POHON memegang peran mahapenting dalam ekosistem dunia. Selain menyediakan oksigen, dalam skala luas, pohon merupakan tokoh utama yang merawat iklim bumi. Iklim yang tepat membuat bumi tetap layak untuk dihuni.
Jalinan akar pepohonan berperan mendekap air hujan dan pada tempat yang tepat akan melahirkan sumber mata air. Makanan dan obat-obatan juga disediakan oleh banyak jenis pohon. Bahkan, dalam ruang psikologis, bunga maupun daun pohon yang ranum adalah obat mujarab dalam merawat kesehatan jiwa manusia.
Kesadaran atas daya dan manfaat pohon bagi kehidupan mengantarkan manusia untuk menyematkan beragam makna terhadapnya. Pohon memengaruhi pembentukan peradaban manusia di banyak titik di dunia. Pohon menjadi lambang kehidupan, regenerasi, spiritualitas-mistis, hingga media penuangan estetika seni.
Pohon dibicarakan hampir di setiap lini kebudayaan Bali. Manuskrip, pengetahuan tradisional, seni, ritus, hingga situs acapkali bertautan dengan keberadaan pohon. Hal ini merupakan penanda penting tentang posisi dan makna pohon dalam semesta pikir leluhur Bali di masa silam. Penanda yang kini menghadapi tantangan serius di tengah isu kelangkaan sejumlah spesies pohon seiring penurunan mutu lingkungan Bali.
Pohon yang Menghidupi dan Membebaskan
Narasi tentang pohon dapat ditemui dalam banyak sastra tradisional Bali. Adiparwa–bagian pertama Astadasaparwa Jawa Kuno–menjelaskan bahwa seluruh bangsa tanaman yang hidup saat ini dilahirkan melalui garis keturunan Bhagawan Kasyapa dan Dewi Tamra.
Udyogaparwa, Kakawin Ramayana, Kakawin Arjunawiwaha, Brahmanda Purana, hingga Tantu Panggelaran, mencatat keberadaan pohon mitologi bernama kalpawreksa atau kalpataru. Pohon yang namanya kini diadopsi pemerintah sebagai penghargaan atas jasa pelestarian lingkungan adalah simbol kehidupan, keberlimpahan, dan keabadian. Menurut tradisi Hindu-Buddha, kalpataru bersama dengan pohon mandara, parijata, samtana, dan haricandana disebut panca wreksa ‘lima pohon surgawi’ yang tumbuh di surga Bhatara Indra.
Pohon bodhi (Ficus religiosa) adalah pohon yang memiliki popularitas cukup tinggi dalam susastra Jawa Kuno. Bodhi terjejak dalam Kakawin Ramayana, Bhisma Parwa, Arjuna Wiwaha, Arjunawijaya, Abhimanyuwiwaha, dan tentu saja dalam teks-teks yang berkelindan dengan Sri Buddha Gautama. Bodhi dikaitkan dengan perjalanan Sri Buddha dalam menapaki pencerahan sejati, sehingga dikenang sebagai pohon suci.
Kakawin Siwaratrikalpa tidak hanya menjadikan sebatang pohon bilwa (wilwa; bila; maja; Aegle marmelos) sebagai latar cerita Lubdaka melewati gelapnya malam Purwani Tilem Kapitu. Mpu Tanakaung–penulis Siwaratrikalpa–memilih pohon bilwa sebagai saksi sekaligus media pembebasan sang pemburu dari belenggu dosa.
Lubdaka adalah cermin dari kita kebanyakan. Ia bukan tokoh yang datang dari kelas terdidik, pun elit istana seperti golongan ksatria atau brahmana. Lubdaka adalah rakyat jelata, kalangan kelas sosial rendah (nisada) yang hanya memiliki seperangkat panah sebagai alat produksi untuk bertahan hidup. Lubdaka merupakan gambaran kaum proletar yang secara ekonomi sangat rentan, terabaikan oleh negara, pun tersentuh sabda suci dari para rahib.
Melalui figur Lubdaka, boleh jadi “Si Tanpa Cinta” itu ingin berpesan bahwa kesadaran sejati (baca: Siwa) tidak memandang kelas sosial. Siwa tidak hanya ada di kepala orang terpandang, kaum pemenang, pun mereka yang sekadar beruang. Siwa ada di mana-mana. Setiap individu punya kesempatan yang sama untuk menggapai Siwa.
