PRODUCT CREATED: Sosok Tan Lioe Ie, Penyair, Pegiat Puisi-musik, tinggal di Denpasar, Bali.
INDUSTRI PARIWISATA adalah industri dengan multiplier effect tinggi. Tak hanya yang di dalam “lingkaran” seperti hotel, tour operator, guide …, yang di luar ‘lingkaran” ikut menikmati hasilnya. Tidak heran, banyak negara mendorong pengembangan industri ini, termasuk “pendatang baru” seperti Uni Emirat Arab (UEA), Qatar. Di Dubai, UEA, supermarket menyediakan “haram food”, sementara di Korea Selatan (Korsel) wisata akrab bagi Muslim dikembangkan. Ini adalah pilihan rasional, karena meminjam ungkapan lama: ‘Pembeli (baca wisatawan) adalah raja”.
Di Korsel penggalakan pariwisatanya didukung pemerintahnya secara luar biasa, sehingga tak heran sebelum pandemi jumlah wisatawan ke Korsel mencapai lebih dari 17 juta, sementara Indonesia sebelum pandemi baru menargetkan sekitar 15 juta wisatawan.
Di masa Orde Baru, saya dan sepupu saya pernah diundang ke sebuah hotel di kawasan wisata Kuta, Bali, untuk acara dinner berupa makanan Korea. Food and beverage, memang tak dapat dilepaskan dari industri pariwisata. Diadakannya acara ini tentu tak lepas dari upaya menarik wisatawan agar berkunjung ke Korsel pun yang sedang di Bali, serta penduduk Bali untuk mengenal dan membeli makanan Korea. Bayangkan begitu dini promosi ini sudah dilakukan, dan terbukti dengan didukung upaya lainnya, kini kita dapat temukan restoran makanan Korea tumbuh di Bali dan daerah lain di Indonesia.
Dari pasangan suami istri asal Korsel yang dulu saya temani bersama paman saya ke obyek wisata danau, Bedugul, saya mendengar Korsel tak memiliki danau. Dari sumber lain saya tahu Korsel memiliki danau buatan. Menurut Tengsoe Tjahjono yang pernah beberapa tahun bermukim di Korsel, danau tersebut bahkan dibuatkan “sejarahnya”. Sebaliknya di China danau Xi Hu, yang ada “sejarahnya” diperdalam agar bisa dilayari kapal yang cukup besar untuk wisata air, dan dibangun pula Pagoda kecil di lokasi wisata ini, sesuai “legenda” Siluman Ular Putih yang sinemanya pernah populer di Indonesia (Ini salah satu bukti karya sinematografi dapat mendukung industri pariwisata). Apa yang dilakukan Korsel dan China ini, contoh pentingnya “product created” dalam industri pariwisata.
Menyangkut product created di sektor pariwisata, Indonesia termasuk tertinggal. Ada gagasan cemerlang terkait product created dari Menteri Agama Republik Indonesia (Mestinya gagasan ini muncul dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), yang dilontarkan Tahun 2021 lalu untuk menjadikan Candi Borobudur sebagai pusat ibadah Umat Buda se-Dunia, yang “dinyinyiri” beberapa orang, yang sebaiknya tidak digubris. Pemerintah tidak boleh kalah dalam hal ini. Semoga tahun ini gagagsan Menteri Agama(Menag) ini mulai diwujudkan. Bayangkan jika pada hari besar agama Buda, umat Buda dari berbagai negara, berdatangan ke Borobudur.
Saya pernah mengikuti retret Vipassana di sebuah Vihara di Bali Utara, diikuti juga oleh orang kulit putih dan Jepang, padahal ini tanpa promosi besar-besaran. Jika ini secara terencana dan didukung pemerintah untuk diadakan secara periodik di Borobudur, akan sangat berpeluang menarik peserta dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia sendiri. Saya bayangkan pesertanya akan membludak dan tak hanya dari umat Buda, banyak kini orang “Barat” yang tertarik pada ajaran Buda termasuk meditasinya, setelah sebelumnya Hindu dan Yoganya populer di “Barat”. Tentu dalam hal ini perlu seperti Korsel, pemerintah mendukung “all out” industri pariwisata, termasuk gagasan Menag tersebut. Sebaiknya Borobudur (Juga obyek wisata lain) jangan dikelola pakai jam kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Petang harinya yang sejauh ini mubasir, bisa diadakan pertunjukan seni dengan tata cahaya prima sambil “dinner” makanan Indonesia.
