MENDADAK gaji Pardi berkurang. Hanya dua juta lima ratus ribu, padahal sebelumnya tiga juta perbulan. Pada Maena, isterinya, ia beralasan bahwa perusahaan sedang mengatur ulang manajemen keuangan, hingga berimbas pada penurunan jumlah gaji karyawan.
Maena menerima gaji itu tanpa protes. Sebagai isteri yang menurut ia selalu ikhlas atas berapa pun nafkah yang diberikan suami. Ia hanya berusaha untuk cerdas mengelolanya.
Sebagai wujud kecerdasannya, sudah dua minggu Maena menerapkan penyesuaian pemenuhan kebutuhan rumah tangga dengan kondisi keuangan. Sebelumnya ia menghabiskan uang seratus ribu perhari, maka ia mulai mengompres hingga hanya lima puluh ribu.
“Tumben beli kangkung hanya satu ikat. Biasanya tiga ikat.” Itu ucapan Sumi yang menangkap perubahan jumlah belanja Maena pagi itu.
Maena hanya tersenyum. Tak mau berkomentar, sebab takut ia keceplosan menerangkan kondisi keuangannya. Yang artinya ia akan membuka rahasia rumah tangga juga kesulitan yang dialami suaminya.
Ya, Maena meyakini bahwa dengan kurangnya jumlah gaji yang diterima, suaminya pasti merasa kesulitan untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Lelaki itu pasti pusing. Maena kasihan padanya.
Ia menyodorkan uang pembayar kangkung pada Pak Joko, penjual sayur. Tapi lelaki itu sedang asyik menonton sesuatu di ponselnya.
“Wah, lagi nonton berita kasus isteri bakar suami yang keranjingan main judi daring ya?” Seraya berkata Sumi ikut menonton pula.
“Aduh, karena emosi pada kelakuan suami yang menghabiskan gaji untuk main judi, akhirnya si isteri kalap dan membakar suaminya.” Wajah Sumi menunjukkan kengerian saat mengucapkan kalimat itu, dengan tatapan tak lepas dari ponsel Pak Joko.
Maena hanya istigfar. Ia pun ngeri saat beberapa hari sebelumnya menonton berita itu di televisi. Ia bersyukur suaminya tak suka berjudi.
***
Lima hari lalu Pardi menelepon. Katanya sedang berada di bengkel langganannya. Tiba-tiba mesin motornya tak mau hidup dan ada suku cadang yang harus diganti. Ia meminta uang empat ratus ribu.
Maena duduk tercenung di dipan. Uang di tangannya tinggal sejuta enam ratusan ribu. Dalam perhitungannya, jika berkurang empat ratus akan berakibat uang belanjanya tak sampai akhir bulan.
Tapi mau bagaimana lagi, motor suaminya adalah penunjang utama untuk pulang pergi bekerja. Jadi mesti diperbaiki. Akhirnya Maena mengambil juga empat ratus ribu dan keluar dari kamar, menunggu ojol yang disuruh suaminya menjemput uang itu. Di pikiran perempuan itu telah tersusun siasat untuk mengurangi sedikit belanja kedua anaknya.
“Apa? Teman yang mana? Dua ratus ribu?”
Mata Maena melebar menatap Pardi yang meminta uang lagi dua hari kemudian. Lelaki itu hendak membantu temannya yang rawat inap karena malaria dan kekurangan dana untuk membayar biaya puskesmas.
“Aku sebenarnya bingung juga apakah akan membantu atau tidak. Kutahu bahwa kondisi keuangan kita sedang sulit. Tapi… hanya aku yang bisa diharapkan bantuannya oleh temanku itu,” ucap Pardi seraya tertunduk. Wajahnya nampak bingung.
Maena percaya suaminya. Ia pun mudah terenyuh mendengar berita tentang kesusahan orang lain. Tapi ia merasa harus bertanya, “Apakah teman Abang itu akan mengganti sesuai waktu yang ia janjikan? Soalnya uang simpanan kita terus menipis ini, Bang…”
“Pasti! Temanku itu orang yang jujur!” sambut Pardi cepat, meyakinkan.
“Alhamdulillah, kita bisa membantu orang lain, biar pun kita sendiri susah.” Kalimat itu yang mengiringi uluran tangan Maena menyerahkan dua lembar uang seratus ribu pada suaminya yang langsung pergi.
Maena duduk tercenung di beranda. Otaknya kembali diisi rencana-rencana untuk menyiasati bagaimana agar uang belanja yang diberikan suaminya bisa cukup sampai penerimaan gaji bulan berikutnya.
Ia mulai pusing, sebab ia harus berpikir semakin keras.
Alifia, anak sulungnya datang dengan ponsel di tangan. Rupanya Pardi lupa membawanya.
Iseng Maena melihat-lihat fitur yang ada di dalamnya. Dan keningnya kontan berkerut, terkejut demi mendapati tiga aplikasi di sana. Namanya persis dengan nama aplikasi judi daring yang pernah dibaca Maena di internet!
“Ya, Allah!” bisiknya dengan jari gemetar mencoba membuka satu persatu aplikasi tersebut.
Tapi tak bisa. Semuanya memerlukan nama pengguna dan kata sandi.
