Ilustrasi – Cara meraih moksa dengan Panca Sradha dan Catur Purusartha dalam Hindu.
BALI, Balipolitika.com – Dalam kerangka Agama Hindu atau Panca Sradha, jelas-jelas ada tentang moksa.
Moksa selama ini sebagai tujuan akhir umat Hindu, yaitu menyatunya atman dengan Brahman (Tuhan).
Lalu bagaimana kaitan Panca Sradha & Catur Purusartha agar umat Hindu bisa moksa?
Adapun bagian Panca Sradha, adalah Brahman yakni percaya dengan adanya Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Atman, atau percaya dengan adanya roh di dalam setiap mahluk hidup.
Kemudian Karmaphala, percaya dengan hasil sebab akibat.
Lalu Punarbhawa atau Samsara, percaya dengan adanya reinkarnasi atau numitis kembali.
“Kemudian moksa, percaya dengan kembalinya atau menyatunya atman atau roh dengn Brahman (Tuhan) untuk mencapai kebahagiaan yang abadi,” jelas Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti.
Beliau mengatakan, pentingnya moksa juga tercermin dalam ajaran Catur Purusartha atau Catur Warga. Yaitu empat jalinan erat, dalam tujuan hidup. Terdiri dari Dharma yakni sila-sila Budi yang luhur.
Artha, benda yang dapat memenuhi atau memberikan kepuasan pada keinginan.
Kama, keinginan atau nafsu duniawi dan naluri hidup.
Serta moksa, ketentraman rohani, kesucian dan bebasnya roh dari penjelmaan. Kemudian menunggal atau bersatu dengan Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Oleh sebab itu, kata ida, karena pentingnya moksa dalam ajaran agama Hindu. Namun memang sulit terbayangkan, karena menyangkut tata hidup dan tingkah laku yang baik serta penuh etika di dalam kehidupan sehari-hari.
“Sehingga konsep moksa, ini selalu melalui simbol-simbol seperti baik upacara yadnya, maupun monumen atau bangunan yang berhubungan erat dengan konsep moksa, seperti palinggih Kamulan atau palinggih Rong Tiga,” kata ida.
Lanjut ida, apabila mendengar kata moksa. Pikiran akan terbawa ke alam ilusi tentang proses lenyapnya roh (atman) yang diikuti lenyapnya badan wadah (stula sarira) secara tiba-tiba saat kematian.
Ini tergambar dari banyak kisah, mulai dari kisah Mahabharata hingga kematian patih agung Majapahit, Gajah Mada.
Dalam prosesnya, kepercayaan bahwa roh itu menyatu dengan sang pencipta (Tuhan). Namun kembali lagi semuanya adalah sradha atau keyakinan, juga kepercayaan.
Dalam kitab suci Weda, ada istilah ‘Mokshartham Jagathita ya ca iti Dharmah’. Artinya adalah, tujuan agama ialah untuk mendapat moksa. Yakni bersatunya atman dengan Brahman.
Serta Jagathita atau kebahagiaan lahir batin. “Bahkan apabila ada umat Hindu yang meninggal dunia, maka umat yang masih hidup akan mengirim ucapan belasungkawa,” kata ida.
Ucapan tersebut, selalu mengharapkan roh atau atman yang telah meninggal dunia. Dapat mencapai moksa, atau bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ucapan itu, adalah ‘Amor ing Acintya’ atau bersatu dengan Tuhan.
“Apabila membayangkan hal tersebut, maka untuk mencapai moksa prosesnya sangat rumit. Dan sepertinya mustahil dapat terlaksana oleh masyarakat awam,” ujar ida. Padahal tujuan hidup dalam agama Hindu adalah moksa.
Namun kenyataannya, dalam kehidupan kemasyarakatan Hindu di Bali. Secara tidak sadar sebenarnya konsep harapan mencapai moksa tersebut telah terwujud dalam simbol-simbol tata cara pelaksanaan agama Hindu di Bali.
Semisal dengan adanya palinggih Kamulan, atau Rong Tiga. Di setiap sanggah dan pamerajan masyarakat. Kemudian ada konsep nilapati, yang umat Hindu di Bali lakukan setelah upacara Atma Pratistha (nyekah atau mamukur).
“Sesungguhnya pelaksanaan upacara dak upakara ini berkaitan erat dengan kepercayaan Hindu yakni Panca Sradha dan Catur Purusartha,” sebut beliau. Untuk itulah moksa disebut sebagai tujuan akhir umat Hindu. (BP/OKA)