DENPASAR, Balipolitika.com– Sempat membusungkan dada alias bangga dengan keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) petugas Imigrasi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai pada 14 November 2023 silam, kini, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali seolah melempem menuntaskan kasus yang banjir pujian itu.
Disanjung setinggi langit oleh masyarakat dalam dan luar negeri hingga menjadi bahasan khusus wakil rakyat di Senayan, ujung-ujungnya kasus OTT Fast Track di Konter Imigrasi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dihentikan.
Kejaksaan Tinggi Bali diketahui menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada Maret 2025.
Konfirmasi penghentian penyidikan “kasus seksi” yang diduga berpeluang menyeret banyak pejabat di Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Provinsi Bali itu disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Dr. Ketut Sumedana, S.H., M.H., Senin, 24 Maret 2025.
“Belum layak untuk dibawa ke pengadilan. Daripada menggantung lebih baik kita tutup (SP3), biar tidak ada beban,” ungkap Ketut Sumedana, Senin, 24 Maret 2025 diwawancarai awak media, Senin, 24 Maret 2025.
Diketahui SP3 tersebut terbit pertengahan Maret 2025 untuk tersangka berinisial HS yang sebelumnya menjabat di Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai.
Sejak awal kasus ini terungkap alias pasca OTT yang menghebohkan tersebut, HS tidak pernah ditahan Kejati Bali karena ada jaminan dari Dirjen Imigrasi.
“Tidak layak dilakukan persidangan karena cuma Rp250 ribu. Kami berharap ada uang banyak di brankas itu, tapi saya tidak tahu ternyata tidak ada setelah dibuka. Mungkin telah dipindahkan, kami nggak tahu,” tandas Ketut Sumedana.
Jika dirunut ke belakang, pernyataan Kajati Bali, Ketut Sumedana ini bertolak belakang 180 derajat dengan statement Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Bali Dedy Kurniawan pada 2023 pasca OTT petugas Imigrasi Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai 14 November 2023 silam.
Terang Dedy Kurniawan kala itu bahwa HS yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melakukan pungutan liar.
Dugaan pungutan liar ini dilakukan dengan memanfaatkan jalur fast track alias jalur khusus yang merupakan layanan prioritas untuk mempermudah pemeriksaan keimigrasian di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai.
“Saudara HS, sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam tindak pidana sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,” kata Dedy Kurniawan kepada awak media, Kamis, 16 November 2023.
Tak main-main, Kejati Bali juga mengungkap modus detail jajaran Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai yang “terang-benderang” menerima setoran dari masyarakat yang ingin menggunakan jasa fast track-layanan pemeriksaan imigrasi cepat untuk ibu hamil maupun penyandang disabilitas dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum petugas.
Kejati Bali juga menyita NVR (Network Video Recorder) CCTV merk Hikvision lengkap dengan kabel dan adaptor, DVR (Digital Video Recorder CCTV merk HIK VISION beserta kabel adaptor), dan dokumen lainnya.
OTT Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai ini pun telak dan semua pihak kala itu menduga HS akan masuk bui Lapas Kelas 2A Kerobokan karena Kejati Bali mengaku menyita uang sebesar Rp100 juta, dokumen SOP, SK Menteri, SK Kepala Kantor, nota dinas, dan dokumen-dokumen lainnya.
Endingnya, sekian bulan hingga setahun lebih kasus ini “abu-abu”, tiba-tiba Kejati Bali melalui Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana pada Senin, 24 Maret 2025 menyebut bahwa uang yang disita itu tidak pernah ada.
“Itu tidak ada. Kalau ada hari itu sudah diambil Rp100 juta, ternyata dari rekening dia (tersangka, red). Saya pikir tidak ada kesalahan, perkara tutup itu hal biasa. Perkara kalau di penyidikan ada tiga hal: satu dilanjutkan penuntut, dua bisa dihentikan kalau tidak cukup bukti, ketiga bisa diserahkan ke lembaga lain. Proses hukum itu tidak ada istilah jebak-menjebak,” tandas Kajati Ketut Sumedana.
“Yang ada itu, setelah kami lakukan penelitian kan memang tidak layak untuk disidang, kurang cukup bukti,” tutupnya. (bp/tim)