HORMATI DESA ADAT: Anggota Komisi IV DPRD Bali dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, I Ketut Suryadi alias Boping.
DENPASAR, Balipolitika.com- Polemik tidak diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Bendesa Adat Serangan I Nyoman Gede Pariatha yang terpilih secara musyawarah mufakat pada 2 Mei 2024 dan 24 Mei 2024 oleh Panitia Ngadegan Bendesa Adat Serangan jadi sorotan.
Sorotan tajam ini tertuju kepada Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali lantaran kembali digeruduk warga adat; terbaru oleh puluhan krama Desa Adat Serangan, Senin, 8 Juli 2024.
Kondisi yang terus berulang di mana Sekretariat MDA Bali menjadi sasaran aksi demonstrasi krama adat ini disikapi tegas oleh anggota Komisi IV DPRD Bali dari Fraksi PDI Perjuangan, I Ketut Suryadi alias Boping.
Politisi senior asal Kabupaten Tabanan menyayangkan posisi krama adat di Bali yang seolah menjadi bawahan dari MDA padahal faktanya jauh sebelum MDA berdiri bahkan negara ini diproklamasikan, desa adat sudah eksis.
“Gimana ini? Desa adat di Bali sudah duluan ada. Jangankan dari MDA, dari republik ini merdeka desa adat di Bali sudah eksis. Jadi, desa adat ini secara peradaban adalah intisari kebudayaan Bali. Jangan dibuat formalistis oleh tetek bengek administratif yang dikungkung otonominya oleh yang namanya majelis desa adat,” tandas Boping dikonfirmasi, Selasa, 9 Juli 2024.
Sosok yang digadang-gadang pantas mengemban amanah sebagai Ketua DPRD Bali masa bakti 2024-2029 itu menekankan majelis bermakna wadah tempat berkumpul atau bertemunya sekelompok orang dengan tujuan yang sama di bawah satu kesepakatan dan saling menuntun serta membina untuk orientasi kebaikan.
“Lantas kalau MDA tidak kunjung memberikan pengakuan resmi terkait terpilihnya sang bendesa adat, maksud dan tujuannya apa? Apa bendesa adat terpilih oleh krama adat itu dipandang tidak sesuai haluan majelis? Atau apa? Apa yang membuat MDA tidak berikan surat pengukuhan? Bagi saya sih eksistensi adat dan jero bendesa adat cukup mendapat pengakuan de facto dari kramanya sudah sangat kuat karena kekuatan utamanya memang pada krama! Lebih-lebih bendesa adat pasca mengikuti prosesi Mejaya-Jaya sudah mendapat pengukuhan secara niskala,” tegas Boping.
Soal sepak terjang MDA yang berulang kali digeruduk krama adat atas berbagai persoalan ini, Boping menilai Pemerintah Provinsi Bali harus sesegera mungkin mengevaluasi keberadaan MDA.
“Pemprov Bali harus segera mengevaluasi keberadaan MDA. Adat harus dijaga dan dirawat karena menjadi garda terdepan untuk menjaga gumi Bali sekaligus menjaga budaya Bali, dan menjaga tanah Bali. Evaluasi artinya dinilai sejauh mana sejalan dan seiring dengan hakikat menjaga budaya Bali. Kalau sudah di luar hakikat budaya Bali yang paras paros, selunglung sebayantaka sarpanaya ya buat apa ada MDA? Saya sarankan Dinas PMA ambil peran dan sikap,” ungkap peraih 40.955 suara untuk kursi DPRD Bali Dapil Tabanan di Pileg 2024, Rabu, 14 Februari 2024 itu.
Menyikapi kisruh yang berlarut-larut hingga memicu sejumlah desa adat tidak menerima dana bantuan adat dari Pemprov Bali lantaran tidak keluarnya SK Pengukuhan Bendesa dari MDA Bali ini, Boping berkomentar keras bahwa seorang jero bendesa tidak perlu SK dari MDA Bali karena MDA bukanlah atasan desa adat.
“Jero bendesa adat ini tidak perlu SK (surat keputusan, red) dari MDA karena MDA bukan atasan desa adat. Cukuplah bendesa adat dapat pengukuhan niskala dari Sesuhunan Bhatara secara spiritual pada saat Mejaya-Jaya di Pura Puseh setempat. Jadi saran saya MDA jangan merasa menjadi atasan adat. Mari hormati desa adat kita, hormati Sesuhunan Bhatara di masing-masing wewidangan desa adat! Jangan malah dikerdilkan,” tutup Boping.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Sekretariat Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Jalan Cok Agung Tresna No. 67, Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar digeruduk puluhan krama Desa Adat Serangan, Senin, 8 Juli 2024.
Pemicunya adalah kekosongan kepemimpinan di Desa Adat Serangan pasca habisnya masa jabatan bendesa adat sebelumnya pada 26 Mei 2024.
Di sisi lain, desa adat di Bali yang diakui negara punya “otoritas” khusus– dalam hal ini Desa Adat Serangan– telah membentuk Panitia Ngadegan Bendesa Adat Serangan dan melahirkan atau menghasilkan Keputusan dan Penetapan Bendesa Adat Serangan, yakni I Nyoman Gede Pariatha secara musyawarah dan mufakat pada 2 Mei 2024 dan 24 Mei 2024.
“Mengingat masa bakti Bendesa Adat Serangan dari periode tahun 2024 sampai periode tahun 2024 (2 periode, red) sudah berakhir pada tanggal 26 Mei 2024. Bilamana kekosongan dan situasi penetapan Bendesa Adat Serangan untuk periode tahun 2024 sampai periode tahun 2029 tidak menjadi perhatian serta tanggapan dari Majelis Agung Provinsi Bali, maka kami warga Desa Adat Serangan akan melakukan aksi dan protes serta tuntutan secara besar-besaran,” demikian pernyataan sikap yang dibacakan oleh perwakilan warga Desa Adat Serangan, I Wayan Patut ditemui di lokasi, Senin, 8 Juli 2024. (bp/ken)