Senin, 21 April 2025, Indonesia memperingati Hari Kartini. Di negara kita dan dunia, tercetusnya emansipasi wanita ini melalui sejarah panjang dan melibatkan perbagai faktor sosial, politik, ekonomi, serta budaya.
Sejak saat itu, kaum wanita Indonesia mulai berani bersuara bahwa mereka tidak sekadar lahir hanya untuk mengurus rumah tangga, membesarkan anak, dan bergantung sepenuhnya kepada kaum pria dari segi keuangan dan hak.
Keberanian ini bergesekan dengan situasi riil di masyarakat kala itu di mana wanita Indonesia tidak dibenarkan alias “tabu” belajar, bekerja, apalagi membuat keputusan penting.
Tak hanya di Indonesia, situasi ini juga terjadi di banyak negara di dunia.
Berbeda halnya dengan di Barat, di mana saat memasuki Zaman Pencerahan sekitar abad ke-17 atau ke-18, gerakan intelektual di Eropa mulai memperjuangkan hak asasi manusia, rasionaliti, dan kebebasan individu tanpa memandang jenis kelamin.
Tokoh-tokoh seperti Mary Wollstonecraft mulai menulis tentang hak wanita, termasuk hak mendapat pendidikan dan terlibat dalam bermasyarakat.
Saat masuk era Revolusi Industri sekitar abad ke-18 dan ke-19, kaum wanita mulai keluar bekerja di industri karena permintaan buruh meningkat.
Ini membuka peluang untuk wanita menyumbang kepada ekonomi dan menunjukkan kebolehan di luar rumah tangga.
Namun, wanita masih tidak diberi hak yang sama seperti kaum pria, dari segi gaji, penegakan hukum, maupun politik.
Kesempatan untuk lebih eksis ini mulai terbit di akhir abad ke-19-awal abad ke-20 lewat Gerakan Suffragette.
Gerakan ini memperjuangkan hak mengundi atau memilih bagi wanita, terutamanya di negara-negara Barat.
Aktivis seperti Emmeline Pankhurst di UK dan Susan B. Anthony di AS menjadi simbol perjuangan ini.
Hasilnya, beberapa negara mulai memberi hak mengundi atau memilih kepada wanita di ranah politik.
Selanjutnya, masuk pada perang dunia pertama dan kedua, ketika kaum pria berperang, wanita mengambil alih berbagai pekerjaan kritikal.
Ini membuktikan kemampuan wanita dan memperkuatkan kedudukan wanita di mana wanita juga layak mendapat hak yang sama.
Nilai tawar kaum wanita semakin terdongkrak saat gerakan feminisme di abad ke-20 muncul melalui sejumlah gelombang.
Feminisme gelombang pertama berfokus kepada hak undi atau mengundi dan hak undang-undang.
Feminisme gelombang kedua di tahun 1960-1980-an memperjuangan kesamaan hak dalam pekerjaan, pendidikan, dan hak hidup bagi wanita.
Feminisme gelombang ketiga dan keempat menyentuh isu-isu seperti diskriminasi, identitas, hak asasi wanita secara global, serta memperjuangkan kesejajaran dalam berbagai aspek kehidupan.
Pada saat ini, kesan emansipasi wanita telah mencapai banyak kejayaan dalam politik, pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Namun, perjuangan masih belum selesai, terutamanya di negara-negara yang masih berpegang kepada norma tradisional yang membatasi peranan wanita.
Semua itu berkat perjuangan Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal sebagai RA Kartini, seorang tokoh emansipasi wanita Indonesia yang lahir 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah dari keluarga bangsawan Jawa.
Kartini dikenal karena pemikirannya yang progresif tentang pendidikan dan hak-hak wanita pada masa itu di mana wanita Indonesia, khususnya dari kalangan priyayi sering dibatasi ruang geraknya, termasuk dalam hal pendidikan.
RA Kartini semasa hidupnya banyak menulis surat kepada sahabat penanya di Belanda mengungkapkan keinginannya agar wanita Indonesia bisa mendapatkan pendidikan dan kesempatan yang setara.
Setelah Kartini wafat pada usia 25 tahun, (17 September 1904) kumpulan surat-suratnya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi sumber inspirasi dan simbol perjuangan kaum wanita Indonesia.
Hari kelahirannya, 21 April kemudian diperingati sebagai “Hari Kartini” untuk mengenang jasa-jasanya dalam memperjuangkan kesetaraan dan hak wanita Indonesia.
