Ilustrasi: Ni Putu Sunindrani
Bulu Sebatang
Seumpama kita adalah sepasang dari bulu sebatang,
yang dikerat mesin waktu berjalan mundur,
tiba-tiba menjelma kisah-kisah.
Di peraduan, tanah nun jauh,
gelisahmu menanti kabar seseorang
bernama Rama,
tiadalah aku kuasa menulis
nasibmu,
karena aku hanyalah
tubuh hutan gelap belantara.
Kau, serpihan keinginan yang
tak genap menjelma ingin.
Meski aku kerap memaksa
menjadi pura-pura yang
ingin bahagia.
Kau dan aku, selamanya
menjadi bulu yang melintang,
berpotongan,
dan tak bisa tegak lurus
menuju-Nya.
Ponorogo, Maret 2024
Dipotong Sama Panjang
Sewaktu kecil, bapakmu rajin
mengisahkan nama-nama.
Di pondok dari bambu tua,
yang digosok air rendaman waktu.
Masa silam, berkecimpung di dalamnya,
dan aku teronggok sebagai nama
yang lupa
dikisahkan.
Ibuku jadi lebih rajin memasak nama-nama,
di tungku yang melegamkan bokong wajan,
aku membayangkan
apakah namamu ikut legam,
karena telah genap seratus nama,
hingga nama-nama yang mungkin
saja ibu lupa,
tetapi ibu tetap lupa,
menyebut namamu.
Kita duduk di pondok
bambu tua itu,
sambil berbisik satu sama lain,
“Tuhan memotong nasib kita,
sama panjang.”
Ponorogo, Maret 2024
Petak Umpet
“Biar aku yang jaga!”
“dan aku akan bersembunyi dari
pura-pura,”
kau berlari ke pondok,
merapal mantra-mantra.
Mantra pengasih hingga penguat
rahim untuk anakmu, kelak.
Dan aku terus berjaga di sana,
menunggu hitungan ke hitungan
enam ribu dua ratus lima,
tepat di hitungan itu,
orang-orang tiba-tiba
ikut berjaga,
mencarimu
yang mekar oleh
rapal mantra asih.
tetapi, aku gagal menemukanmu.
ternyata kaulah yang
melanjutkan berjaga.
sambil tetap bersembunyi
dari pura-pura.
sedangkan aku,
dipaksa berpura-pura
sembunyi,
oleh kedua orang tuaku.
Ponorogo, Maret 2024
Selembar Daun Pisang
Apabila hari mendadak hujan,
kukerat lembar daun pisang paling lebar,
menunggumu lewat depan rumahku.
Kita pernah pergi sekolah bersama,
dan kau pernah mengatakan padaku
:pantang pisang berbuah dua kali,
“pantang pergi bila kau tak lewat di sini”
—jawabku
Aku menunggu dan terus menunggu,
hingga lembar daun pisangku layu,
dan hujan sekonyong-konyong
menjadi deras, memutar waktu
yang kian keras.
waktu demi waktu
membuat batang usiaku coklat,
—layu
dimakan hujan yang
mendadak berhenti
di usia kita
pergi sekolah bersama.
Ponorogo, Maret 2024
BIODATA
Sapta Arif. Menulis puisi dan cerita-cerita. Berkarya dari komunitas Sutejo Spektrum Center (SSC) dan pengajar apresiasi prosa di STKIP PGRI Ponorogo. Peserta Residensi Literatutur Gresik yang diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah bekerja sama dengan Kemendikbud RI. Kenali lebih hangat melalui IG: @saptaarif
Ni Putu Sunindrani lahir di Denpasar, 10 Maret 1979. Dia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan garmen di Denpasar. Karya-karyanya banyak menjadi ilustrasi puisi di media online Bali Politika. Melukis baginya adalah terapi batin dan sarana menghibur diri. IG: @putusunindrani.