Dalam peta seni rupa modern Indonesia, sangat langka ditemukan komunitas seni atau sanggar yang dibentuk dari sekumpulan seniman yang berasal dari kampung halaman yang sama, sekaligus mengenyam pendidikan di institusi kampus yang sama. Sanggar Dewata Indonesia (SDI) adalah salah satu sanggar seni rupa bersejarah yang panjang usia dan memiliki daya tahan kreativitas, sekaligus loyalitas keanggotaan luar biasa. Berdiri sejak 15 Desember 1970, sejarah SDI sebagai sanggar yang dibentuk mahasiswa STSRI “ASRI” asal Bali (saat ini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta.
Sudah setengah abad, SDI dan para perupa yang terlibat di dalamnya terus berproses dan eksis dalam menggerakan roda kreativitas kesenimanan. Di awal terbentuknya SDI dengan mengusung “kredo spiritualitas Bali” –meminjam ungkapan perupa dan penulis, I Made Bakti Wiyasa dalam “Sejarah Sanggar Dewata Indonesia” (2005)– bahwa, situasi politik pada masa lengsernya orde baru ikut memengaruhi SDI. Permasalahan sosial politik menguat dalam tataran artistik karya-karya perupa SDI. Ikonografi Bali mulai meredup. Persoalan-persoalan manusia modern, kaum urban, dan kehidupan metropolis menjadi warna baru SDI.
Saya sepakat dengan ungkapan “Ikonografi Bali mulai meredup” digantikan persoalan manusia modern, kaum urban, dan kehidupan metropolis sebagai warna baru SDI. Terutama ketika saya mengamati satu persatu karya dalam pameran seni rupa SDI teranyar, berjuluk Jengah di Kiniko Art, 14 Juni-27 Juli 2025, Bantul, Yogyakarta.
Sebanyak 29 seniman berpartisipasi dalam pameran ini. Beberapa nama tersebut seperti perupa Nyoman Gunarsa, Putu Sutawijaya, Agus Putu Suyadnya, Suanjaya Kecut, I Dewa Made Mustika, hingga beberapa nama perupa SDI yang baru saya kenal, karena kurangnya pergaulan saya yang sudah sangat berjarak dalam mengikuti perkembangan seni rupa Bali setelah merantau cukup lama di Jepang, atau tentunya karena regenerasi seniman di SDI.
I Putu Rivaldo Pramana Putra sebagai koordinator pameran menceritakan bahwa, kata jengah diangkat sebagai pameran karena dirasa mewakili SDI sebagai kelompok seni rupa tertua di Indonesia.
“Tidak mudah untuk tetap eksis” ungkapnya. Sehingga saat ini, SDI terdiri dari berbagai generasi, boomers, Gen-x, milenial, Gen-z yang memiliki problem (dengan dunia moden). Upaya tetap eksis dan relevan di ranah seni rupa kontemporer tanpa meninggalkan nilai-nilai kekeluargaan serta nilai-nilai tradisional jelas Rivaldo menjadi latar belakang tema “Jengah”.
Melalui ungkapan “regenerasi dan dunia modern” juga pengamatan kasar, saya melihat sebagian besar karya-karya yang ditampilkan, baik lukisan dan instalasi, tidak lagi terasa kuat dalam “keterbacaan ikonografi Bali”, baik dari kredo spiritualitas ataupun teknik melukis, misal pada gaya kamasan yang menjadi perkembangan seni lukis Bali.
Tetapi, bila kita kembali pada pertanyaan, apa itu jengah sebagai judul pameran? Rivaldo memperjelas bahwa istilah jengah merupakan kosa kata Bali sebagai ekspresi ketika seseorang merasa tidak puas dengan suatu hal. Di Bali, jengah sebagai ungkapan emosional, tapi makna jelasnya tidak banyak yang mengetahui termasuk dalam karyanya berjuluk Journey Shapes The Self (2025). Rivaldo menjelaskan bahwa karya ini mencoba untuk mengingat upaya dirinya mengenal Bali, menginjakkan kaki di Jogja, berkenalan dengan orang Bali, dan membawanya perlahan berada di kota ini (Jogja).
“Karya saya tentang bagaimana pengalaman perjalanan dan menjadikan seseorang menjadi manusia yang utuh” ungkapnya.
Jengah: Identitas Kedirian dan Perubahan Karya
Kebudayaan selalu berubah, beriringan dengan perubahan manusia dan lingkungannya, terutama seniman sebagai agen yang memiliki bakat dan kegelisahan dalam menyampaikan pesan perubahan dalam tubuh sanggar SDI. Mereka adalah manusia-manusia Bali perantau yang mengenal dan hidup dalam ke-jogja-an.
