Tabanan (BaliPolitika.Com) – Mengacu epos Mahabharata karangan Bhagawan Byasa, Pilkada Tabanan 2020 diibaratkan sebagai bharatayudha, yakni “perang besar” antara keluarga Pandawa melawan Korawa di Kurukshetra. Sebagaimana dikisahkan, perang ini merupakan klimaks dharma melawan adharma atau kebaikan melawan kejahatan. Bedanya, jika dalam bharatayudha, tokoh Krishna jadi penentu, maka dalam hajatan Pilkada Tabanan masyarakatlah kata kuncinya.
Tokoh Puri Anom Tabanan, Anak Agung Ngurah Panji Astika menilai tak berlebihan jika banyak pihak menyebut kondisi Tabanan saat ini dikaitkan dengan “pertarungan” antara100 orang korawa melawan pandawa yang diasingkan ke hutan. “Begitulah kira-kira penggambaran situasi Negara Tabanan. Pandawa harus mulai keluar lagi dari hutan, menghimpun kekuatan, dan memperjuangkan kemenangan atas nama dharma alias kebaikan,” ujarnya.
Dengan catatan, pandawa harus kuat mental karena banyak yang pro pada korawa. “Bhisma, Dhrona, Karna, dan raja-raja besar semua dukung Dhuryodana bukan? Yang mau membela Pandawa sangat sedikit. Dari dulu seperti itu. Tapi, sekali lagi orang baik tidak boleh menyerah kalau ingin kondisi berubah,” tandasnya.
Dalam konteks kehidupan masa kini, Panji Astika mengibaratkan masyarakat sebagai sosok Yudistira yang sedang bimbang memilih dua hal. Apakah memilih seorang Shri Khrisna sebagai kusir kereta atau jutaan prajurit tangguh yang siap berperang? Dengan kata lain, akan memilih kebaikan atau harta benda. “Di hari penentuan, yakni pencoblosan akan memilih pemimpin sesuai hati nurani atau mengambil sejumlah uang lalu mengikuti perintah oknum-oknum nakal? Kira-kira demikian kaitannya,” ungkapnya.
Sambung Panji Astika, bila digunakan hitungan matematika, tentu sangat bodoh seseorang yang memilih kusir dan mengabaikan ratusan ribu atau jutaan pasukan. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa kebajikan atau orang baik harus hadir di panggung politik. “Kalau ada kejahatan dan orang-orang diam berarti mereka ikut ambil andil dalam kejahatan itu,” beber alumnus Universitas Brawijaya itu.
Panji Astika menyebut banyak pihak menilai kondisi politik di Tabanan sudah sedemikian parah. Oleh sebab itu, dia mendorong agar orang-orang cerdas, khususnya para akademisi tidak berdiam diri dan mudah “dibeli”. Sebaliknya, mau bersuara serta berbuat demi kepentingan masyarakat luas. Jika 10 orang terhormat di Tabanan berani mengambil sikap, terangnya Tabanan akan berubah ke arah lebih baik. “Masalahnya semua seolah-olah mencari zona nyaman. Yang kita lawan ini bukan penjajah Belanda. Kalau penjajah sesungguhnya yang kita lawan barangkali semua orang akan lari. Atau memilih menyembah Belanda. Syukur kita tidak lahir di zaman penjajahan Belanda. Semoga para Pandawa Tabanan keluar dari hutan dan zona nyaman,” harapnya. (*)