TABANAN, Balipolitika.com- Usai PARQ Ubud, Finns Beach, dan Atlas Beach Club, kini giliran Nuanu City yang mencuri perhatian publik.
Manajemen mega proyek kota kreatif di atas lahan seluas 44 hektare yang terletak di Jalan Galiran, Banjar Nyanyi, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan kini dihadapkan pada persoalan hukum.
Di balik gemerlap Nuanu City yang mengklaim diri sukses menggelar salah satu pesta terbesar di Bali bertajuk Nuanu Night pada Sabtu, 22 Februari 2025, PT Wooden Fish Village, perusahaan di balik proyek ini digugat PT Semesta Konstruksi Persada.
Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Tabanan pada Kamis, 20 Februari 2025 oleh Jimmi Jefri Daniel Saragih, salah satu kuasa hukum penggugat.
PT Semesta Konstruksi Persada menuntut pembayaran atas sejumlah pekerjaan konstruksi yang telah dilakukan tetapi belum dibayar oleh tergugat.
PT Semesta Konstruksi Persada menggugat PT Wooden Fish Village atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait beberapa perjanjian kontrak kerja sama.
Gugatan ini mencakup beberapa proyek utama seperti proyek Ifarm dan Willow yang terdiri dari konstruksi arsitektural, struktur, elektrikal, serta drainase.
”Sejumlah pekerjaan tambahan (variation order) yang disebut telah disepakati tetapi tidak mendapatkan kejelasan pembayaran,” kata Jimmi usai melayangkan gugatan saat ditemui awak media, Kamis, 20 Februari 2025.
Dalam dokumen gugatan sebagaimana yang disampaikan Jimmi disebutkan bahwa nilai tunggakan yang belum dibayarkan mencapai Rp5,32 miliar.
Beberapa proyek yang menjadi dasar klaim ini meliputi Proyek Willow Structural senilai Rp1,54 miliar, Proyek Willow Architectural senilai Rp90,9 juta, Variation Order Structural senilai Rp 1,80 miliar, Proyek Ifarm senilai Rp 1,26 miliar, dan pengembalian dana dari Agus Noble senilai Rp 610 juta.
Selain itu, PT Semesta Konstruksi Persada juga mengklaim adanya intervensi teknis yang menyebabkan keterlambatan pekerjaan serta perubahan dalam kesepakatan penggunaan material yang berdampak pada biaya tambahan.
Dalam gugatan ini, penggugat menyoroti beberapa hal yang dianggap sebagai pelanggaran kontrak, termasuk keterlambatan dalam pembayaran selama delapan bulan tanpa kepastian.
Ada juga perubahan spesifikasi teknis yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal hingga tuduhan yang tidak berdasar terhadap penggugat terkait tindakan ilegal dan korupsi.
Kasus ini semakin memanas dengan adanya tuduhan pencemaran nama baik terhadap PT Semesta Konstruksi Persada.
Penggugat mengklaim bahwa CFO PT Wooden Fish Village, Mickael Maxant, telah menyebarkan informasi yang merugikan reputasi perusahaan dalam grup WhatsApp internal dan pertemuan proyek.
Atas dasar gugatan ini, PT Semesta Konstruksi Persada menuntut pembayaran total sebesar Rp30,32 miliar, yang terdiri dari kerugian material sebesar Rp5,32 miliar akibat tunggakan pembayaran proyek.
Sedangkan kerugian immateril sebesar Rp25 miliar akibat terganggunya operasional dan reputasi perusahaan.
Selain itu, penggugat juga meminta agar aset PT Wooden Fish Village disita untuk menjamin pelaksanaan putusan hukum jika gugatan dikabulkan.
“Kerugian immateriil yang diderita klien kami berupa hilangnya pekerjaan karena perusahaan tidak dapat berfungsi kembali untuk memutar modal pekerjaan proyek selanjutnya; banyak waktu dan terkurasnya pikiran yang tidak ternilai harganya yang di dalam gugatan ini penggugat mengalami kerugian sebesar Rp25.000.000.000. Maka sepatutnya tergugat dihukum untuk mengganti kerugian materiil dan immateriil sejumlah Rp30.320.909.122 dan bilamana pihak tergugat tidak mampu untuk membayar, maka pihak yang lainnya akan menutupi kewajiban tersebut dan wajib dibayar tunai pada saat putusan perkara ini diucapkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap,” tegas Jimmi.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari PT Wooden Fish Village terkait gugatan ini. (bp/tim)