PETAKA kadang datang dalam bentuknya yang indah menggoda. Ayuning melihat laki-laki itu di sungai, melemparkan senyum manis kepadanya. Dia mendapati dadanya berdebar. Debaran yang tidak biasa. Dia mengucek dan membilas baju dengan gugup, lalu tergesa pulang dengan langkah pontang-ponting membawa keranjang berisi baju-baju yang selesai dicucinya. Dia ingin menoleh ke belakang, tapi malu. Perasaan malu yang juga baru dirasakannya. Rasa malu yang aneh. Esoknya dia kembali melihat laki-laki itu.
“Ayuning, tiga hari ini abangmu tak muncul. Ke mana dia?”
Ayuning menggeleng, gugup. Dia ingin menjelaskan bahwa sejak kemarin Sutar kerja di ladang bawang milik Juragan Karwan di kecamatan sebelah. Tapi sulit sekali. Untuk sedikit menetralkan kegugupannya Ayuning mengucek bajunya. Baju yang sebenarnya belum kotor dan seharusnya bisa dipakai sekali lagi dan baru dicuci besok. Tapi dia berangkat ke sungai karena ingin merasakan debaran itu lagi.
Ayuning tahu, laki-laki itu kawan abangnya. Mereka sering nongkrong di pos ronda, main gaple atau catur, memetik gitar, menggoda gadis-gadis yang lewat, saling meledek, lalu tertawa keras-keras.
“Ayuning, kamu sudah punya pacar?”
Pertanyaan yang membuat dadanya berdebar keras. Selain dengan abangnya, dia tak pernah bicara dengan laki-laki. Dia tak memliki keberanian itu. Merasa tak pantas. Takut ditertawakan. Setiap melihat wajahnya di cermin, dia merasa sedih dan jijik sendiri. Bibir bagian atasnya yang tebal terbelah di bagian tengah hingga memperlihatkan gigi dan gusinya, dan kalau bicara tak pernah jelas bunyinya.
Dia melihat tubuhnya mekar, dadanya tumbuh ranum, seperti buah mangga mengkal. Dan di balik mangga mengkal itu dia merasakan gejolak yang selalu ditahan-tahan. Badannya tumbuh seperti gadis-gadis yang lain, bahkan kulitnya lebih bersih mulus. Laki-laki akan terpesona melihatnya. Namun seketika melengos begitu memandang wajahnya.
“Maukah kamu jadi pacarku, Ayuning?”
Ayuning melirik sepintas ke laki-laki itu. Wajah yang mirip Sharuk Khan dalam versi kecoklatan. Dan dia mengulurkan tangannya, “boleh kita bersalaman?” Sharuk Khan tersenyum lagi. Senyum yang sangat menawan dan memabukkan. “Rambutmu bagus sekali,” ucapnya.
Salamun, laki-laki kawan abangnya itu, anak ustaz yang dihormati di kampung ini. Wajahnya yang mirip bintang film India itu selalu jadi topik obrolan gadis-gadis seusianya. Dan sekarang
si Sharuk Khan menawarinya jadi pacar? Pasti ada yang salah. Tetapi kecurigaanya hanya selintas, tertindih oleh perasaan bungah yang menyesaki dadanya. Ayuning lupa nasihat ibunya untuk selalu berhati-hati dengan ucapan laki-laki. “Jarang di antara mereka yang berniat tulus, selalu ada maksud tersembunyi,” pesan ibunya.
Selama seminggu mereka selalu bertemu di sungai saban sore hari. Ayuning berlama-lama mencuci hingga teman-temannya pulang lebih dulu dan sungai itu kini sepi. Salamun duduk di atas batu sambil mencuri-curi pandang dada gadis itu yang dibebat kain basah. Hanya dari dada ke bawah yang selalu dicuri pandang laki-laki itu. Sungai itu berada agak jauh dari permukiman warga, di antara bentangan sawah dan hutan arbasia. Di sebelah selatan jalan ada kompleks kuburan China yang bersemak lebat dan tinggi.
Pada hari keenam Ayuning menurut saja diajak Salamun berjalan ke arah kuburan China. Badannya bagai disetrum saat jemari laki-laki itu menggengam jemarinya. Mereka masuk jauh ke perkuburan China yang tampaknya tidak terawat sehingga bersemak lebat dan tinggi. Di salah satu kuburan yang ada bangunan atapnya, dikelilingi pagar batang-batang besi yang runcing di ujungnya serta ada tempat berdoa yang luas, mereka berhenti dan masuk ke dalam. Di sanalah Salamun mulai merayu Ayuning, diberinya gadis itu minuman. Saat Ayuning menyesap minuman itu, Salamun bersorak dalam hati karena telah memenangkan taruhan.