Jawaban atas perubahan ini saya dapatkan dengan terang melalui judul pameran “Jengah” yang dimaknai Kris Budiman sebagai penulis pameran sebagai “bukan sekadar malu, jengah adalah perasaan “tak enak” yang bersumber dari kesadaran akan harga diri, sehingga mendorong perbaikan diri dan keadaan. Motivasi untuk bertindak lebih baik sekaligus menunjukkan adanya kehendak etis, refleksi, dan koreksi diri, yang menambah bobot moral konsep ini. Meskipun merasa malu, seseorang yang jengah tetap menunjukkan kesadaran akan nilai diri dan merasa harus berubah atau memperbaiki keadaan”.
Lebih lanjut, Adhi Pandoyo sebagai penulis pameran juga membaca Jengah dengan berlatar sejarah dalam budaya Bali dalam satu kompleksitas tersendiri. Menanggung dua pamor identitas: Ke-bali-an dan Ke-jogja-an.
Lebih mendalam, Adhi dalam tulisan “Mengenyalkan Kebalian Itu Kini? Jengah” memaparkan tiga hal utama dalam pembacaan pameran relasinya dengan karya dan kedirian seniman SDI. Pertama, lensa untuk mengamati “Kebalian” dalam sejarah dan budaya yang membentuk konstruksi pengetahuan dan pemaknaan atas geografi-ideologi Bali yang terus berubah.
Kedua, lensa untuk mencerap “Kekaryaan” mencakup pencapaian artistik, gagasan estetik, dan praksis visualitasnya yang dinamis serta kontekstual di setiap seniman dan generasi. Ketiga, lensa untuk membaca “Kewargaan Seni” dengan menelusuri interaksi medan seni rupa konremporer yang di dalamnya ada negosiasi pergaulan, hingga menyoal negosiasi nilai dan transaksi pasar.
Dengan kata lain, Adhi memberikan tesis utama bahwa pameran ini tengah “mengenyalkan kebalian: resiliensi yang inklusif, fleksibel, dan tahan banting menerima apapun-siapa pun dalam pusaran tradisi dan pasaran artistik-estetik yang senantiasa bersalin fluktuatif”.
Misalnya, Jengah pada karya Collective Memory dari Dabi Arnasa bahwa karyanya bisa dibaca universal lebih pada “memori kita bersama” yang menunjukan kedekatan dengan makhluk hidup lainnya, kedekatan dengan manusia lain, tumbuhan, hewan yang dia menjadi landscape bersama, sehingga pada lukisannya ia membuat tentang keruangan yang di dalamnya terdapat memori-memori kita (bersama).
Di sisi lain, selain memahami kata Jengah relasinya dengan Bali, saya mendapat ciri khas ke-Bali-an pertama, melalui judul-judul seperti pada Melukat karya Dapoot, Garudeya-The Icon of Freedom karya Dewa Mustika, Maha Padma karya IGK Alit. Sedangkan pembacaan kedua melalui teknik melukis ketubuhan yang ekspresif relasinya dengan ritual dan keseharian masyarakat Bali, misal dalam karya Tarian Bumi dari Putu Sutawijaya.
Kebanyakan karya masih terasa Bali secara simbolik, namun yang lain terasa sangat samar atau bisa saya sebut “Bias Ke-Bali-an”, meskipun saya tidak bisa menampik bahwa seluruh karya memiliki keistimewaan dalam ide dan estetika.
Perupa lain, yakni Dewa Mustika memaparkan bahwa “Jengah itu kata yang menarik, sebuah energi, spirit, ketulusan dalam pengabdian, karena di kesenian yang utama adalah sebuah pengabdian hidup”. Ia menemukan figur Garudeya (Garuda) sebagai bahasa untuk spirit Jengah. Garudeya ungkapnya sebagai lambang negara, bagaimana menjadi cara untuk merespons konsep Jengah tersebut, sebagai simbol pembebasan, pengabdian tulus yang mempunyai pesan moral mendalam.
Menjadi masuk akal ketika memahami “Jengah” dalam berbagai tafsir dan penghayatan sebagai rasa malu, ketidaknyamanan, perubahan, dan daya tahan. Dalam ungkapan Kris Budiman, rasa malu sebagai kehendak untuk berubah dalam karya-karyanya. Juga, lebih luas dalam konteks bahasa dan budaya Bali. Jengah merupakan daya tranformasi untuk mengubah keadaan, baik itu di dalam diri maupun di tengah lingkungan masyarakat sekitar. Jengah lebih tepat kita katakan sebagai sebuah etos manusia Bali.
BIODATA
Selvi Agnesia lahir di Bandung,1986. Lulusan Magister Antropologi Universitas Indonesia. Pernah bekerja sebagai wartawan seni budaya dan mengurus berbagai event seni rupa dan seni pertunjukan nasional serta luar negeri. Tulisannya dimuat di berbagai media nasional, seperti Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Bali Pos, Sinar Harapan, dan berbagai media online. Saat ini berdomisili di Yogyakarta dan bekerja sebagai peneliti dan penulis seni budaya.