Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

EsaiSastra

Pesona Pessoa dan Pribadi Ganda

Oleh: Sigit Susanto

ABADI: Sosok Fernando Pessoa atau António Nogueira de Seabra Pessoa (1888-1935) di kota tua Lisabon (foto oleh Sigit Susanto)

 

Lisabon

Pada April 2007 saya dan istri melintasi kota-kota di Portugal selama 8 hari dengan rombongan pelancong Swiss. Perjalanan itu dimulai dari ibu kota Lisabon menuju kota Porto dan kembali ke Lisabon lagi. Sebelum bepergian saya biasa menyiapkan beberapa buku terkait negeri itu beserta buku sastra dan para sastrawannya.

Tercatat ada tiga sastrawan besar di Portugal. Pertama, Sang Legenda, Luis de Camoes (1524-1580). Kedua, Fernando Pessoa dengan nama panjang António Nogueira de Seabra Pessoa (1888-1935). Ketiga, José Saramago (1922-2010).

Ketika senja akan tiba, kami berjalan kaki dari penginapan menuju kota tua Lisabon. Sebelum kami mengagumi trem-trem tua warna kuning, kami menatap ada patung logam berdiri kesepian di pelataran dekat kafe-kafe. Patung itu ternyata sosok Pessoa.

Pesona Lisabon adalah pesona Pessoa. Pesona Pessoa pada Lisabon diwujudkan pada karya-karyanya. Karya yang dianggap paling terkenal berjudul Livro do Desassossego (Kitab Runyam). Pessoa bekerja dan tinggal di Lisabon. Bahkan dia dianggap sebagai penyair nasional sekaligus sebagai Bapak Sastra Portugal. José Saramago mengabadikan sosok Pessoa pada novelnya berjudul O Ano da Morte de Ricardo Reis (Tahun Kematian Ricardo Reis). 

Tak sampai di situ, untuk menandai keakraban Pessoa dengan Lisabon dan dengan sesama seniman, didirikanlah Restorante Pessoa, yang terletak di Rua dos Douradores, Lisabon. Meskipun Pessoa dilahirkan tahun 1888 di Lisabon, tapi masa kecil dan remajanya dihabiskan di luar Lisabon. Pada usia 6 tahun, Pessoa menulis puisi yang pertama kali. 

 

O negeri Portugal 

Padamu aku lahir ke dunia 

Dan betapa indah aku hampiri 

Ibu yang paling kucintai 

 

Ibu dan negeri, tampaknya menempati ruang khusus di hati Pessoa. Ketika Pessoa berusia 8 tahun, ia mengikuti ibunya, Maria Madalena Nogueira Pessoa, ke negeri asal sang ibu, di Afrika Selatan. 

Ibu Pessoa dari keluarga bangsawan yang terdidik, maka tidak heran, sang ibu fasih berbicara bahasa Prancis, Italia, dan Jerman. Bahkan ibu Pessoa bisa membaca bahasa Latin. Di sana, Pessoa masuk sekolah dasar dan sekolah menengah, kemudian sekolah dagang. 

Dia menulis dan membaca karya sastra klasik dalam bahasa Inggris. Jiwa Pessoa tampaknya juga dipengaruhi oleh kehidupan budaya dari Afrika Selatan, Eropa, dan Asia. 

Tahun 1905, Pessoa kembali ke Lisabon. Di Afrika Selatan, dia merasa sebagai orang asing, di samping bahasa Inggris bukanlah bahasa ibunya. 

Di Lisabon dia tinggal beberapa tahun dengan tantenya, Anica. Pessoa punya tendensi tertarik pada dunia eksoterik. Dia disebut-sebut merasa bisa melihat aura manusia. Bekas tempat tinggal Pessoa di Lisabon sekarang dipakai sebagai museum. Museum itu bernama Casa Fernando Pessoa, beralamat di Rua Coelho da Rocha, 16, Campo de Qurique. 