Begitulah, petaka itu dimulai. Setelah Ayuning terkulai tak sadarkan diri, bermunculanlah tiga sosok lain ke tempat itu. Mereka menggilir Ayuning serupa kawanan anjing berebut daging diiringi desah alang-alang dan dengung serangga. Seekor anjing yang melihat adegan itu melengos dan lari menjauh. Hari mulai redup ketika Ayuning tersadar. Dia mendapati Salamun tengah merokok. Ayu tergeragap mendapati dadanya tersingkap, kepalanya pening dan nyeri di selangkangannya.
“Sudah petang, Ayuning, ayo kita pulang,” kata Salamun seolah tak terjadi apa-apa.
Kejadian itu berulang hingga tiga kali namun di tempat yang berbeda. Salamun dan tiga kawannya menunjuk rumah kosong dekat bendungan. Di rumah bekas rumah dinas petugas perairan itu mereka pernah pula menggiring perempuan gila yang mereka comot dari emper toko. Mereka mandikan dan menggosok tubuhnya sampai bersih dan wangi sebelum digarap ramai-ramai. Setiap selesai dengan perbuatan laknatnya, mereka tertawa-tawa dan merencanakan taruhan berikutnya.
Sejak itu Ayuning tak melihat Salamun di sungai. Dia celingukan lalu mencuci bajunya dengan perasaan kecewa. Beberapa bulan kemudian kekecewaan itu menjadi ketakutan seiring perutnya yang membuncit. Dia hanya membisu dan merembeskan air mata di depan ibu dan bapaknya saat mereka bertanya dengan siapa dia melakukan perbuatan yang menyebabkan perutnya buncit. Kepada Sutar, abangnya, barulah Ayuning menyebut nama Sharuk Khan.
Malam itu Ayuning melihat Sutar dengan dada penuh murka mendatangi Salamun. Ayuning menangis terus di kamarnya teringat bagaimana Salamun menyorongkan minuman dan meremas dadanya. Beberapa jam kemudian dia melihat abangnya kembali dengan wajah babak belur.
Perut buncit Ayuning membuat kampung itu geger. Ayuning tak bernyali lagi ke mencuci baju
ke sungai. Warga kampung memandangnya iba sekaligus mencemooh dan jijik. Sepanjang hari berminggu-minggu dia menangis saja di kamarnya. Suatu malam beberapa warga mendatangi rumahnya dan meminta mereka pergi dari kampung. Di balik kamarnya Ayuning mendengar pembicaraan mereka dan orangtuanya.
“Kalian membawa sial! Seharusnya kalian bisa menjaga anak gadis kalian,” kata seorang warga kampung.
“Sebaiknya kalian pergi dari kampung ini. Perbuatan anak gadis kalian mengotori kampung, membuat panen gagal!” kata warga yang lain.
“Ini rumah kami. Mau tinggal di mana kalau kalian mengusir kami,” kata ibu sambil menangis.
“Itu salah kalian. Semestinya anak kalian dihukum rajam,” seru seorang warga yang lain.
“Biar kami sendiri yang akan mengurus masalah ini,” kata bapak membubarkan warga kampung.
Kampung di lereng gunung Ciremai ini dulu dibuka oleh gerombolan DII/TII sebagai tempat persembunyian mereka. Sebagian warga kampung ini keturunan langsung para pemberontak yang ingin mendirikan negara sendiri.
Setelah warga kampung pergi, bapaknya menyarankan membawa Ayuning ke dukun bayi untuk menggugurkan kandungan. Ibunya tak sepakat lantaran janin di perut Ayuning sudah terlalu besar. Sangat berisiko apabila digugurkan.
Tetapi bapaknya diam-diam tetap mencari dukun yang bisa menggugurkan kandungan. Dia tak mau menanggung malu dan direpotkan dengan cucu yang tidak jelas siapa bapaknya. Setelah ke sana kemari mencari informasi, bapak akhirnya mendapatkan seorang dukun. Menurut pemberi informasi, dukun ini tidak hanya sakti tapi juga baik hati. Dukun itu ternyata berpenampilan seperti seorang habib dengan jenggot putih panjang, mengenakan gamis juga berwarna putih dan serban di kepalanya. Wajahnya bersih dan penuh senyum. Membuat hati bapak tenang.
Di hadapan laki-laki itu bapak mengatakan tujuan menemuinya. Sang dukun menatap mata bapak dalam-dalam, dengan suara yang ramah dia mengatakan keberatan untuk melakukan pengguguran.
“Itu perbuatan dosa, kisanak!” katanya.
Bapak menunduk kelu. Dia tahu menggugurkan kandungan adalah perbuatan dosa dan membahayakan, tapi dia tak menyangka dukun itu menolaknya. Bapak jadi bingung bagaimana mesti menyelesaikan perkara ini.
