Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

PuisiSastra

Puisi-Puisi Kardanis Mudawijaya

Ilustrasi: Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang

 

Membaca Tanah Air Mata Air

Bagaimana kau bisa memahami
kebudayaan tanah dan air
Jika kau kirim sampah sampah
Yang hanya mengotori sungai-sungai
Telah lama saluran saluran dalam tubuh
Teracuni

Kebusukan yang kau kirim
Atas nama kesucian dan marwah nusantara.
Tak lebih seperti benalu
yang menempel
Di pohon pohon besar
Lebih hina dari para pelacur
pengemis juga pencopet
yang milih pekerjaannya
di jalanan.

Kami telah menyelami agama air
Dimana kami belajar mengalir
Di mana kami belajar membasuh
Menentramkan rasa haus

Seperti bagaimana kami menjaga
subak subak kami.
Telah lama kami saling berbagi tanpa menyakiti.

Kini sampah sampah lebih banyak
Memenuhi punggung kami
; punggung tanah Bali
di mana kesuciannya terjaga
Jangan kotori harga diri air kami
Air mata kami agama air tanah Bali.

 

Di Laut Waktu Aku Datang Padamu

Aku datang
Melihat apa yang tampak
Pada haru biru laut
Pada impian sanubari tak usai
Selepas fajar mengusik bayang
Pantulan hasrat perjalanan
Penuh gairah
Pada mata yang tidak pernah hilang
Pada mata bintang incaran masa depan

Di laut aku membawa mata telanjang
Melepas satu satu yang membeku
Yang melekat dan berkarat di punggung waktu
Aku melihat seluruh mata waktu yang berdebu
Seluruhnya menyatu.

Membawa waktu laut
Dan pulang menyerahkan seluruh cinta untukmu.

 

Puisi Ruang Sunyi

Di ruang sunyi
sekencang apa kau teriakkan puisi
Entah ke kemana suara itu menepi.

Dalam teriakan sesungguhnya
Kau telah memanggil batinmu
Kau kesepian
Dengan pencarian demi pencarian
Kau butuh mengangkat dadamu tinggi
Tapi sesak membuat kau berteriak
Yang sesungguhnya menangis.

Kau melihat dalam pertarungan
Bagaimana harus berani
mengambil keputusan
Membunuh bayangan yang sakit
Atau dibunuh bayangan sakit sendiri.

Tidak ada orang begitu saja Menyelamatkanmu

Katakan dalam keyakinanmu
Aku tidak membutuhkan
Kau selamatkan aku
Aku butuh
Kau Aku peluk
Dalam istirahatku.

Di ruang sunyi
Suarakan puisi itu Dengan suara hati
Rasakan ke kemana suara itu menepi.

 

Merayakan Kebebasan Air

Yang tiada henti menghilang
Yang terus diabaikan dan dibuang
Terus murni di kedalaman pasir
Air dalam lingkaran kemuliaan
Bagai pagi menjerat
Tumbuh mengembang
Menghidupkan dan menumbuhkan.

Begitu banyak gempita
orang orang berkepentingan
Merayakan tumbuhnya kehidupan
Tapi di banyak sebagian hidup
Kehilangan mata air ruhani
Kemudian atas nama cinta
Melumuri noda penuh doa doa
Air terjerat
Ke dalam tangki tangki keserakahan.

Di mata rahasia
Mata para batin mulia menyambut
Air di sungai sungai
Nyanyiannya gemericik hidup
Mengalir menyegarkan badan.

Air adalah pagi
Di laut bagai syair gelombang terjaga
Hingga tariannya menandakan gerak maju penuh gelora
Bisa menjadi marabahaya.

Setiap hari air menghidupi kehidupan
Setiap hari melepas air
Bagi kehidupan dengan doa
Bukan noda perayaan yang didengungkan
Yang membuat kehidupan terancam
Akibat menjerat air.

Air pagi hari
Kebanggan dan kemuliaan yang bercahaya
Mengenakan mahkota sederhana
Mengalir sepanjang kehidupan

Air masa depan kehidupan
Bayang yang disinari matahari
Ia tumbuh mengembang dan ditampung
Menjaga tatanan yang menyegarkan dan menundukkan seluruh badan.

 

Dalam Kekosongan

Bila suatu waktu aku tak lagi bersamamu
Ingatlah kita pernah bercengkrama
sepanjang waktu selalu memberi dentang
Tapi begitu saja dilewatkan
Begitu saja hingga minta
Waktu kembali
Ada keangkuhan membenam di dada
Ada kesedihan berkaca di mata
Ada tertawa membekas di wajah
Menjadi riwayat membuat batu nisan di badan
Kita tanam
Kita tanam
Kelahiran begitu putih
Yang kemudian menjadi warna sukacita
Ah, kegilaan
Kejujuran yang telah melepaskan pakaian
Lupa wewangian
Bersama irama angin
Menari nari

Bila tidak ada lagi dentang waktu
Datang mengingatkan
Waktu bersamaku
Setidaknya kita setia dengan dentang kematian
Dan kehidupan menjadi nyata mengingatkan
Bahwa telah datang
Hari baru
Dentang waktu
Debu dan abu
Dan kekosongan itu
Membawa
Landas
Berirama
Mengalir
Berakhir
Ning.

 

BIODATA

Kardanis Mudawi Jaya. Lahir di Karangasem, Bali, 1974. Buku puisinya berjudul Kalimah (2013). Selain menulis puisi, ia juga menekuni teater.

Renta Ivonne Dewi Arimbi Situmorang lahir di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, 21 September 1980. Dia belajar melukis secara otodidak menggunakan media kertas, batu, kayu, dan kanvas. Kini dia menetap Zaltbommel, Belanda. IG: @ivonnearimbi.

Berita Terkait

Back to top button

Konten dilindungi!