Sungai Jawar Mengalir di Dada Ibu
Setiap pagi, ibu menuruni dunia
dengan kendil di tangan dan cucian di punggung.
Sungai Jawar menyambutnya seperti doa
yang tahu bagaimana luka disembunyikan dalam basuhan.
Air itu mengalir,
melewati retak-retak di tubuh ibu
yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa-siapa.
Dada ibu selalu penuh,
bukan oleh amarah, tapi oleh air yang tak tumpah.
Cengkareng, 2025
Ibu Adalah Sungai yang Tak Pernah Kering
Setiap kali aku haus,
ibu menampung air
bukan dari sumur,
tapi dari tubuhnya sendiri yang tak pernah mengeluh.
Ia berjalan menanjak dengan dua beban:
air dan kesunyian.
Di pundaknya,
aku melihat sungai-sungai kecil yang tak pernah kering,
walau musim tak pernah ramah.
Cengkareng, 2025
Ibu Mengambil Air di Sungai Jawar
pagi belum bangun
tapi langkah ibu sudah menyibak kabut
menggendong jon tanah
dan segunung keheningan
air sungai yang jernih
ibu ngangsu setiap hari
seperti memungut sisa hidup
yang bisa dimasak untuk hari ini
di punggung ibu
terpahat garis-garis hidup
yang tak bisa dibaca dari ijazah
tapi mengajariku
tentang tabah tanpa suara
jon itu berat
tapi lebih ringan
daripada beban kata-kata
yang tak pernah sempat diucap
di dapur, di ladang, di tikar yang selalu lapang
aku pernah bertanya:
ibu, kenapa tak minta sumur digali dekat rumah?
ibu menjawab sambil menunduk,
karena tak semua jarak perlu dipendekkan, Nak.
ada luka yang justru sembuh
karena terus dilangkahi.
air di dalam kendil itu
tak sekadar untuk mencuci beras
tapi untuk membasuh
kesedihan yang tak boleh diwariskan
ibu pulang dengan pundak basah
tapi wajahnya tetap tenang
seolah sungai itu
telah menyimpan semua jerit
agar kami bisa tidur malam ini
Jakarta, 2025
Ibuku, Tanah Liat yang Tak Bisa Pecah
Ibu dibentuk dari tanah liat,
tapi tak pernah pecah —
meski hidup menjatuhkannya ribuan kali.
Ia tidak retak,
karena air di dalamnya telah menjadi cahaya.
Cengkareng, 2025
Ibu yang Tidak Punya Tempat Mengeluh
Ibu tak punya tempat untuk menaruh keluh.
Ia menaruhnya di cucian,
di air sungai,
di panas matahari yang ia temui lebih sering dari pelukan.
Ia menyusun keluhnya dalam doanya sendiri,
tanpa suara, tanpa jeda.
Cengkareng, 2025
Epilog Untuk Ibu, Perempuan yang Tak Pernah Berpaling
Ibu tidak pernah bertanya,
mengapa hidup begitu sempit dan sunyi.
Ia hanya menimba hari
dari sungai yang terus mengalir di dadanya sendiri.
Setiap pulang,
ia bawa air, cucian, dan sabar
tanpa sedikit pun berpaling.
Ayah memberinya dingin,
tapi ia tetap menanak kasih.
Tak pernah ia berjalan setengah langkah.
Seluruh tubuhnya adalah kesetiaan
yang memilih tinggal
meski rumah tak punya pelukan.
Ibu adalah tanah liat
yang dibakar air mata—
dan justru mengeras jadi kekuatan.
Jakarta, 2025
BIODATA
Emi Suy lahir di Magetan, Jawa Timur, pada Februari 1979 dengan nama Emi Suyanti. Hingga saat ini, ia telah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal: Tirakat Padam Api (2011) serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), dan Api Sunyi (2020), serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022). Selain itu, ia juga menulis buku kumpulan esai sastra berjudul Interval (2023). Ia juga menulis naskah opera (libretto) I’m Not For Sale, yang menceritakan perjuangan tokoh anti-perdagangan perempuan Auw Tjoei Lan, diiringi oleh musik dari pianis dan komponis Ananda Sukarlan. Di kancah internasional, puisinya pernah dimuat dalam majalah sastra berbahasa Inggris Porch Litmag. Ia mengelola blog pribadinya di emisuy.id. Ia dapat dihubungi melalui email [email protected], Instagram @emisuy, dan Facebook Emi Suy.