“Bawa anakmu kemari. Biarkan ia tinggal di rumahku sampai melahirkan bayinya,” kata si dukun.
Bapak terperanjat seperti mendapat secercah cahaya di ujung lorong pekat. Dia memandang si
dukun seperti meminta mengulang tawaran yang tidak disangka-sangka.
Si dukun beranjak masuk ke ruangan tempatnya berdoa yang pintunya hanya ditutup tirai. Cahaya di dalam terlihat remang dan menebarkan aroma kemenyan. Tak lama kemudian dia muncul lagi ke ruang depan, dan menyodorkan bungkusan kepada bapak.
“Minumkan ini pada anak gadismu,” ujarnya.
Esoknya Ayuning benar-benar diantarkan bapak dan ibu ke rumah dukun, Sutar turut serta di belakang. Sutar ingin melihat dukun itu, diam-diam dia punya rencana sendiri. Semalam ketika bapak dan ibu mengatakan niatnya membawa dan menitipkan Ayuning ke dukun, Ayuning meraung. Dia menolak keras niat bapak dan ibunya. Suaranya yang sengau terdengar pedih di telinga kedua orangtuanya dan Sutar.
“Jangan takut, nak. Dia orang baik,” kata bapak, sementara ibu turut menangis.
Ayuning berangsur tenang setelah meminum air yang disodorkan bapak. Bapak masih membujuk dan menjelaskan perihal dukun itu. “Kamu akan baik-baik saja di sana, sampai bayimu lahir,” ujar bapak.
Bangunan rumah dukun itu hampir seluruhnya dari kayu jati. Memiliki halaman yang luas dengan beberapa pohon mangga dan pepaya di bagian depan, samping kanannya tumbuhan rempah seperti kunyit, jahe, dan sayuran. Bagian belakang rumah terdapat halaman dikitari kamar-kamar berbahan batu-bata. Di kamar-kamar itulah pasien yang butuh perawatan sang dukun tinggal. Ayuning menempati salah satu kamar itu.
“Kalian boleh menjenguk Ayuning kapan pun kalian mau,” kata dukun, melepas bapak dan ibu.
Terlalu banyak orang bodoh di dunia ini, gumam si dukun. Terlalu banyak orang jahat. Dan sangat sedikit pahlawan.
Sementara air mata Ayuning masih mengalir deras. Kesedihan akan tinggal bersama orang-orang baru di rumah ini membuatnya dicekam ketakutan. Dia menyesali kebodohannya, menyalahkan diri sendiri telah termakan rayuan Salamun, laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya untuk membuang benihnya. Hatinya makin perih saat tahu Salamun juga mengumpan tubuhnya kepada tiga kawannya yang lain.
“Masuklah ke kamarmu, Nak,” kata sang dukun.
Ketika dukun itu hendak beranjak masuk ke ruangannya dia melihat Sutar muncul lagi. Anak muda itu kembali untuk mengutarakan maksudnya meminta dukun memberi dia jampi-jampi serta kesaktian supaya mampu menghajar para bajingan yang telah menghancurkan Ayuning. Karena bagi Sutar itulah cara balas dendam terbaik. Tak ada yang lain.
“Tapi syaratnya berat, Nak,” kata dukun itu, “Apakah kamu sanggup?”
“Syarat apa pun akan kupenuhi, Bapak.”
*
Ayuning melahirkan bayinya yang sehat dengan selamat. Bayi yang cantik dan montok. Sang dukun memperistri Ayuning dua bulan setelah persalinan. Pernikahan itu salah satu syarat bagi Sutar mendapatkan jampi-jampi dan kesaktian dari sang dukun.
Sutar sendiri telah lulus menjalani rangkaian ritual terakhir sebagai syarat memperoleh kesaktian sebulan sebelum sang dukun menikahi Ayuning. Dia kembali menjalani hidupnya dengan bekerja di ladang bawang Juragan Karwan. Kini Sutar jadi orang kepercayaan Juragan Karwan.
Sudah sebulan berlalu, tapi warga di kampungnya masih membicarakan kematian empat pemuda di kampungnya dengan cara memalukan dan memilukan: kemaluan mereka terpangkas hingga buah pelirnya tak tersisa di rumah pelacuran! (***)
BIODATA
Aris Kurniawan menulis cerpen, puisi, resensi. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019).
Ignatius Darmawan adalah lulusan Antropologi, Fakultas Sastra (kini FIB), Universitas Udayana, Bali. Sejak mahasiswa ia rajin menulis artikel dan mengadakan riset kecil-kecilan. Selain itu, ia gemar melukis dengan medium cat air. FB: Darmo Aja.