Informasi: Rubrik Sastra Balipolitika menerima kiriman puisi, cerpen, esai, dan ulasan seni rupa. Karya terpilih (puisi) akan dibukukan tiap tahun. Kirim karya Anda ke [email protected].

Hukum & Kriminal

Tragedi PWF 2024 Bukti Ruang Kebebasan Sipil Dikerdilkan

NEWORBA: Panitia dan sejumlah peserta The People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air Milik Rakyat Sedunia disekap di Hotel Oranje, Hayam Wuruk, Denpasar, Bali, Senin, Selasa, dan Rabu, 20-22 Mei 2024. Tampak pencabutan atribut PWF oleh ormas intoleran perusak demokrasi.

 

JAKARTA, Balipolitika.com- Jaringan Masyarakat Sipil mengecam segala bentuk peretasan, ancaman, intimidasi, dan pembubaran paksa yang dialami oleh panitia pelaksana dan para peserta The People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air Milik Rakyat Sedunia yang digelar di Hotel Oranje, Hayam Wuruk, Denpasar, Bali, Senin, Selasa, dan Rabu, 20-22 Mei 2024. 

Represi tersebut dilakukan oleh sekelompok ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) dengan dalih pengamanan di sekitar Bali serangkaian perhelatan World Water Forum 2024.

Dari informasi yang kami dapatkan, panitia pelaksana telah mengalami berbagai intimidasi yang diduga dilakukan guna menghambat pelaksanaan PWF sejak 4 Mei 2024. 

Intimidasi tersebut bermula dari pihak kepolisian yang mendatangi salah satu rumah milik Direktur Yayasan Bintang Gana selaku panitia nasional pelaksana, pembatalan secara sepihak lokasi pelaksanaan dan penginapan, hingga pada banyaknya peretasan WhatsApp dan tautan registrasi. 

Pada hari pelaksanaan, kelompok Ormas PGN berulang kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan PWF 2024 agar dihentikan dan segera dibubarkan karena dianggap melanggar himbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait World Water Forum (WWF) di Bali. 

Pembubaran tersebut dilakukan dengan melakukan perampasan banner, baliho, atribut agenda secara paksa, dan melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum.

Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia menyoroti agenda PWF di Bali.

“Apa yang terjadi di Bali ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, bagaimana bisa forum masyarakat sipil dibubarkan dan dibiarkan? Pertama, jika benar pembubaran ini dilakukan karena alasan menghambat jalannya konferensi internasional, ini patut kita pertanyakan. Kedua, seharusnya hari ini kita merayakan 26 tahun reformasi namun kita justru berkabung karena terjadi intimidasi terhadap kerja-kerja para Pembela HAM,” jelas Nurina Savitri 

Nurina Savitri menilai berbagai kekerasan yang terjadi di PWF 2024 telah melanggar berbagai hak yang telah dijamin oleh konstitusi, di antaranya hak atas rasa aman, hak atas bebas berkumpul, dan bebas untuk mengemukakan pendapat. 

Pengaturan mengenai hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

“Kami mendapat aduan bahwa sekitar 8 orang yang terlibat dan bahkan yang tidak terlibat dalam kepanitiaan PWF mendapatkan upaya pengambilalihan akun WhatsApp. Pengabaian terhadap upaya intimidasi dan peretasan terhadap panitia dan orang-orang yang terlibat menunjukkan gelagat otoritarianisme digital yang dilakukan oleh negara,” tandas Nenden dari SAFEnet.

Selain isu peretasan dan intimidasi, ormas PGN juga melakukan penghalang-halangan pada kerja jurnalis. 

Nani, Ketua AJI Indonesia menekankan bahwa jurnalis harus diberikan ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme tanpa mendapatkan ancaman. 

“Dalam melakukan pekerjaannya wartawan atau jurnalis dilindungi Undang-Undang (UU) Pers no 40/1999. Jurnalis juga memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi yang berguna untuk publik,” tegasnya. 

Andrie dari KontraS juga menambahkan bahwa peristiwa pembubaran Forum PWF 2024 juga telah mencederai prinsip kebebasan akademik yang diatur dalam Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF) 2017, yakni prinsip terkait tanggung jawab otoritas yang harus melindungi dan menghormati kebebasan akademik.

Namun yang terjadi, negara justru melakukan pelanggaran baik dilakukan secara langsung (by commission) maupun pembiaran (by omission). 

