DOA SENJA DI PELABUHAN
Tak sedikit keluh terus membuat garis memanjang ke langit
pelabuhan hanya memberi gelap dan tumpukan kebencian
lalu Tuhan ada di mana saat gelombang menyeretku
membenturkan ke tembok-tembok dermaga
hanya rintih merindu
doa-doa ibu mengantarku menjelang senja
Keikhlasan jadi gelisah
dipaksa bersimpuh menjadi doa
pelabuhan temaram serupa wajahku yang kehilangan ayat.
Parepare, 2024
LUKA LAUTAN
Pernahkah kau tahu biru lautan itu
tak mampu berbisik untuk mengenang waktu
ada rasa perih di lambung batu karang
debur gelombang bibirnya mengering
Jika lautan rambutnya berombak sepi
disisir musim dengan angin tak bertepi
derak perahu nelayan melaju bermain
dihanyutkan percik riak-riak terasa asin
cakrawala gelap dan bimbang
dipeluknya dalam peluh tak berbintang
Luka lautan di bimbang perahu nelayan
dayung pun menancap pilu di buritan.
Parepare, 2024
HUJAN DAN KABUT
Tak selamanya hujan datang membawa kabut
seperti siang ini tak ada juga badai menyambut
hanya rintiknya terasa mengiris di dada
meski dendam dan benci telah lama tiada
mungkin kesabaran menjalin diri menjadi tenunan
hingga selembar kain yang esok menemaniku ke kuburan
Langit memburam tertutup kabut serupa sesak rasa jiwa
kuseret luka-luka yang terus memberi benih kecewa
harusnya hujan tak memberi perasaan ngilu pada keterasingan
karena bila mati tak ada satu pun pelayat yang lupa kepulangan
keranda berderit dalam kuyup dengan langkah tergesa
dibiarkan sendiri dengan nyeri dan luka nganga hingga binasa
PULAU DI SEBERANG WAKTU
Memandangi pulau di seberang, karang-karangnya telah jadi puisi
aku tak pernah bertanya atau membantah saat gelombang itu pasang
memeluk kesibukan angin, bahkan ikan-ikan bermunculan
saat itu, perahuku oleng dan marah mengibaskan berulang kayuh
sedang dermaga masih jauh tempat kita merenungi kenangan
langit melukis begitu cermat tentang gumpalan awan kelabu
Pulau itu nampak dihalangi karang masih tegak bagai semula
hanya pohon-pohon nampak bertumbangan disapu badai
kita memang bukan waktu yang seenaknya melangkah di jarum jam
mungkin sisa pertengkaran menjelang sore yang kita punya
sambil membayangkan hujan musim barat memeluk perahu-perahu
tapi aku masih ingin menghela layar berkain remah karang
Sesungguhnya kita telah terlambat merenungkan pulau di seberang
saat lumut dan siput hanyut terbawa gelombang ke pantai
kita pun hanya sibuk menjahit jala sambil menertawakan diri sendiri
maka lengkaplah waktu kita diintai ancaman direbut laut pasang.
Parepare, 2024
SARAPAN KESIANGAN
Gugupku pecah di atas piring
sebelum sesuap nasi berbenah di sendok
mulutku terlalu siang menyambutnya
Piringku menguarkan bau ikan asin dan sambal terasi
pagi telah sampai pintu berpaling
memandangi bibirku yang betah mengulum pedas
Sarapan selalu saja berdalih perut perih
atau biar bertenaga seharian kerja
dan itu pagi, tak jauh dari matahari terbit.
Parepare, 2024
KAPAL YANG BERLABUH
Tak pernah kutolak musim barat datang memacu angin
segala yang datang berbagi hasrat berkaca di cermin
pasang gelombang selalu saja menjadi rahasia yang melambai
dari jauh sebelum kapal tiba berkabar pada telinga badai
hingga kata-kata yang ingin segera pulang dari rantau
terguncang ombak mengemas rapi setiap degup galau
Kapal itu segera berlabuh tak nampak cemas dan putus asa
setelah perjalanan jauh hingga kadang lenyap tak tersisa
ditelan kabut melintasi gelombang yang tercabik-cabik
dengan segala kewajaran alam kadang angin ingin berbalik
padahal bekal yang terkumpul dari rantau telah diikat sempurna
bersama dos besar berisi aneka ragam kisah penuh warna
Tali yang dilempar diikatkan pada tiang di dermaga
aku bergegas ingin menemui kisah-kisah yang dahaga
langit membentangkan awan kelabu dalam kerumunan suara
orang-orang turun dari tangga kapal menemukan masa lalu tanpa bicara.
Parepare, 2024
BIODATA
Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret besar di Purbalingga sekolah di Yogya dan tinggal di Parepare, Sulawesi Selatan. Ada 12 buku puisi tunggal yang telah terbit serta puluhan antologi puisi bersama di berbagai daerah. Buku puisinya berjudul Hujan Meminang Badai mendapatkan Penghargaan dari Kemdikbud Tahun 2012, serta berbagai penghargaan lainnya. Masih aktif memberikan pelatihan penulisan sastra dan mengikuti berbagai kegiatan sastra. Berkhidmat di Rumah Puisi Parepare.
Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.