Ilustrasi: Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang
Jembatan Layang Lempuyangan
di jembatan layang lempuyangan
malam meniup udara hampa
angin berkesiur tanpa dusta
dan aku seperti kereta tua
lalu-lalang sepanjang jawa
belajar bahasa jujur manusia
dan isyarat alam benda.
mata batin mendidih
menerima kenyataan bertubi-tubi
lemah tapi pongah di muka kehidupan
tertatih, terseok menuju masa depan
akhirnya, tersungkur di bawah jembatan
sambil memunguti sisa juang para pekerja
makan nasi kucing di angkringan.
di jembatan layang lempuyangan
malam menebar nyanyian pengamen
dan sirine palang pintu perlintasan
menyadarkanku pada tugas dan kewajiban
mimpi-mimpi harus diperjuangkan
janji manis mesti diwujudkan.
udara menyibak pandangku
seorang tukang becak berhenti di tepi jalan
dan aku melihat semangat menyala-nyala
membakar kesombongan dalam dada
sambil mengepulkan asap kretek ke udara
ia tatap langit malam tanpa beban
aku pun merasa tak ada dendam di hatinya
malam semakin matang
di atas bara api tungku angkringan
jalanan mulai sepi dan istirahat
dan aku tertunduk berpangku lengan
teringat janji baik kampung halaman
menghamburlah segala impian.
2024
Ia Menyanyi Bagai Burung
setiap burung setia berkicau di alam bebas
berkicau pula walau dalam jerat sangkar
seperti pemuda gagah semampai itu
terus bernyanyi mendendangkan heroisme
dengan kepal tangan kiri dan maju ke muka
tak peduli rumah-rumah pinggiran
ditubruk bulldozer pembangunan
disulap menjadi mall-mall dan perhotelan.
bagai kicau burung dalam sangkar
ia bernyanyi dalam bising peremajaan
tata kota, jalan tol, stasiun, bandara
musik koplo, fesyen, bahkan cara bicara.
sungguh, ia masih nyaring menyanyi
meski tak ada yang mendengar
walau suara serak, tenggorokan sekarat,
bahkan terbatuk-batuk percuma.
ia terus menyanyi dan masih akan menyanyi
sambil mencari suara hati dan dentum jiwa
di sudut-sudut kota, perempatan jalan,
gedung dpr, bahkan di depan istana.
suara hati yang pernah bebas melengking
dentum jiwa yang merdeka bergaung
di tubuh buruh, mahasiswa, dan cendekiawan
yang kini mungkin berlumut atau jadi kuburan.
ia masih menyanyi bagai burung di sangkar
meski terlampau naif dan rawan ingkar
tetapi begitulah jalan yang ia pilih
demi menempuh masa depan gemilang
di ketiak kekuasaan menggairahkan
dan sambil terus menyanyikan lagu hafalan
ia memasukkan amplop ke saku celana
: taktik jitu bertahan di jalanan!
sebelum gading retak dan menipu jadi watak
ia menyanyi lirih bahkan hanya di hati
saat terkenang kawan seperjuangan
yang undur kembali ke kampung halaman
menjadi petani tabah dan bersahaja
”maaf kawan, jalanku penuh muslihat
demi cita yang kita pahat bersama dulu”
gumamnya lirih hilang ditelan polusi.
kepada nasib mujur ia menyanyi kini
tak tahan dengan sekian pertanyaan hidup
yang mengiris-iris jiwanya, mencakar otaknya
meledek naluri nuraninya, menampar mukanya
hingga perasan terakhir, busuklah cita-citanya
dalam kardus suara yang dibawa kemana-mana
“niat hati menata ulang dari awal, tapi mustahil!”
dan ia masih menyanyi
seperti burung dalam sangkar.
2024
Bocah Kemarau
lengkung alis wajah kemarau
menetaskan runcing jemari api
tajam panasnya merobek malam
seorang bocah tak bernama
berlari, mencari ujung sunyi
sebelum alis lengkung itu
mencipta tangis kekeringan
dalam peluk sang ibu.
di batas sunyi, angin mendayung
perahu berlayar ke tengah laut
hati bocah memuntahkan masa lalu
menjadi gelombang besar
menggulung hamparan waktu
meruntuhkan dermaga-dermaga tua.
bocah rupawan menelan angin
kulit dingin tubuh ibunya.
dengar, dada bocah bergemuruh keras
derunya mengandung suara impian
menjadi lagu sumbang di kota-kota
dinyanyikan para pengamen,
pemulung, dan kaum peminta-minta.
saat sudah dewasa, bocah pergi ke kota
dengan lengkung alis kemarau di wajahnya.
2024
Pohon Usia
desir daun kering
teduh berbaring di tanah lembab
angin menyapa kenangan di ujung mata
usia berlari-lari kecil
dengan baju biru waktu
di sungai bermain ketipak-ketipung
dan memukul-mukul tubuhku.
di bawah pohon lanjut usia
aku merasa gugur daun teduh itu
lebih mengerti hulu ibu sungai.
perkampungan tumbuh di dada
dipenuhi daun-daun kering
dengan urat-urat janji umur panjang.
sebelum usia kembali ke tanah
lembab maut diantar angin
berbisik di telinga jiwaku
“setiap daun patah
usia gugur tanpa isyarat dan tanda
yang pasti bakal kekal di alam baka”
2024
Elegi Lelaki Tua
lelaki tua bersila menghadap kiblat
di samping pusara bernisan pohon talas
labar daunnya hijau pekat menatap langit
menadah matahari setiap kamis senja
lalu berkomat-kamitlah ia
dengan mata terpejam tengadah.
lelaki tua berambut panjang tergerai
menepati sumpah yang mendarah daging
walau sudah usia renta, masih tegar ia
duduk tegak menghatamkan doa
di sisi gundukan tanah merah
bertabur iris-irisan daun pandan.
syahdan, sejak limapuluh tahun silam
ia tak pernah ingkar pada kamis senja
duduk menatap daun talas di pusara
hatinya membatu membentuk nisan
yang bertuliskan nama kekasihnya
yang ia peluk sepanjang usia.
2024
Ajakan Ngopi
kemarilah, minum kopi di meja sama
kita bisa saling bertukar cerita lama,
mari kita bersulang untuk saling silang
menikmati dinginnya malam rembang
tapi maaf, sehabis kita nikmati kopi
kita mesti bangkit dan menerkam dunia!
2024
BIODATA
Selendang Sulaiman, lahir di Sumenep, 18 Oktober 1989 dan kini mukim di Jakarta. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media massa cetak dan elektronik serta di sejumlah antologi puisi bersama. Antologi Puisi Tunggalnya: Omerta (Halaman Indonesia, 2018). Buku puisi keduanya segera terbit akhir tahun 2024. Bisa dijumpai di IG @selendangsulaiman dan YouTube Channel @selendangsulaimanofficial
Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.