Sebuah manuskripnya dengan 27.543 halaman yang tersimpan di peti, bisa didapati di museum tersebut. Memang kebanyakan karya Pessoa tidak diterbitkan, namun disimpan di peti. Ketika dia meninggal, ditemukan 24.000 fragmen karyanya. 

Pessoa meninggal pada bulan November 1935 di Lisabon. Menjelang kematiannya, dia sering kecanduan alkohol. Pada tahun 1992 untuk mengenang jasanya, didirikan universitas Fernando Pessoa. 

Sisa waktu sore itu, kami masih bercengkerama dengan Lisabon, bertemu dengan stasiun, alun-alun, toko, trotoar, restoran, dan jalanan yang sedang direnovasi. 

Ketika kami sampai di pinggiran kota, ada kios dengan penjual berwajah Asia. Saya menghampiri, siapa tahu dia laki-laki asal Timor Timur dulu?  Setelah bercakap-cakap, ternyata ia dari Bangladesh.

Malam menggerayang, kami menyusuri jalan batu kota Lisabon. Di sela-sela rumah kuno, terdengar musik akordeon dari jendela pecah. Kami memasuki gedung itu dan duduk menikmati lantunan ibu tua menyanyi. Iringan akordeon dan musik lain itu disebut seni Fado. Konon musik keroncong kita diilhami musik Fado dari Portugis. Kalau didengarkan iramanya memang slow-motion, cocok untuk mengantar tidur.

 

Heteronim pada Kitab Runyam

Di bawah ini ringkasan serta kutipan secara acak dari buku Pessoa versi bahasa Jerman Das Buch der Unruhe (Kitab Runyam). Tebal 302 halaman, diterbitkan Ammann Verlag di Zürich tahun 1985. Isi buku ini membuktikan faktor heteronim dan kegundahan batin Pessoa dalam kehidupan sehari-hari. Pessoa mengumbar imajinasi liar pada dunia dan sekitarnya dan selalu berpangkal dari diri sendiri.

Tak jarang paparan Pessoa menyertakan tanggal, bulan dan tahun, misalnya: 18.5.1930. Kadang diberi judul di sebuah kafe, suatu hari, fragmen sebuah otobiografi, dan Omar Khayyam.

Dalam buku itu terpapar sosok penulis yang saat menulis merasa didikte, seolah seorang teman yang mendikte dia. Teman itu bisa punya hak untuk meminta, supaya yang didiktekan itu untuk ditulis. Pessoa menganggap cara seperti itu menarik, justru dianggap sebuah jalinan bersahabatan, karena diktat itu telah Pessoa tulis.

Secara pribadi, Pessoa mengenal pengarangnya, penulis-penulis yang minta dituliskan karya-karyanya itu, meskipun tak tahu kepribadiannya. Jika Pessoa suatu kali merasakan sebuah kepribadian, Pessoa akan segera sadar, bahwa kepribadian itu berbeda dengan dirinya. 

Betapa pentingnya ada makhluk serupa mengurusnya. Anggap saja itu anak roh sebagai pewaris karakter. Tetapi semua perbedaan dari manusia yang lain.

Keanehan pengarang merupakan bentuk dari histeri atau yang biasa disebut kepribadian ganda yang karyanya ditulis oleh Pessoa. Pessoa adalah budak dari variasinya sendiri. Jika dia tak memerlukan, jika dia atau setiap teori tentang hasil tertulis dari kesepakatan variasi ini.

Ada kisah tokoh Pessoa mengamati seorang pemuda kurus berusia sekitar 30 tahun. Pemuda itu terus dipantau dari hari ke hari. Pada kesempatan malam tiba, tokoh Pessoa dan pemuda bertemu. Pemuda itu bertanya pada tokoh Pessoa, “Apakah tokoh saya berkegiatan sastra?” Tokoh Pessoa menjawab, ”Ada koran Orpheu yang saya kerjakan.”  