Sastra Botani
Aji Janantaka dan Taru Pramana merekam jejak botani yang pernah dikembangkan leluhur Nusantara. Aji Janantaka memberi informasi penting tentang asal-usul pepohonan, kelas ekologis, serta kegunaannya untuk bahan hunian. Sejumlah spesies pohon dikisahkan tumbuh dari jasad raja, pembesar, dan rakyat Kerajaan Janantaka. Akibat wabah cukil daki (lepra) yang tidak bisa disembuhkan, raja dan seluruh warga Janantaka ditakdirkan mati, kemudian menjelma kembali menjadi berbagai spesies pohon di Hutan Pringga.
Sang raja yang bernama Prattipa selepas ajalnya tumbuh menjadi pohon nangka (Actocarpus heterophyllus). Menteri (patih) tumbuh menjadi pohon teges [?]*, sementara para arya lahir menjadi pohon benda [?] dan tehep (terap: Actocarpus odoratissimus).
Pejabat rangga setelah kematiannya tumbuh jadi pohon pentul [?], demung menjadi pohon ungu (Lagerstroemia sp. [?]), dan demang tumbuh jadi pohon kladiana [?]. Pejabat bergelar tumenggung menjelma menjadi pohon kapundung (Baccaurea racemosa), sedangkan para pacalang tumbuh menjadi pohon boni (buni: Antidesma bunius).
Pejabat setingkat prabekel tumbuh menjadi pohon bengkel (Nauclea orientalis [?]). Para klian banjar menjelma menjadi pohon pulet [?], juru arah menjadi kalimenuh [?], sementara rakyat biasa tumbuh menjadi sembarang pohon.
Setelah mendapat ruwatan dari Bhatara Darma, beberapa pohon memiliki nama baru sesuai dengan filosofi jabatan. Pohon prabu nangka dikenal sebagai ketewel, pohon teges sebagai jati (Tectona grandis), pentul jadi sentul (kecapi: Sandoricum koetjape), sedangkan kladiana jadi pohon kladi*. Lantaran pohon-pohon itu berasal dari jasad manusia yang terjangkit wabah, mereka tidak termasuk pohon suci. Mereka tidak boleh dimanfaatkan untuk bangunan suci pemujaan dewata. Hanya boleh digunakan untuk membuat tempat tinggal manusia.
Sebagai gantinya, Aji Janantaka memperkenalkan jenis pohon wangi (kayu merik) yang bisa dimanfaatkan sebagai piranti pemujaan dewa. Tiga pohon yang paling utama adalah cendana (Santalum album), majagau (Dysoxylum densiflorum), dan cempaka putih (Magnolia x alba). Masing-masing pohon itu merupakan penjelmaan dari Sang Hyang Parama Siwa, Sang Hyang Sadasiwa, dan Sang Hyang Siwa Jati. Ketiganya adalah media membuat arca perwujudan dewa, pralingga, serta bangunan suci.
Taru Pramana merupakan sastra pengobatan tradisional (usada) yang menerangkan manfaat pepohonan sebagai obat herbal. Tokoh utama dalam Taru Pramana adalah Prabu Mpu Kuturan. Ia berhasil mendapat anugerah dari Bhatara Sad Kahyangan untuk berkomunikasi dengan berbagai jenis pohon. Teks mengklaim kemampuan ini sangat istimewa, sebab hanya dua orang yang menguasainya, yakni Prabu Mpu Kuturan dan Prabu Punggung Tiwas.
Setelah mampu berkomunikasi dengan pohon, Prabu Mpu Kuturan mulai membuka dialog secara intensif. Pepohonan yang datang padanya pun menelanjangi karakter dan kegunaan mereka. Sebagian pohon itu kini mungkin telah langka, bahkan boleh jadi sudah punah seiring ruang hidupnya yang terus dilahap keserakahan hati manusia. Kemungkinan lainnya mereka masih ada di sekitar kita, tetapi tidak lagi dikenal dengan baik.
Pohon sentul dalam Taru Pramana menjelaskan dirinya yang bersifat panas dan berguna untuk obat diare. Cara pemanfaatannya dengan mengolah daunnya menjadi jamu, sedangkan torehan kulitnya digunakan untuk obat sembur pada bagian perut. Pohon tangi memiliki batang yang berkarakter hangat, getahnya bersifat sedang-sedang, sementara akarnya bersifat sejuk. Torehan kulit pohon ini dapat diolah untuk mengatasi kegelisahan.
