Ilustrasi: Handy Saputra
MANUSIA dan tanaman memiliki satu naluri yang sama, yaitu untuk mengada (being). Namun, pada suatu saat nanti, keduanya akan mati. Bagian-bagian tubuh mereka yang merupakan ciri kehidupan akan tanggal dan mereka menjadi-tiada. Pada tanaman, proses mengada dan menjadi-tiada itu tidak disadari. Manusia, karena memiliki kesadaran yang terarah keluar, dapat memahami aku-yang-mengada dan aku-yang-akan-menjadi-tiada – dan merasa menjadi “terkutuk” karenanya.
Kemustahilan untuk lolos dari menjadi-tiada itu pernah membuat filsuf eksistensialis Martin Heidegger mengeluarkan sebuah aforisme pesimistis: Sein zum Tode (hidup menuju mati). Untungnya, masih ada pilihan-pilihan jalan keluar dari keniscayaan yang menakutkan ini. Walaupun pada akhirnya “aku” akan lebur ke dalam tiada, tetapi sementara “aku” masih “ada”, “aku” masih memiliki potensi-potensi yang dapat kugunakan untuk mempertanggungjawabkan keber-ada-anku.
Bagi novelis Thomas Mann, salah satu pilihan jalan keluar yang paling masuk akal adalah seni –jika bukan agama. Melalui seni, sang seniman mendayagunakan seluruh potensi kemanusiaannya– sebuah keadaan ideal yang disebut sebagai “aktualisasi diri” oleh psikolog Carl Gustav Jung dan Abraham Maslow. Melalui seni, sang seniman mampu menanggung kesunyian dan kemuraman yang muncul sebagai akibat tak terelakkan dari keber-ada-an.
Melalui seni, sang seniman juga sekaligus mempertanggungjawabkan keber-ada-annya. Tanaman tidak mampu mempertanggungjawabkan keber-ada-annya. Tetapi sang seniman, dengan cipta-rasa-karsa yang khas manusia, sanggup membuktikan tanggung jawabnya bahkan dengan cara memanipulasi tanaman yang tak memiliki kesadaran itu untuk kepentingan seninya – dan keber-ada-annya.
Demikianlah maka sang seniman memandang buah maja (Aegle marmelos) dan melihat bahwa buah itu adalah sebuah “ada” yang patut untuk mengungkapkan suatu seni. Sang seniman tahu betul peranan buah maja dalam sejarah dan kesadaran kolektif masyarakat di sekelilingnya. Konon, dari nama buah inilah nama imperium besar di nusantara diambil –Majapahit. Bagaimana jika buah itu ditugaskan untuk membawakan peran lain yang menekankan terutama pada aspek keindahan?
Sang seniman, yang memahami bahwa mata fisik harus diintensifkan agar dapat menyaksikan bukan hanya yang material dan profan, mencermati aspek “rupa” dari buah yang dihormati itu. Salah satu “aspek” itu, misalnya, rasa “pahit” buah maja. Apa jadinya bila Raden Wijaya memakan buah maja yang masih mentah dan karena itu dia menganggap bahwa rasa buah itu pahit, padahal kalau sang leluhur Majapahit memakan buah yang telah matang dia akan merasakan rasa yang manis?
Bagaimana bentuk bulat buah maja itu disejajarkan dengan “bentuk” paling dasar –model-model mikroskopis/atomik hampir selalu menggunakan bentuk-bentuk bulat– yang berhasil dilihat para fisikawan partikel di bawah mikroskop super canggih mereka? Bagaimana kalau sang seniman mengatur buah-buah maja dalam sebuah komposisi dan pemaknaan yang berbeda dari konvensi yang diterima tentang “seni instalasi”
Karena seni instalasi adalah ciri tarikh posmodern, yang salah satu misinya adalah untuk melibatkan pelihat atau audiens dalam proses pemaknaan atas sang karya, sehingga sebagai bentuk seni yang ultra-emansipatoris, maka tema yang “pantas” adalah tema-tema sosial-politik. Namun, sang seniman, yang mengerti tentang kehendak bebas dan kemerdekaan individu dalam proses penciptaan dan pemaknaan seni, ingin menciptakan sebuah ruang bermain yang lain.
Maka, lihatlah buah-buah maja yang sarat simbol itu mengapung di air yang tenang.
Carl Gustav Jung, bila melihat komposisi yang bagian-bagiannya “dipasang” (asal kata instalasi adalah installation atau pemasangan, dari akar kata install atau “pasang”) dengan cara ini, mungkin akan menjelaskan bahwa air itu adalah simbol bagi kumpulan archetype, atau bentuk-bentuk keinginan purba, yang menghuni ketaksadaran (unconsciousness), sementara buah maja yang bulat itu adalah simbol bagi beberapa archetype yang berhasil terangkat ke alam kesadaran (consciousness).
Bentuk bulat itu juga menyarankan keutuhan. Semua titik dalam aspek rupa pada buah itu saling bersentuhan, seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa dia telah mencapai suatu keputusan yang sanggup dia pertanggungjawabkan –apakah memang demikian halnya ataukah semata-mata kebetulan ketika orang berbicara tentang “keputusan yang bulat”?
Pertanyaan-pertanyaan dalam tafsiran seperti inilah yang memberikan kepastian bahwa sang seniman “ada” dan berhasil dalam mengaktualisasikan potensinya untuk menghayati dan menciptakan keindahan.
Setiap pertanyaan memerlukan jawaban sehingga sang pelihat/audiens/orang yang bertanya mau tak mau terlibat dalam sebuah interaksi – baik verbal maupun non-verbal. Dengan demikian, sang seniman, dengan instalasi buah majanya, menggenapi kebajikan eksistensialisme Jean Paul Sartre: “Aku adalah aku dan lingkunganku” – lingkungan hidup yang terdiri dari manusia lain, tanaman, hewan, udara dan sebagainya.***
BIODATA
Pranita Dewi, bernama lengkap Ni Wayan Eka, lahir di Denpasar, 19 Juni 1987. Menulis puisi, cerpen, esai. Sejumlah puisinya pernah dimuat Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Bali Post, Majalah Sastra Horison, dll. Buku puisi tunggalnya Pelacur Para Dewa (2006, diterbitkan ulang tahun 2024), Nyawa Tinggallah Sejenak Lebih Lama (2024).
Handy Saputra lahir di Denpasar, 21 Februari 1963. Pameran tunggal pertamanya bertajuk The Audacity of Silent Brushes di Rumah Sanur, Denpasar (2020). Pameran bersama yang pernah diikutinya, antara lain Di Bawah Langit Kita Bersaudara, Wuhan Jiayou! di Sudakara Artspace, Sanur (2020), Move On di Bidadari Artspace, Ubud (2020), Argya Citra di Gourmet Garage (2021). Instagram: @handybali.