Koran Orpheu merupakan koran tentang modernisme Portugal, terbit tahun 1915. Bahkan pemuda itu bisa menjelaskan lebih rinci. Tentu hal itu membuat tokoh Pessoa kagum. Cuma dia tak tahu dengan siapa kesukaannya itu harus dibagikan. 

Malam semakin larut. Dari sini Pessoa sepertinya sedang menggambarkan dirinya yang muncul dalam dua kepribadian ganda. Satu sisi ia sebagai tokoh Pessoa dan sisi lain ia juga sebagai tokoh pemuda, orang ketiga tunggal.

  • “Ketika generasi lahir dan saya termasuk di dalamnya, terasa bahwa dunia tak membantu orang-orang dengan hati dan otak. Pekerjaan yang terkoyak itu telah berdampak. Tak ada keamanan yang bisa ditawarkan dari segi moral, politik dan agama.”
  • “Kami terperosok pada metafora ketakutan, moral dan politik. Karena kritik terhadap mitos agama Kristen dan alkitab, telah ambruk.”
  • “Saya termasuk mewarisi generasi yang tak mempercayai keyakinan Kristen. Orang tua kami masih memiliki keyakinan agama yang impulsif. Dan orang memaknai agama dengan bentuk ilusi yang berbeda.”
  • “Saya tak memiliki tubuh saya – bagaimana saya juga bisa memilikinya? Saya tak memiliki jiwa saya – bagaimana bisa memilikinya? Saya tak memahami roh saya – bagaimana saya bisa memahami bantuannya?”
  • “Semua yang bukan jiwa saya, bagi saya, juga meskipun saya menginginkannya, tak seperti itu, karena itu hanya gambaran panggung dan dekorasi.”
  • “Saya tak pernah berpikiran bahwa bunuh diri itu sebagai solusi, karena saya mencintai sekaligus membenci kehidupan. Saya punya waktu untuk memprotes kesalahan kehidupan.”
  • “Ketika suatu saat saya lahir di bumi, yang mana sebagian besar anak muda sudah tak percaya kepada Tuhan lagi, padahal nenek moyang mereka telah mempercayainya, tanpa tahu apa alasannya.”
  • “Sebagian besar anak muda ini telah memilih berlatih mengkritik jiwa kemanusiaan yang berangkat dari alam. Sebab ia merasa, bukan berpikir, kemanusiaan sebagai pengganti Tuhan.”
  • “Saya selalu tergolong menjadi manusia yang berdiri di tepi, bukan melihat dalam kerumunan massa dan membentuknya. Sebab itu saya termasuk orang yang tak menyerahkan diri kepada Tuhan.”
  • “Saya ingin meninggal, kalau sudah waktunya nanti, tapi tidak karena kepala saya pusing.”
  • “Kita itu mati. Seolah kita terlihat hidup, dan tidur itu merupakan kehidupan yang sebenarnya, termasuk kematian di dalamnya.”
  • “Saya tak tidur: saya hidup dan bermimpi atau dengan kata lain, saya bermimpi dalam hidup, dan dalam tidur, itu sama saja dalam kehidupan.”
  • “Hidup itu sebuah uji coba perjalanan yang dilakukan dengan tidak bebas. Hidup itu sebuah perjalanan ruh melalui dunia materi dan jiwa, yang menyatu padu dengannya.”