Pohon ancak atau waringin Jawa (Ficus rumphii) mengklaim dirinya memiliki sifat daun yang sejuk. Apabila dicampur dengan masui (masoi: Cryptocarya massoia), pala (Myristica sp.), dan tangkai cengkeh (Syzygium aromaticum), dapat digunakan untuk meredakan capek. Ada pula pohon majagau yang menerangkan dirinya memiliki batang bersifat sedang-sedang, getah berkarakter panas, serta daun dan akar yang bersifat sejuk. Dalam dunia pengobatan tradisional, pohon ikonik Provinsi Bali ini dapat dimanfaatkan untuk mengobati mual-mual.
Pohon dan Leluhur
Ketika membicarakan pohon, orang Bali akan sampai pada kata wit. Namun, selain berarti ‘pohon’, wit juga berarti ‘asal-usul’. Oleh karena itu, dikenal istilah kawitan yang tidak hanya diartikan ‘ketumbuhan’ atau ‘tempat tumbuh’ tetapi juga ‘tempat bermula; leluhur’.
Babad Pasek Kayu Selem menarik dibaca dalam wacana pertautan wit sebagai pohon sekaligus leluhur. Narasi yang disampaikan kepada pembaca berkebalikan dengan narasi Aji Janantaka. Jika Aji Janantaka menjelaskan pohon berasal dari jasad manusia, teks ini mencatat manusialah yang berasal dari batang pohon.
Kisahnya seperti ini. Setelah Pulau Bali stabil dan harmonis, Bhagawan Wiswakarma yang merupakan arsitek para dewa diperintahkan turun ke bumi, tepatnya di sebuah kawasan bernama Tampurhyang. Di sana tergeletak pangkal pohon asam (Tamarindus indica) berwarna hitam legam, yang sebelumnya dibakar Bhatara Brahma. Wiswakarma diperintahkan untuk mengukirnya menjadi sebuah arca manusia.
Keterampilan mengukir yang dimiliki Bhagawan Wiswakarma membuat batang pohon yang semula tak berharga menjadi arca manusia yang tampan nan indah. Arca itu berhasil menarik perhatian orang-orang Tampurhyang.
Karisma arca semakin tak terbendung setelah dihias Hyang Indra yang menjelma sebagai sangging. Para bidadari juga turun dari kahyangan, lalu menghias arca dengan beragam kain dan menyelipkan sebilah keris. Seluruh manusia menjadi takjub, sehingga arca itu menjadi tontonan siang-malam.
Suatu ketika Mpu Mahameru tiba di Tampurhyang. Sang pendeta agung melihat arca yang menjadi pusat perhatian. Atas kehendak semesta, ia memusatkan energi spiritualnya, kemudian mengubah arca itu menjadi manusia. Manusia yang berasal dari arca pangkal pohon asam itu pun diangkat murid, diajarkan ajaran kependetaan, serta diinisiasi pudgala (penobatan sebagai pendeta).
Setelah menjadi pendeta, ia bergelar Mpu Kamareka. Tokoh ini merupakan “bujangga pertama” orang Bali Mula sekaligus leluhur orang Bali yang kini menghimpun diri dalam Mahagotra Catur Sanak Bali Mula.
Dari Sebatang Pohon ke Rimba Kesadaran
Pada ruang pemaknaan yang lebih filosofis, orang Bali mengidentikkan pohon sebagai esensi hidup dan kesadaran spiritual. Pohon yang dalam bahasa Bali pergaulan disebut kayu ditautkan dengan kata kayun ‘pikiran; keinginan; kemauan’.
Pengimpitan makna antara kayu dan kayun terang terlihat dalam seni wayang kulit. Setiap pementasan wayang kulit akan diawali dengan kayonan (gunungan), yakni wayang berbentuk pohon. Kayonan merupakan citra dari kalpataru, yang kadang kala ditambah visual binatang seperti harimau, banteng, babi hutan, gajah, atau burung-burung.
Kayonan dimainkan sebagai pembuka dan penutup lakon wayang kulit. Ketika kayonan dimainkan, seorang dalang akan menjelaskan prolog dan epilog cerita, sekaligus mohon izin kepada Hyang Kawiswara–manifestasi Tuhan sebagai pereka adegan hidup–sebab berani memutar roda cerita. Situasi ini menegaskan kayonan bukan sebarang visual pepohonan, tetapi juga pohon pikiran yang terus bertumbuh, menghidupi, dan menuntun pembebasan.