Generasi saya, apalagi di atas saya, tak pernah tadinya terpikir berwisata ke Korsel, berbeda dengan generasi milenial Indonesia. Saya meyakini ini tak lepas dari pengaruh K-Pop dan Drama Korea (Drakor) yang fans-nya banyak di Indonesia (Bahkan di banyak negara lain juga. Arab Saudi menjadikan Riyadh bernuansa ungu dalam menyambut pentas BTS setelah lama tak pentas, merujuk ungkapan “I purple you” sebagai afeksi “I love you” yang biasa diucapkan BTS ke ARMY-nya). BTS saja ARMY (Fans BTS)–nya di Indonesia lebih dari 4 juta, belum ditambah Super Junior yang pernah menemui Presiden Jokowi, Big Bang, Black Pink, SNSD, 2NE1 dan lain-lain, serta fans Drakor Dream High, Hospital Playlist, dan lain-lain. Dengan support pemerintah, swasta, manajemen, dan upaya para selebritis Korsel sendiri, misalnya, mereka melatih tubuhnya sehingga membuat fans-nya tergila-gila, ada kolaborasi Stevie Wonder dengan penyanyi muda K-Pop, yang dapat memperluas segmen pengemarnya karena masing-masing punya fans dan acara yang diadakan di Hongkong ini, disiarkan ke 94 negara, ada juga kolaborasi dengan Justin Bieber. Bahkan Jacky Chan membentuk Boy Band Korsel JJCC, tentu karena menyadari mereka “layak jual”, selain itu para selebritis Korsel sengaja melakukan shooting di obyek wisata Korsel, Samsung menggunakan lagu dari K-Pop untuk Ring Tone, Drakor berkolaborasi dengan menggunakan lagu-lagu dari grup musik K-Pop dalam karya sinematografi mereka (Sementara di Indonesia sineas-nya ada yang membuat karya Eiffel I’m in Love, padahal Perancis kunjungan wisatawannya nomor satu di dunia mencapai sekitar 80 juta per tahun). Drakor selain menyajikan life style, juga berdampak terhadap permintaan akan makanan Korea.
Hotel-hotel di Korsel dalam hal food and beverage, sangat mendukung makanan Korea, sementara hotel-hotel besar di Indonesia utamanya yang berjejaring internasional, seakan program pindah tidur dan makan, ini menyebabkan “kebocoran” dari pendapatan yang mestinya bisa diperoleh, apalagi food and beverage konstribusinya termasuk besar di sektor pariwisata. Indonesia hemat saya perlu mengikuti Korsel dalam hal ini juga dalam hal musik. Dangdut yang rhythm-nya mirip Reggae dan sama-sama membuat bergoyang asyik (Padahal lirik dangdut banyak yang sedih, Bob Marley lewat Reggae, “melawan”, mengajak kaum kulit hitam bangkit untuk memperjuangkan haknya), perlu didukung pemerintah dengan gigih agar “go international”. Selama ini dalam misi kebudayaan ke luar negeri, pemerintah Indonesia lebih cenderung menampilkan karya adiluhung warisan leluhur yang “klasik”, padahal di mana-mana yang mampu merangkul publik banyak, adalah karya Pop. Jika misi tersebut untuk menarik wisatawan, jelas strategi yang kurang tepat, kecuali tujuannya lain.
Indonesia dikaruniai warisan budaya berupa candi, karya seni adiluhung, alam yang indah, dan banyak alternatif tujuan wisata yang indah, dari pengalaman saya ke beberapa negara juga merujuk pendapat ipar saya Wira Cahyadi Wangsa, keindahan alam Indonesia mungkin hanya dapat disaingi oleh China. Lalu apa yang kurang untuk menarik wisatawan lebih banyak ke Indonesia? Kurang belajar dari Korsel dan negara lain yang sukses pariwisatanya, hemat saya.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Koreana atas permintaan Prof. Dr. Koh Yung Heun. Tulisan ini berutang pada Tengsoe Tjahjono, Ipar saya Wira, Anak-anak saya dan sumber lain.