PADA GHALIBNYA, sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa makan di sekolah atau jajan di kantin adalah hal yang lumrah. Karena anggapan tersebut, Program Makan Bergizi Gratis (PMBG) di sekolah diragukan. Namun saat PMBG mulai diuji coba di sejumlah kota, terkuak berbagai kenyataannya yang mengharukan. Respons-respons siswa terhadap makanan yang disajikan di hadapannya, membuka ke jalan persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Soal makan, sarapan sebelum ke sekolah, dan soal uang jajan (membawa bekal atau belanja di kantin); ternyata bukanlah perkara yang sudah selesai. Yang mengejutkan, masih ada orang tua yang dengan terpaksa membiarkan anak-anak mereka berangkat ke sekolah dalam keadaan lapar!
Karena anggapan bahwa perkara sarapan, bekal makan, atau jajan yang sejauh ini sudah aman; maka PMBG, tidak perlu. Namun kondisi-kondisi di akar rumput justru makan atau jajan di sekolah adalah hal yang sangat mahal.
Banyak siswa yang datang ke sekolah tanpa sarapan pagi dan mungkin dengan bekal terbatas. Mereka mengikuti pelajaran dalam bayang-bayang lapar. Itu terjadi bertahun-tahun sehingga walaupun akhirnya terbiasa. Mereka baru dapat nasi ketika pulang sekolah. Inipun mungkin seadanya.
Karena itu, PMBG harus disambut dengan sikap yang lebih humanis dan holistik. Dari segi pelaksanaan, program ini memang agak agak rumit. Sementara itu, masih ada pertanyaan mendasar: soal keberlanjutannya.
Berdasar berbagai respons siswa dan pandangan masyarakat Ketika PMBG ini diuji coba, ada satu simpulan yang mengemuka, pendidikan masih sebatas belenggu instruksional. Betapa sempitnya urusan yang ditangani selama ini oleh para menteri pendidikan dari kabinet ke kabinet. Pendidikan selalu berkelindan dan berdebat tiada habis soal teori belajar, metode, pendekatan, teknik, evaluasi, perangkat pembelajaran, modul, asesmen, dan lain-lain. Ribut pula soal jenis dan sumber materi pelajaran. Kegaduhan nasional pendidikan yang paling ”strategis” tentu saja debat kusir soal kurikulum di kalangan politisi dan para ahli pendidikan yang sejatinya mereka tidak berpijak di tanah tempat tiang-tiang sekolah ditancapkan di negeri tercinta. Belum lagi pandangan-pandangan politis yang memperkeruh.
Pada konteks PMBG, pendidikan ternyata berkaitan pula dengan rasa lapar siswa. Mungkin lantaran itu, Jepang telah memasukkan program ini sejak sebelum Perang Dunia II, seperti kisah menariknya dalam novel Toto chan, Gadis Cilik di Jendela (Tetsuko Kuroyanagi).
Respons-respons siswa dalam uji coba PMBG menjadi tamparan, betapa sempit pemahaman atas ikhtiar negara dalam mengimplementasikan amanat UUD 1945; pendidikan selalu hanya debat kusir soal intruksionalisme.
Pada masanya, adegan di sinetron-sinetron televisi swasta menghadirkan mimpi indah sarapan pagi bagi anak-anak orang kaya. Mereka duduk di hadapan satu meja makan bersama keluarganya; menyantap sarapan empat sehat lima sempurna dari menu yang terjadwal; dilayani oleh pembantu rumah tangga profesional, lalu dia berangkat sekolah dengan mobil terbaru, diantar dan dijemput.
Tapi di bagian lain negeri Indonesia, anak-anak tidak sarapan, berlari ke sekolah, menahan lapar mengikuti aktivitas belajar di sekolah. Tidak ada sarapan, ke sekolah juga tidak membawa bekal nasi dalam tepak.
