SETIAP kali tanggal 1 Juni datang, Indonesia kembali memanggil ingatan kolektifnya untuk menengok pidato Soekarno pada sidang BPUPKI tahun 1945—pidato yang melahirkan kata “Pancasila”, sebuah konsep yang dirumuskan untuk menjadi pondasi hidup berbangsa dalam negara yang multietnis, multi kultur, dan multi kepercayaan. Namun, seperti halnya naskah-naskah tua yang penuh debu, Pancasila kerap menjadi monumen semantik: diagungkan secara retoris, tapi diabaikan dalam praksis. Di tengah era digitalisasi, krisis kepercayaan, dan meningkatnya intoleransi sosial-politik, pertanyaan yang mendesak untuk diajukan adalah: apakah Pancasila masih hidup, atau hanya tinggal dalam narasi seremonial semata?
Hari ini, Indonesia tidak kekurangan peringatan, tetapi kekurangan pemaknaan. Kita melihat bagaimana Pancasila dibacakan setiap Senin di sekolah-sekolah dan institusi pemerintah, namun justru terasing dalam kehidupan publik yang banal, dan banalitas publik yang gaduh. Dunia media sosial, yang menjadi wajah terdepan demokrasi digital Indonesia, kerap memamerkan paradoks: sila keempat tentang “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” tak sejalan dengan budaya debat yang didominasi oleh linimasa kebencian dan polarisasi opini yang menolak jalan tengah. Sila ketiga, “persatuan Indonesia”, terdengar sinis ketika diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih menjadi realitas, baik secara institusional maupun sosial.
Pancasila seakan menjadi teks yang dibekukan dalam format upacara. Ia dijadikan relik yang lebih sering ditundukkan dalam keheningan ketimbang diperjuangkan dalam keramaian. Dalam esainya, The Myth of Sisyphus, Albert Camus menulis bahwa absurditas manusia muncul ketika kita terus mencari makna dari sesuatu yang telah kehilangan maknanya. Pancasila, dalam konteks ini, sedang mengalami absurditas ideologis. Ia tetap dikeramatkan, namun tidak lagi diinterpretasi ulang dengan kesadaran kritis. Kita kehilangan hasrat hermeneutik terhadapnya.
Barangkali kita lupa bahwa Pancasila bukan hanya produk historis, melainkan juga proyek intelektual yang terbuka untuk tafsir ulang. Dalam hal ini, kita bisa mengingat gagasan filsuf Prancis, Paul Ricoeur, yang menyatakan bahwa simbol dan narasi tidak pernah tunggal dalam makna, tetapi terbuka bagi penafsiran terus-menerus. Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah tafsir kita atas Pancasila hari ini masih mampu menjawab kegelisahan zaman?
Ambil contoh bagaimana sila kelima tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” beresonansi dengan realitas saat ini. Ketimpangan ekonomi, krisis agraria, dan ketidakadilan digital adalah wajah kontemporer dari persoalan klasik: siapa yang benar-benar diuntungkan oleh pembangunan? Di banyak tempat, masyarakat adat digusur atas nama proyek nasional. Di pusat-pusat kekuasaan, oligarki menyusun regulasi untuk memperkuat cengkeramannya. Di bawah semua itu, kita masih mengucapkan sila kelima seolah mantra, tanpa pernah mengusut siapa yang sesungguhnya membungkam keadilan sosial dari bawah.
Ironisnya, dalam gempuran ideologi global dan algoritma pasar, Pancasila malah dikomodifikasi. Ia masuk dalam baliho politik dan slogan BUMN, direduksi menjadi alat legitimasi dan bukan alat refleksi. Dalam kondisi ini, kita memerlukan keberanian untuk merombak cara kita mendekati Pancasila—bukan sebagai doktrin, tetapi sebagai medan dialektika. Kita harus kembali bertanya: adakah ruang dalam Pancasila untuk ketidakpatuhan sipil terhadap ketidakadilan? Bisakah Pancasila menjadi ruang kritik pada penguasa?
Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Paulo Freire menulis bahwa pendidikan yang membebaskan tidak sekadar mentransfer pengetahuan, tapi menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kenyataan. Maka dalam konteks ini, memperingati Hari Lahir Pancasila mestinya bukan sekadar mengulang pidato Soekarno, tetapi membaca ulang kenyataan sosial dan bertanya: bagaimana Pancasila bekerja atau justru mandek dalam hidup kita?
Barangkali sudah saatnya kita menggeser cara kita memaknai Pancasila dari proyek ideologisasi menjadi proyek humanisasi. Pancasila bukan tujuan, tetapi proses. Ia bukan kitab yang selesai ditulis, tetapi puisi panjang yang harus ditafsirkan ulang setiap generasi. Kita tidak bisa terus-menerus menunduk di depan naskah lama tanpa keberanian menyambungnya dengan kalimat baru.
Di akhir perenungan ini, pertanyaan yang tersisa bukanlah apakah kita masih hafal Pancasila, tetapi: apakah hidup kita sudah menjadikannya nyata? Dan lebih jauh lagi, apakah kita cukup berani untuk memaknai Pancasila bukan sebagai keharusan, tetapi sebagai kemungkinan—yang bisa tumbuh, jujur, dan membebaskan? (*)
*Fileski Walidha Tanjung adalah seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional.