DENPASAR, Balipolitika.com– Pentas Seni SMK PGRI 3 Denpasar berubah jadi ruang diskusi demokrasi yang hidup.
Puluhan siswa, yang sebagian besar belum genap berusia 17 tahun diajak berpikir kritis dan berani bersuara dalam sosialisasi bertajuk “Penanaman Spirit Pengawasan” oleh Bawaslu Provinsi Bali.
Di tengah antusiasme peserta, satu pesan menonjol yang tersirat “Pemilu bukan sekadar mencoblos. Ini soal masa depan. Dan generasi muda, adalah garda depan menuju demokrasi ideal.”
Pernyataan itu datang dari Ketut Ariyani, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Bali yang menjadi narasumber utama dalam kegiatan tersebut.
Dalam acara sosialisasi itu, Ariyani tak segan menantang para pelajar untuk mengambil peran lebih besar dalam demokrasi.
“Selama ini, pemilih pemula sering dianggap pasif, hanya pelengkap statistik. Tapi hari ini, kita ubah paradigma itu. Kalian harus jadi mata dan telinga demokrasi bersama Bawaslu,” tegasnya di Aula SMK PGRI 3 Denpasar, Sabtu, 14 Juni 2025.
Ditemui selepas mengisi materi, Ariyani mengatakan bahwa membekali pemilih pemula dengan pengetahuan tentang pengawasan partisipatif adalah investasi jangka panjang dalam menjaga integritas pemilu.
“Kami ingin membentuk karakter kritis, bukan apatis. Karena diam itu bukan netral, kadang itu justru abai,” lanjutnya.
Sosialisasi ini bukan sekadar seremonial. Di dalamnya, para siswa diajak mengulik potensi pelanggaran pemilu, memahami alur pengawasan, hingga berlatih menyampaikan laporan secara etis.
Tak sedikit dari mereka yang mengangkat tangan, menyuarakan keresahan hingga ide segar.
Salah satunya adalah Ngurah, Siswa SMK PGRI 3 Denpasar jurusan perhotelan, ia menanyakan bagaimana politik uang bisa ditanggulangi apabila tidak tergabung sebagai jajaran Bawaslu.
“Kami kan masih sekolah, gimana cara kami bisa menghilangkan politik uang yang selama ini sering kami dengar di TV?,” tanyanya.
Pertanyaan itu seketika membuat suasana sosialisasi hening sesaat, sebelum kemudian direspons penuh empati oleh Ariyani.
Menurutnya, justru suara kritis seperti itulah yang menjadi fondasi utama gerakan pengawasan partisipatif.
“Kalian memang belum masuk jajaran pengawas resmi seperti di Bawaslu, tapi bukan berarti tidak punya kekuatan. Lewat program pengawasan partisipatif, siapa pun bisa ikut menjaga pemilu. Mulai dari melaporkan pelanggaran, menyebarkan edukasi di media sosial, hingga menolak praktik politik uang, jangan dah dulu mengawasi, Ngurah berani menolak saja, itu sangat berkontribusi besar,” jelas Ariyani sembari tersenyum.
Pernyataan dan antusiasme para siswa ini menjadi bukti bahwa generasi muda bukan sekadar objek sosialisasi, tapi subjek aktif yang siap menjadi agen perubahan.
Bagi Bawaslu Bali, semangat ini adalah sinyal positif bahwa demokrasi Indonesia masih punya harapan, selama ada ruang dan keberanian untuk mendengarkan suara mereka. (bp/ken)