Motor Pardi muncul di pintu halaman. Pardi turun dan raut wajahnya nampak sedikit gugup demi melihat ponselnya sedang berada di tangan isterinya.
“Eh, sudah saya duga Abang akan datang mengambil ponsel. Makanya saya tunggu di sini. Ini ponselnya,” ucap Maena cepat, dengan senyum, sambil menyerahkan ponsel tersebut.
Pardi balas tersenyum, tapi Maena bisa menangkap senyum itu sedikit kecut. Layaknya senyum orang yang merasa tertangkap melakukan hal buruk.
Pardi pamit lagi. Tubuh Maena lemas tersandar di kursi beranda.
“Astagfirullah…,” bisiknya lirih, berulang kali.
***
Tak ada pengaturan ulang manajemen keuangan perusahaan. Maka tak benar gaji karyawan diturunkan. Maka seharusnya penghasilan Pardi tetap tiga juta rupiah.
Tiga bengkel langganan lelaki itu menyatakan bahwa tak pernah Pardi datang membawa motor macet dalam seminggu belakangan. Maka sebetulnya motornya baik-baik saja dan tidak diperbaiki atau diganti suku cadangnya.
Belum masuk seorang pun pasien dengan status berpenyakit malaria di puskesmas. Hingga hari di saat Pardi meminta uang untuk membantu temannya. Maka uang itu pasti untuk keperluan lain.
Dan sebulan belakangan Pardi lebih banyak bergaul dengan Rauf, Haris dan Bakar, tiga orang yang dikenal getol bermain judi daring. Sepulang kerja ia akan bermain judi daring di rumah salah satu dari penjudi itu.
Semuanya telah dilacak oleh Maena, dengan caranya, karena dorongan kekecewaan dan sakit hati pada suaminya, karena keinginannya memastikan dugaan bahwa uang lima ratus ribu kekurangan gaji, empat ratus ribu untuk alasan servis motor dan dua ratus ribu demi membantu teman sebenarnya digunakan untuk judi daring.
Sebagai isteri yang sangat menghormati suaminya, Maena tak serta merta marah, melampiaskan sakit hati dan kekecewaannya pada Pardi. Ia semakin sering beristigfar, semakin sering sholat sunah. Pada sujud akhir doanya berulang membisikkan permintaan kepada Tuhan agar Pardi disadarkan, agar sebagai isteri dirinya diberikan kesabaran untuk menghela kekecewaan dan sakit hatinya pada suaminya itu. Agar ia tak bertindak berlebihan pula. Pada saat berdoa itu air matanya tak henti meleleh.
Ia pun tak lagi menonton televisi, sebab takut tiba-tiba “bertemu” dengan berita kasus isteri membakar suami akibat masalah judi daring. Ia yakin bahwa dalam suara dan gambar berita itu bisa saja ada syaitan yang hadir, lalu mendekati dirinya.
Siang ini Pardi pulang kerja lebih cepat. Makannya tergesa dan gegas pula hendak pergi lagi.
“Pinjam uangmu dua ratus ribu lagi. Minggu depan aku ganti setelah menerima jatah dari teman yang kubantu menjual tanahnya,” katanya seraya mengulurkan tangannya. “Ayolah, cepat sedikit! Aku harus segera menemui temanku itu, untuk mengurus tanahnya.”
Tatapan dan nada bicara Pardi kentara sekali gusar dan kasar ketika Maena hanya memandangnya dan tak beranjak mengambil uang. Ada kesan memaksa pula di dalamnya. Tak pernah ia seperti itu.
Maena masuk ke kamar. Sebentar kemudian keluar dengan menggenggam uang dua ratus ribu. Tapi Pardi nampaknya ke kamar kecil terlebih dahulu.
Kekecewaan dan sakit hati Maena sepertinya memuncak. Dan tangisnya hendak pecah! Lekas ia menuju samping rumah. Di sana, di samping motor Pardi ia terisak-isak. Air matanya meleleh dan beberapa tetes jatuh membasahi jok.
Suara kaki Pardi di ruang tengah mengharuskan Maena menyeka matanya. Ia tak mau diketahui telah menangis.
Pardi pergi.
Maena kembali termenung di beranda.
Setengah jam kemudian datang seorang ojol yang memberitakan bahwa motor Pardi tiba-tiba berapi saat dikendarai. Pardi kemudian jatuh tertindih motornya yang terbakar itu. Tubuhnya pun ikut terbakar.
Sumbawa Timur, 29 Juni 2024
BIODATA
Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Suara NTB, Lombok Pos, Sastra Media, Suara Merdeka, Republika, Kompas dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.
Gede Gunada lahir di Desa Ababi, Karangasem, Bali, 11 April 1979. Ia menempuh pendidikan seni di SMSR Negeri Denpasar. Sejak 1995 ia banyak terlibat dalam pameran bersama. Ia pernah meraih penghargaan Karya Lukis Terbaik 2002 dalam Lomba Melukis “Seni itu Damai” di Sanur, Bali; Karya Lukis Kaligrafi Terbaik 2009 dalam Lomba Melukis Kaligrafi se-Indonesia di kampus UNHI Denpasar.