RA Kartini memiliki beberapa peran yang menonjol sebagai pelopor emansipasi wanita. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia karena perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita, terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Pada masanya, wanita pribumi sangat dibatasi dalam hal pendidikan dan kebebasan berekspresi.
Kedua, RA Kartini memiliki pemikiran progresif yang diabadikan dalam surat-suratnya. Kartini menuliskan gagasan-gagasannya dalam bentuk surat kepada sahabat-sahabat penanya di Belanda. Surat-surat itu kemudian dibukukan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi pandangan kritisnya terhadap ketidakadilan gender dan sistem feodal di Jawa.
Ketiga, mendirikan sekolah untuk kaum wanita. RA Kartini mendirikan sekolah untuk wanita pribumi di Jepara. Ini menjadi langkah konkret dalam memperjuangkan akses pendidikan bagi wanita, yang sebelumnya sangat terbatas.
Keempat, menginspirasi gerakan wanita selanjutnya di mana gagasan RA Kartini menjadi inspirasi bagi banyak tokoh dan gerakan wanita di Indonesia pasca kemerdekaan, seperti organisasi wanita Ibu Soekarno, hingga terbentuknya Hari Kartini setiap 21 April sebagai bentuk penghormatan terhadap jasanya. RA Kartini tidak hanya memperjuangkan pendidikan, tetapi juga kebebasan berpikir, kebebasan memilih, dan keadilan sosial bagi perempuan Indonesia.
Dalam dinamika sosial modern, isu kesetaraan gender menjadi topik yang semakin penting dan relevan.
Emansipasi wanita tidak lagi sekadar perjuangan untuk mendapatkan hak-hak dasar, tetapi juga merupakan bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang inklusif, adil, dan harmonis.
Namun, seringkali emansipasi disalahartikan sebagai upaya untuk “menyaingi” kaum pria padahal esensi sejati dari emansipasi bukanlah kompetisi, melainkan kolaborasi.
Emansipasi bermakna menyelaraskan peran, bukan menggeser posisi sehingga sangat tegas bahwa perjuangan emansipasi wanita tidak bertujuan untuk menggantikan dominasi kaum pria dengan dominasi wanita, melainkan untuk menyamakan kedudukan dalam kontribusi terhadap kehidupan, baik di rumah tangga, dunia kerja, pendidikan, hingga kepemimpinan.
Ketika wanita diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, kita menciptakan ruang kolaboratif di mana potensi setiap individu terlepas dari gendernya dapat dimaksimalkan.
Kolaborasi gender kunci keharmonisan mengingat dalam setiap bidang kehidupan, keberhasilan seringkali lahir dari kerja sama yang sinergis.
Kaum pria dan kaum wanita memiliki cara berpikir, pendekatan, dan kepekaan yang berbeda namun saling melengkapi.
Dalam dunia kerja, misalnya, perusahaan yang mempromosikan keberagaman gender terbukti lebih inovatif, adaptif, dan memiliki performa yang lebih baik.
Kolaborasi antara gender menciptakan harmoni dalam pengambilan keputusan, manajemen konflik, hingga proses kreatif.
Tidak ada dominasi satu pihak, melainkan ada ruang bagi semua suara untuk didengar dan dipertimbangkan.
Pendidikan dan peran keluarga, untuk membentuk generasi yang memahami pentingnya kolaborasi gender, pendidikan sejak dini sangatlah penting.
Anak laki-laki dan wanita perlu dididik untuk saling menghargai, bekerja sama, dan membangun empati.
Keluarga berperan sebagai wadah pertama dalam menanamkan nilai-nilai tersebut, di mana anak menyaksikan contoh nyata kerja sama antara ayah dan ibu dalam membangun rumah tangga yang setara.
Terakhir, menuju kesuksesan bersama di mana harus dipahami bahwa kesuksesan sejati bukanlah tentang siapa yang lebih unggul, tetapi tentang bagaimana semua orang dapat tumbuh bersama dan berkontribusi untuk kebaikan bersama.
Di dunia politik, bisnis, seni, maupun pendidikan, kolaborasi antara pria dan wanita telah melahirkan banyak inovasi, solusi, dan perubahan sosial yang positif.
Dengan semangat emansipasi yang benar yang menekankan pada kemitraan, bukan persaingan. Kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan maju. (*/bp)