Ritual inisiasi munggah makraman yang eksis di Desa Adat Batur menunjukkan gejala pertautan makna serupa. Ritual inisiasi dan penyucian bagi tetua desa (Jero Balirama/Kraman) ini menggunakan piranti pokok yang disebut kakayonan atau pakayonan. Kakayonan adalah tapakan linggih (lingga) yang berfungsi untuk mensetanakan spirit suci yang bergelar Ida I Ratu Gde Makulem.
Kakayonan dibuat dari bakul anyaman bambu yang disebut wakul. Teks Gama Patemon Rajapurana Pura Ulun Danu Batur 28b menjelaskan jenis-jenis kayu dan tanaman perdu untuk membuat kakayonan. Pohon-pohon itu antara lain kayu mas (kalimasada: Cordia subcordata [?]), kayu puring (Codiaeum variegatum [?]), kayu sugih (daun suji: Dracaena angustifolia), cendana (Santalum album), majagau (Dysoxylum densiflorum), cemara (Casuarina junghuhniana), tiblun merak (Dodonaea viscosa), jenis-jenis tanaman rimpang (temu: famili Zingiberaceae), adeng*, temen (daun ungu: Graptophyllum pictum), dan kasihan bukit (edelweis Jawa: Anaphalis javanica).
Kayu-kayu tersebut ditata dan ditempatkan di dalam wakul, kemudian dihias dengan pidpid (janur yang dibentuk dan dijahit sedemikian rupa). Selanjutnya, wakul akan diikat dengan tali ijuk dan dibalut kain berwarna putih.
Kakayonan dibuat pada masa brata (pengekangan diri) pasangan calon Jero Balirama, tepatnya pada tahap ritual munggah ka bale di pekarangan masing-masing. Brata yang harus dilalui dalam ritual ini berupa monabrata ‘pengekangan diri untuk puasa bicara’. Adapun kakayonan ditata oleh calon Balirama laki-laki, sementara calon Balirama wanita membuat pidpid.
Kakayonan harus diselesaikan sebelum inti upacara munggah makraman. Pada puncak upacara munggah makraman itu, calon Jero Balirama akan dijemput oleh warga adat dan diantarkan menuju Pura Bale Agung. Kakayonan yang dibuat akan disunggi oleh calon Jero Balirama, kemudian ditempatkan di tiang Bale Agung. Ketika pasangan Jero Balirama memasuki masa purnatugas, kakayonan akan dikembalikan (kantukang) di Palinggih Ida I Ratu Gde Makulem.
Kekayonan merupakan simbol keikhlasan batin calon Jero Balirama untuk mengabdi kepada desa. Setiap pohon mewakili nilai-nilai yang harus ditata, direnungkan, dan ditubuhkan oleh seorang Jero Balirama sebelum melakoni tugas sebagai guru desa. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kesucian, kekuatan, karisma, sikap pengayoman, simpati, empati, hingga pemberdayaan.
Etik Pohon, Politik Hutan
Penanggalan tradisional Bali (wariga) mengenal sistem ingkel (pantangan) yang membagi 30 wuku (pekan) selama satu siklus pawukon. Enam ingkel itu adalah Ingkel Wong, Sato, Mina, Manuk, Taru, dan Buku. Selama Ingkel Taru berlangsung, segala kegiatan yang berkaitan dengan menanam atau menebang pohon ditabukan untuk dilakukan. Wuku dengan Ingkel Taru ini adalah Tolu, Dungulan, Krulut, Menail, dan Dukut.
Selain konsep ingkel, wariga turut menginformasikan hari baik (dewasa ayu) menanam tumbuhan menurut hitungan pekan (tujuh hari). Hari Minggu adalah waktu yang baik menanam tanaman berbuku, sementara Senin baik untuk menanam tanaman berumbi. Selasa baik menanam tanaman yang dimanfaatkan daunnya, sedangkan Rabu adalah waktu yang disarankan untuk menanam tanaman bunga. Kamis merupakan hari baik menanam biji-bijian, Jumat baik menanam pohon buah-buahan, dan Sabtu baik menanam tanaman melilit.
Ingkel Taru dan dewasa ayu menanam menandakan kemapanan orang Bali dalam memandang dan membaca tanda alam, khususnya tumbuhan. Informasi tentang waktu menanam dan menuai adalah bentuk empati terdalam kepada tumbuhan. Selayaknya fase hidup manusia, tumbuhan pun diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang sebelum dimanfaatkan. Pesannya agar manusia tidak hanya tahu cara dan waktu menebang atau menuai, tetapi lupa cara dan waktu untuk menyemai serta menanam!