Kini, perut lapar menjadi hal baru dalam dunia pendidikan nasional karena tertimbun oleh tarik ulur, maju mundur mundur, atau tambal sulam soal kualitas guru, kurikulum, literasi, merdeka belajar, budi pakerti, karakter, profil pelajar Pancasila, guru penggerak, pelatihan guru, perangkat pembelajaran, administrasi, dan lain sebagainya. Pendidikan tidak seharusnya hanya memikirkan persoalan-persoalan instruksional harus memikirkan siswa-siswa yang menahan rasa lapar.
Uji coba PMBG membuktikan bahwa pendidikan ternyata berurusan dengan perut lapar. Selama ini pendidikan sibuk berbicara literasi, perundungan, karakter, belajar yang menyenangkan, teknologi digital. Ada yang lebih basis dan lebih insting dalam pendidikan, yaitu perut lapar.
Belajar dalam kondisi menahan lapar mungkin kedengarannya ekstrem. Namun itulah kenyataan yang masih ada. Ketika seseorang anak mendapat makan gratis bergizi di sekolahnya, ia ingat keluarganya yang tidak makan. Pendidikan berhadapan dengan kemiskinan yang paling dasar.
Makan di sekolah telah menjadi kesadaran bersama sehingga sekolah membangun kantin atau warung-warung di areal sekolah. Ini berkembang menjadi bisnis kecil. Penyelenggara kantin murni berjualan makanan dan minuman kepada siswa. Kantin ini menjadi tumpuan bagi orang tua yang tidak menyiapkan sarapan dan bekal makan siang bagi anak-anak mereka.
Orang tua siswa mungkin ada yang tidak selalu siap dengan sarapan pagi dan bekal untuk anaknya sehingga mereka memberikan anak-anaknya uang jajan. Yang harus menjadi perhatian, bagaimana membangun tradisi dan pola makan di sekolah. Untuk ini, pendidikan makanan yang dilakukan di sekolah Toto chan (Tomoe Gakuen), bisa dicontoh. Kepala sekolah, Mr. Kobayashi, melakukan beberapa hal pada acara makan siang di Tomoe Gakuen (nama sekolah yang gedungnya dibuat dari bekas gerbong kereta api). Makan siang terintegrasi ke dalam pendidikan. Lewat makan siang siswa memperoleh pengetahuan (asal usul makanan) dan mendidik mereka untuk bersyukur atau berterima kasih.
Acara makan siang selalu dinanti dengan rasa gembira oleh Toto chan dan teman-temannya. Mr. Kobayahi selaku kepala sekolah terlibat langsung. Acara makan siang di Tomoe Gakuen diberi nama “sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan”. “Sesuatu dari laut” artinya makanan dari laut, seperti ikan dan tsukuda-ni (udang kecil atau sejenisnya yang direbus dengan kecap dan sake manis). Sementara “sesuatu dari pegunungan” berarti makanan dari daratan, seperti sayuran, daging sapi, daging babi, dan daging ayam.
Di tengah bangsa Indonesia sedang mencoba hal baru di sekolah, dua bab dari novel ini sangat relevan. Tradisi makan siang di sekolah di Jepang sangat kuat. Sekolah dan orang tua bekerja sama dalam menyiapkan jenis makanan bagi siswa. Mr. Kobayashi menekankan atau meminta orang tua siswa agar selalu memenuhi dua jenis makana, dari laut dan dari pegunungan. Sebelum makan, Mr. Kobayahi “memeriksa” dan bertanya kepada setiap siswa. Hal ini paling menantang karena setiap siswa harus tahu, makanan yang disiapkan oleh ibunya, apakah dari laut atau dari pegunungan.
Totto-chan agak gugup di hari pertama waktu makan siang, tapi acara itu asyik sekali. Sungguh menarik menebak-nebak makanan apa yang dibawa dari laut dan makanan apa yang dibawa dari pegunungan. Hari itu dia belajar bahwa denbu terbuat dari ikan. Mamanya tidak lupa memasukkan sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan. Jadi, semua berjalan lancar, pikirnya puas.
PMBG di negara tercinta memang belum membawa keceriaan bagi siswa dan belum terintegrasi dengan suatu pengetahuan geografi. Karena itu, masih murni sebagai kegiatan makan. Namun demikian, sebagai suatu kesadaran baru bahwa pendidikan juga berkaitan dengan makanan. (*)