  • “Perjalanan? Eksistensi itu sama dengan perjalanan. Saya bepergian dari hari ke hari dengan kereta api  dari stasiun ke stasiun memakai tubuh saya atau nasib saya, mengarahkan saya menyeberangi jalan, terus bergerak, dan selalu sama, dan selalu bertemu dengan wajah-wajah berbeda, bahkan mirip dengan panorama.”
  • “Sejarah menolak stabilitas. Ada tahap tatanan yang rapi dan tahap yang kacau, semua menyublim.”
  • “Tak seorang pun sampai sekarang ada yang bisa paham sebuah bahasa, yang mendefinisikan pada darah dagingnya, apa yang telah memuakkannya.”
  • “Onani adalah tindakan tercela, tetapi jika orang memerhatikan lebih saksama, sebetulnya itu tindakan yang benar-benar masuk akal dari sisi libido. Tindakan itu bukan merupakan pamer atau berbohong.”
  • “Saya sadar, bahwa saya selalu berpikir pada dua masalah dalam waktu yang bersamaan dan mengurusnya dengan sangat hati-hati. Saya pikir, banyak orang tak seperti saya. Ada kesan tersendiri, bahwa itu menjadi tak jelas. Sebab semuanya baru disadari belakangan.”
  • “Saya pikir itu bagian dari cikal bakal kepedulian ganda semua manusia.”
  • “Saya menulis dengan penuh perhatian pada buku-buku penting yang bengkok.”
  • “Tragedi utama kehidupan saya, seperti semua tragedi yang berisi nasib ironi. Saya menolak kehidupan yang sebenarnya, seperti sebuah kutukan.”
  • “Saya menolak impian, seperti pembebasan yang tak nyaman. Tetapi saya mengalami kehidupan yang penuh kotoran dalam kehidupan sehari-hari.”
  • “Cahaya matahari tiba-tiba menjatuhi diri saya, tiba-tiba menyorot dengan tajam. Pada waktu yang sama warna itu lenyap, cahayanya mengilat.”
  • “Ah, pemisahan antara warga dan rakyat, antara bangsawan dan rakyat atau pemerintah dan penguasa, akan membuat revolusi.”
  • “Penghiburan saya dalam kantor yang kecil, yang memiliki jendela kotor, yang mengarah ke jalan yang indah.”
  • “Saya selalu hidup di zaman sekarang. Saya tak mengenal masa depan. Masa silam sudah tak saya miliki lagi. Salah satu membebani saya dan kecenderungannya semua membebani, yang lain tak mencerminkan realitas. Saya tak punya harapan dan kerinduan. Yang saya tahu kehidupan saya hanya sampai hari ini – begitu banyak masalah justru sebaliknya dari yang saya inginkan.”
  • “Cinta yang romantis itu akan menuju  ke sebuah jalan kekecewaan. Orang akan paham, jika ia sudah menghitung dan mempertimbangkan sejak awal, yang ideal mengganti pakaian baru dan tetap sigap di dalam bengkel jiwa, melalui pandangan makhluk dengan berpakaian dan tetap sigap.”
  • “Tetap saja perseteruan ahli drama antara William Shakespeare dan tokoh Pendidikan John Milton. Antara gelandangan Dante Alighieri jika didampingkan dengan Yesus Kristus yang tak menciptakan dunia.”