Pada tatanan ritual, empati kepada pohon dapat dilihat melalui pelaksanaan Tumpek Wariga. Hari suci ini jatuh setiap 210 hari, yakni pada Sabtu Kliwon Wuku Wariga atau 25 hari sebelum Galungan. Manusia mengucapkan terima kasih pada momentum ini, sembari memohon izin bahwa daun, bunga, atau buahnya akan dipersembahkan kepada dewata saat Galungan. Sekali lagi, manusia berupaya membangun komunikasi dengan tanaman, seperti laku Prabu Mpu Kuturan dalam Taru Pramana.
Etika pohon orang Bali di beberapa tempat menjelma menjadi seperangkat politik hutan. Kesadaran atas manfaat pohon dan ekosistem hutan telah mendorong orang Bali menciptakan hutan konservasi yang disebut dengan alas pingit atau alas kekeran ‘hutan sakral’. Hutan ini tidak bisa dirambah sembarangan, yang pengawasannya ditetapkan melalui awig-awig ‘hukum adat’.
Desa Tenganan di Karangasem, Catur Desa Adat Dalem Tamblingan di Buleleng, Desa Taro di Gianyar, dan Desa Buahan di Bangli adalah beberapa desa yang mewarisi alas pingit, yang tindak pelestariannya teruji sampai saat ini. Bahkan, dari linimasa sejarah hutan adat Desa Buahan terhubung langsung dengan jejak politik dari raja-raja Dinasti Warmadewa seribu tahun silam.
Pada akhirnya, catatan tentang pertautan pohon dan peradaban Bali merupakan pengingat tentang bagaimana upaya menjaga dan mengelola alam Bali saat ini dan di masa depan. Catatan-catatan tersebut menuntut kita untuk selalu berupaya melestarikan keragaman pohon dan menjaga hutan di tengah tantangan penyusutan luas hutan.
Kesadaran bersama harus dibentuk, komitmen yang berkelanjutan perlu dirawat untuk menjaga kehidupan setiap batang pohon. Komitmen menjaga pohon tidak boleh hanya menjadi aksi seremonial musiman untuk sekadar mencipta narasi pemuliaan semu sebagai kamuflase atas kerusakan yang telah, sedang, dan terus terjadi.
=====
*I Ketut Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) adalah peneliti dan dosen Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana. Pemuda asli Batur ini sejak akhir tahun 2019 mengemban tugas spiritual-kultural sebagai jero penyarikan duuran (sekretaris adat) di Pura Ulun Danu Batur/Desa Adat Batur. Tertarik pada isu-isu kebudayaan dan ekologi. Menulis buku Ekologisme Batur (2020), buku antologi puisi Bali modern Ulun Danu (2019), dan sejumlah buku karya bersama.
*Tanda [?] di dalam tulisan ini (terutama yang terkait dengan nama Latin) menandakan kesangsian penulis dalam upaya identifikasi jenis tanaman di dalam teks lontar dengan klasifikasi botani modern. Diskusi dan identifikasi lanjutan dari pembaca yang budiman sangat diharapkan untuk menjawab kesangsian penulis dan menyempurnakan tulisan ini ke depan.
*Perubahan nama pohon setelah fragmen peruwatan Bhatara Dharma dalam teks ini kemungkinan menunjukkan dasanama (sinonim) dari setiap pohon. Jika demikian, maka pohon nangka sama dengan ketewel, teges sama dengan jati, kladiana sama dengan kladian
*Adeng dalam teks Gama Patemon tidaklah jelas. Mungkin merujuk pada kayu taluh (pohon laban/alaban: Vitex glabrata), mengingat adeng bersinonim dengan taluh yang sama-sama berarti ‘telur’. Kemungkinan lainnya dapat merujuk pada telur dalam arti yang sebenarnya. Penulis sempat melakukan konfirmasi secara sosiologis kepada beberapa orang Jero Balirama, tetapi adeng dan beberapa nama kayu yang disebut teks tidak digunakan lagi dalam membuat kakayonan. Melihat dinamika sosial-budaya di Desa Adat Batur, sangat mungkin telah terjadi pergeseran piranti ritual maupun tata cara munggah makraman pada masa teks ditulis dengan masa saat ini.