauh
ke arah laut menyeret luka di sekujur tubuh dan jiwa!
Jaspinka, 02 Januari 2024
DI LORONG SUNYI PAGI INI
Sepasang merpati senja– tak bersuara. Menatap lorong sunyi.
Tubuh pagi merambat perlahan. Di kejauhan serupa ada
tangan maut melambai. Sepasang merpati itu takjub.
: “Kita telah lama berbagi pahit getir kehidupan, entah sampai
kapan, aku mau puisi cahaya, menerangi hati dan jiwa…”
Tak ada perempuan embun di lorong sunyi pagi ini. Hanya
sepasang merpati senja. Berbagi kisah perih. Dan di kejauhan
sana, bayangan maut pasi. Sesekali melambaikan tangannya.
Sepasang merpati senja itu meninggalkan lorong sunyi.
Mengepakkan sayap ke kehidupan luar yang nyata.
: “Lihatlah, luka nganga di wajah dunia!”
Tak ada perempuan embun ketika matahari kian meninggi.
Jiwa-jiwa saling peluk. Puisi adalah keringat yang menetes.
Dan hidup bukan sandiwara!
Jaspinka, 14 Desember 2023
REQUIEM SEBONGKAH SEPI
Bagaimana mungkin ada bara api jika dalam jiwa hanya terdapat
sebongkah sepi? Usia dan waktu berbagi sembilu. Ranjang yang
ditinggal berdebu. Kian jauh langkah ke arah matahari tenggelam
: “Telah berkarat perih, batu-batu sepi retak!”
o, telah kupasrahkan kuda lengkap dengan pelananya, lalu naiklah,
pacu secepatnya– sejauh-jauhnya melewati padang-padang, lembah,
juga bukit-bukit hingga benar-benar ke puncak jerit bahagia, ciah!
usia dan waktu berbagi sembilu
Bagaimana mungkin ada bara api bila peluk lepas dari leherku?
yang terbaik adalah mimbar realitas, tempat segala keluh
disandingkan dengan senyum tulus, o, kuda lengkap dengan
pelananya! Dalam cermin cahaya memantul kata-kata,
Jaspinka, 26 September 2023
YANG MAHAPUISI YANG MAHACINTA
Ruang dan waktu selalu saja menjerat gairah puisiku
: “Imaji dan metafora laksana pisau bermata dua!”
o, mengiris-iris serat hidupku, meretas-retas mimpi
dan cintaku o, cintaku!
Hanya ke telinga-hatiku ingin engkau berbisik
: “Langit dan laut dan segala yang bernama kasih untukmu
semulia-mulianya, setulus-tulusnya, akh, hidup yang mawar!”
Selain yang mahapuisi– ada yang menyempurnakan hidupku;
yang mahacinta
Selain doa– ada airmata untukmu/, yang mahapuisi
: “O jiwa tergeletak sunyi dengan sorot mata kosong, dengan
bibir terkatup tak ada cahaya, tak ada bau puisi, hanya
pendar samar aura kematian, o perpisahan itu…, jiwa tergeletak
sunyi, tak ada cahaya tak ada bau puisi, hanya serbuk-serbuk rindu,
hanya reruntuhan cinta…”
Selain kepada puisi– hanya ke lorong sunyi aku ingin berbagi
: “Sekali pun jangan engkau lukai hati dan jiwa yang ikhlas memungut
setiap mawar gugur juga dinding kesetiaan kuhias baris-baris puisi
o, kecemasan, o, kerinduan, ada bayangan serupa cahaya maut…”
Cinta, rindu, puisi terkadang bergemeretak di luar logika dan bisa
begitu menyakitkan, sukar diajak kompromi, sukar sekali dipahami
Hidup ini terkadang ajaib dan mencengangkan; perut lapar bisa
kenyang hanya karena puisi hanya karena rasa cinta pada sesuatu
yang membuat hati bahagia dan itulah kemerdekaan yang
sesungguhnya: puisi dan cinta!
Jaspinka, 11 Agustus 2023
BIODATA
Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat. Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, Koran Tempon, Jawa Pos, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Asyik.asyik.com., dll. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.