Ilustrasi: Ignatius Darmawan
HUJAN SURUT, KERTAS KEMARAU
Gerimis remang-redup
Deras kerontang menutup kuyup
Konon penyair serupa musyafir
Bersajak dari hujan ke hujan
Musim penghujan adalah tapabrata
Puisi bagai malam pengantin baru
Pasang-surut mendung tiada bisa diramal
“Siapa menabur rinai akan menuai puisi”
DI BAWAH NAUNGAN HUJAN
Belukar mendung berlipat-lipat
Awan luntur meloncat-loncat dari gigil ke gigil
Kita saling berbagi
Kau kuyup
Aku yang kuncup
DOA DARI TANAH MELAYU
Rantau dikau seorang diri
Di negeri asing menanggung sepi
Aduhai sejuk rayumu kala itu,
“Sayang, anggun seringaimu bukan bualan,
kalaupun kita dilanda jarak, bila nanti kita saling percaya, pun saling bertukar doa, bahkan sinar matahari tiada tega menciptakan bayang-bayang di antara kita.”
Tiada kulupa cakapmu dahulu,
konon pulangmu kelak meminangku
menangis aku sejadi-jadinya.
Bukanlah aku seorang yang fasih menanti
Ini diri sebatang kara, lunglai ditawan prasangka
Hingga umur di ujung tanduk
Tiada sekali kabar bertandang
Abang sayang
Habis usia, tinggallah rindu beranak-pinak.
ELOK BENAR KEPAK MERPATI
Kepak merpati udara ditepuk
Silir-semilir, dikau terkagum-kagum.
Kepak kicau merpati merajut langit biru-biru
Silir-semilir, dikau terhanyut- hanyut.
Mengapa pula timbul curiga
Anggun rupa, siapa pencipta?
Indah bunyi tiada tampak di mata
Elok sepoi tiada merecik warna.
Biru langit ayu tiada saing
Rayu merpati merawat kicau
Sembab mataku menahan pilu
Ini kagum dilanda bisu.
MELATI DI RANJANG IBU
Segar kembang tak kalah semerbak
Berdesir-desir di ranjang lapuk
Lunglai Ibu menanggung sakit
Air segelas dimintanya padaku
Ini kemarau
tiada air di sungai
tiada padi dituai
Kering kendi tiada air setetes
Parau suara Ibu, berpesan padaku,
“Bila habis usia, nak!
Kuburkan daku dalam dadamu.”
Mengering kembang, tinggalah do’a
Tandus tangis melanda aku
Lelap Ibu tiada lagi terjaga
Kerontang tanah habis melati semerbak.
GADIS PUKUL TUJUH
Bulu matamu jarum jam dinding
Binar tajam lirikmu
Tak kuat hati hendak bertemu
Tinggallah debar jantungku
Dahaga sungai dinanti rinai
Siang petangku diterpa candu
Elok binar matamu, aduhai!
Karam diri dalam kelu
Merajuk dikau dilanda pilu,
“Temui aku di pukul tujuh! Selepas itu, kehendakmu.”
Ini hati lautan samodra
Menyelam berpuluh-puluh tanda
Bulu matamu jarum jam dinding
Detiknya detak jantungku
GERIMIS MALAM
Aduhai, elok sangat gemercik rinai
Cahaya lilin tinggallah sekadar
Lapuk surau purba, kita berdua belaka.
Berdoa dikau dengan batukmu
Dzikirku dalam jantungmu
Hingga usai usia
Aku menjelma debu-debu
Pada kuburmu.
BIODATA
REZA RAMADHAN adalah seorang Santri Ponpes. Raudlatul Ulum Arrahmaniyah, Pramian, Sreseh, Sampang. Juga sebagai penikmat sastra berdarah Madura lahir di Surabaya 13 Desember 2000 dan di besarkan di Denpasar, aktif di komunitas Asrama Teater Bindoro, Gubuk Kata-kata, Lesbumi, dll. Kini dia sedang melanjutkan pendidikannya di Universitas Udayana. Facebook: pokoknyareza. Instagram: @pokoknyareza
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.