“Kami juga menyoroti secara khusus keterlibatan kelompok Ormas PGN yang diduga diakomodir oleh kebijakan Polri melalui Peraturan Polri (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Padahal, selain berpotensi menimbulkan konflik antar masyarakat, tindakan represif yang berujung main hakim sendiri, serta pengerahan massa secara tidak akuntabel, peraturan ini juga membangkitkan trauma masyarakat berkaitan dengan peristiwa pada Mei 1998. Seperti yang terjadi lagi hari ini. Di bulan Mei pula,” sentil Andrie.

Digarisbawahi bahwa forum ini dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk mencapai akses keadilan atas air.

Sayangnya, forum penting yang juga dapat mendorong keadilan iklim ini dibubarkan secara paksa. 

“Hari ini kita menyaksikan kegagalan polisi sebagai representasi negara melindungi kebebasan sipil dengan membiarkan kekerasan dilakukan ormas PGN pada kegiatan PWF di Bali. Kita tidak mungkin bisa mencapai keadilan iklim jika kita tidak bisa menghargai dan melindungi kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat oleh masyarakat khususnya dalam isu lingkungan. Jangan sampai Forum Air Dunia yang harus menyelesaikan masalah krisis air malah gagal mengakomodasi aspirasi rakyat soal pengelolaan air dan hanya menyisakan air mata bagi rakyat republik ini,” ungkap Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia.

Senada dengan Sekar, Fanny Tri Jambore dari WALHI menegaskan terkait dengan intimidasi terhadap pembela HAM lingkungan yang semakin banyak.

“Dalam catatan WALHI ada 827 kejadian seperti kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, angka ini sangat tinggi dan belum selesai jika rezim masih melakukan praktek yang sama,” ulasnya. 

Ainul dari Protection International Indonesia juga meminta secara khusus pada Komnas HAM untuk segera turun melakukan investigasi dan menangkap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan kepada pembela lingkungan.

“Kami menyerukan pada Komnas HAM untuk segera berkoordinasi dengan aparat kepolisian untuk menghentikan praktik serangan dan sekaligus memberikan perlindungan pada peserta dan panitia PWF yang saat ini sedang dikepung,” pinta Ainul. 

Zainal dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di akhir menegaskan bahwa selama 26 tahun rezim otoriter tumbang, namun watak-wataknya masih dijalankan.

Salah satunya adalah hari ini masih terjadi praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat. 

“Kejadian ini mengingatkan kita bahwa selama 10 tahun kita dipimpin oleh rezim orang jahat karena hanya orang jahat yang berusaha membungkam suara-suara yang kritis dan risih dengan suara kritis. Ini menunjukkan bahwa sudah tidak ada yang tersisa dari reformasi, ketika masyarakat sipil takut untuk bersuara dan menyuarakan pendapat mereka,” pungkasnya.

Pengaturan terkait hak-hak, sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan-undangan, secara tegas telah memberikan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia setiap orang.

Ruang-ruang kritis yang seharusnya dijadikan ruang perlindungan justru terus diberangus. 

Berbagai pelanggaran dan kekerasan terkait kebebasan dasar manusia menjadi alat pembungkaman yang terus dinormalisasi oleh negara. 

“Kami menilai represi atas kebebasan sipil yang terus berulang dalam momentum pelaksanaan forum internasional sengaja untuk terus dilanggengkan. Keberulangan ini menjadi ancaman serius terhadap kehidupan berdemokrasi, sebab kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi kunci utama dalam terlaksananya demokrasi. Kami mendesak agar pertama, Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Polda Bali melakukan upaya hukum dengan segera dan komprehensif terhadap aktor-aktor yang melakukan tindakan kekerasan kepada Panitia Pelaksana dan Peserta PWF 2024; Kedua, Komnas HAM segera melakukan pengusutan mengenai dugaan keterkaitan sejumlah peristiwa represi kebebasan sipil dengan kebijakan Pam Swakarsa; Ketiga, Pemerintah Republik Indonesia harus menjamin, menghormati serta memenuhi hak asasi manusia setiap orang sesuai dengan Konstitusi dan hukum yang berlaku,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), SAFEnet, Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, dan Protection International Indonesia. (bp/ken)

Berita Terkait

Baca Juga
Close
Back to top button

Konten dilindungi!