 

Menunggu 47 Tahun Diterbitkan

Masterpiece Pessoa berjudul Kitab Runyam itu baru pertama diterbitkan tahun 1982. Tepat 47 tahun setelah kematian penyairnya tahun 1935. Usia Pessoa juga pendek, hanya berusia 47 tahun (1888-1935).

Keterlambatan publikasi karya itu disebabkan oleh kesabaran penulis mempersiapkan prosa yang rumit dengan kalimat-kalimat panjang itu. Akhirnya berhasil diterbitkan oleh editor Maria Aliete Galhoz dan Teresa Sobral Cunha yang kerja keras.

Pessoa menulis prosa ini selama 20 tahun. Tulisan pertama pada tahun 1913 dan tulisan terakhir tahun 1934. Dari kurun waktu penulisan yang lama itu, hanya karya awal yang sempat dipublikasikan di media. Karya awal itu masih berciri simbolis penuh.

Esensi karya puitis Pessoa merupakan “Seni Modern adalah Seni Impian.” Impian itu berhadapan dengan realitas. 

Pada tahun 1930, Pessoa menulis dengan dibantu Bernardo Soares. Kedua pengarang ini selain ada kemiripan, tapi juga sama-sama tinggal di kota tua Lisabon. Perbedaannya, bahwa Bernardo Soares tak memiliki heteronym, melainkan memiliki kepribadian literaris. Robert Brechon, kritikus Prancis memberi julukan, karya Pessoa ibarat “Buku Harian Seorang Tahanan.”

Pessoa tak tergiur ide-ide Marxisme-Leninisme dan menolak komunisme. Ia lebih tertarik rahasia hidup manusia secara individu. 

Kitab Runyam itu mengusung kedalaman eksistensi filsafat. Seluruh kehidupan kegundahan penyairnya ia tumpahkan pada karya ini. Dengan kata lain bisa digambarkan, “Apa yang kita lihat, bukan itu yang dilihat, melainkan itulah kita.”

Karya Pessoa ini bisa dianggap metafora Portugis yang menjadikan karya modern di masa depan. Inilah moral Pessoa secara pribadi. 

Tak akan bisa ada kesedihan dari pembaca. Sebuah eksistensi kesedihan yang tak diharapkan. Tapi angin dan cahaya matahari akan membasuh dengan lembut. 

Dari sinilah keyakinan nilai sastra yang tak tergoyahkan. Dalam seni tak ada kekecewaan, karena kekecewaan itu datang sejak awal. 

Pertanyaannya, apakah buku ini buku sedih? Orang menganggap, ini adalah buku sedih Portugal. Tetapi ini buku yang penuh keyakinan pada seni, awal kekecewaan.

Pessoa berujar, “Sastra tampak bagi saya sebagai tujuan, …akan mendorong setiap orang berupaya dengan keras secara kemanusiaan, tak menyisakan sifat kehewanan…bergerak artinya hidup, bersaksi artinya hidup terus.”

Referensi:
Pessoa, Fernando. 1985. Das Buch der Unruhe. Zürich: Amman Verlag AG.
Susanto, Sigit. 2008. Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Yogyakarta: Insistpress.

 

BIODATA

Sigit Susanto lahir di Kendal, 21 Juni 1963. Ia tamat AKABA 17 – UNTAG Semarang tahun 1988. Sejak April 1996 ia menetap dengan istrinya Claudia Beck, warga Swiss di kota Zug, Switzerland. Ia telah khatam lima kali membaca novel Ulysses karya James Joyce pada Reading Group di James Joyce Stiftung Zürich selama 15 tahun (2006 – 2021). Ia salah satu pendiri dan moderator Apresiasi – Sastra (APSAS) di internet sejak tahun 2005. Ia salah satu pendiri Komunitas Lereng Medini (KLM) di Boja, Kendal. Pendiri dan pemilik perpustakaan Pondok Maos Guyub di Boja, Kendal. Ia koordinator Jemuran Puisi (Gedicht Pflücken) di pinggir danau Zug, Switzerland setiap musim panas sejak tahun 2011 hingga tahun 2019. Ia bekerja di restoran dan selama 26 tahun tinggal di Switzerland. Ia bersama istrinya telah melancong ke 44 negara.

Karya-karyanya antara lain Sosialisme di Kuba (2004), Pegadaian (novel; 2004), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia 1 (2005), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia II (2008), Menyusuri Lorong-Lorong Dunia III (2012), Kesetrum Cinta (2016), Jejak-Jejak yang Tertinggal (puisi, 2023), Si Bolang dari Baon (novel, 2024). Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra dari bahasa Jerman ke bahasa Indonesia, seperti:  Proses karya Franz Kafka (2016), Surat untuk Ayah karya Franz Kafka (2016), Metamorfosis karya Franz Kafka (2018), Percakapan dengan Kafka karya Gustav Janouch (2018), Novelet Catur karya Stefan Zweig dalam proses penerbitan).


Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!